Sumber: festsamachar.com |
Dewasa
ini, permasalahan korupsi bukan lagi merupakan masalah lokal, tetapi merupakan
fenomena transnasional yang membawa dampak bagi seluruh lapisan masyarakat dan
bagi perekonomian suatu negara. Perang melawan kejahatan korupsi pun sudah
cukup lama diteriakkan oleh pemerintah Indonesia. Seperti yang diketahui,
masyarakat dengan mudah memperkirakan, bahwa kejahatan korupsi akan sulit untuk
dilenyapkan atau berkurang dengan sendirinya. Pendapat semacam itu lahir bukan
tanpa suatu alasan. Sebab, sampai saat
ini, faktanya memang masih ada saja koruptor yang terus bermunculan. Para
perampok uang negara terkesan seolah-olah tidak memedulikan, atau mengabaikan
ketentuan-ketentuan hukum pidana yang telah di desain sedemikian rupa dengan
ancaman pidana yang sangat berat, yakni ancaman pidana mati. Sungguh pun
demikian, ternyata itu saja belum cukup efektif berfungsi mengurungkan niat dan
meredam nafsu serakah para koruptor.
Terkait
dengan pengungkapan kasus korupsi yang sulit pembuktiannya, aparat penegak
hukum kadang kala mendapatkan bantuan dari para pelapor atau pengadu atau yang
lebih populer dikenal dengan istilah whistleblower.
Dalam hal ini, pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan melawan
hukum dilakukan secara rahasia (confidential).
Namun sayangnya, dalam kasus ini tidak jarang whistleblower memperoleh “serangan balik” dari pihak yang
dilaporkan. Para whistleblower akan
mendapatkan intimidasi dan ancaman bahkan cenderung menjadi sasaran
kriminalisasi sebagai pelaku kejahatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana
pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, sehingga pada akhirnya,
mereka dituntut dan dihukum. Padahal mereka adalah kunci dari pemberantasan korupsi.
Akibatnya , dirinya, keluarganya dan harta bendanya menjadi terancam. Meskipun
menurut Pasal 10 Ayat (2),
memungkinkan akan memberikan keringanan hukuman bagi whistleblower, namun kemungkinan tersebut tetap tidak dapat membuat
seorang yang menjadi whistleblower
akan bernafas lega atau bahkan sama sekali membuat seseorang tertarik untuk
menjadi whistleblower.
Sebagai
contoh, Hamka Yandhu dan Agus Condro merupakan dua orang whistleblower. Mereka merupakan
saksi kunci atau orang yang melaporkan penyimpangan yang terjadi dalam
suatu lembaga, terkait kasus suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia. Agus Condro adalah politisi yang pertama kali
mengungkapkan adanya aliran uang kepada anggota Komisi IX DPR 1999-2004 dalam
pemilihan Miranda Goeltom. Dalam hal ini, penilaian orang terhadap keduanya bagaikan
pisau bermata dua. Dari satu sisi menguntungkan, sedang dari sisi lain
merugikan. Sebagian menyebut mereka sebagai "martir" yang dengan sadar berkorban demi kepentingan publik,
membantu penegakan hukum serta pemberantasan korupsi. Namun disisi lain, ada
pula yang mencurigai sebagai orang yang "mencuri" kesempatan untuk memburu ketenaran dan popularitas di
tengah skandal keterlibatan mereka.
Adanya kasus tersebut, maka perlu dorongan agar aparat hukum dapat
menghentikan serangan balik kepada pelapor-pelapor korupsi yang beritikad baik
tersebut. Selain itu, untuk membongkar kejahatan korupsi yang
sifatnya terorganisir maka dibutuhkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai alternatif penegakan hukum dalam membongkar kejahatan
korupsi. Peran LPSK ini dapat dilihat melalui tugas dan kewenangannya dalam
melindungi para wistleblower. Peran
dari LPSK ini memberikan suatu keyakinan bahwa kejahatan korupsi yang terorganisir
dapat dibongkar berkat pelaporan dari “orang
dalam” tersebut. Yang mana dari pelaporan ini dapat menjadi titik tolak untuk
mencari pelaku-pelaku korupsi lainnya.
Selain
itu, untuk para wistleblower diharapkan untuk lebih berani dalam
membongkar kasus korupsi yang ada. Karena dengan membongkar 1 kasus korupsi,
berarti menyelamatkan ribuan nyawa dari keserakahan para koruptor. Ingat, satu
pengakuanmu sungguh berarti bagi kami.
Sumber: