Sunday 30 June 2019

LAPORAN STUDI KASUS DEMAM TIFOID DAN TONSILOFARINGITIS AKUT PADA ANAK-ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch 1.
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan1.
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik1.

1.2     Tonsilofaringitis
Tonsilofaringitis akut faringitis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insiden faringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia dibawah 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.
Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat membedakan pasien-pasien yang membutuhkan terapi antibiotik dan mencegah serta meminimalisir penggunaan medikamentosa yang tidak perlu2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Demam Tifoid
2.1.1        Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch 1.
2.1.2        Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan1.
2.1.3        Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik 1.
2.1.4        Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfafatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal 1.
2.1.5        Manifestasi klinis
Pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik penderita serta lama sakit dirumahnya 1.
Semua pasien tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart  yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Banyak orangtua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delerium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma 1.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokkan. Pada kasus berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipofolemik sebagai akibat masukkan cairan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan barat, pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali 1.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ektremitas, dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke-7 sampai 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari demam tifoid. Bradikardi jarang dijumpai pada anak 1.


2.1.6        Diagnosis
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji Widal  slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 95%. Artinya hasil tes positif, 96% kasus benar sakit tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan 1.
2.1.7        Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapatdilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia1.
Kloramfenikol merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus minggu untuk osteomielits akut, dan 4 minggu untuk meningitis1.
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lenih lama.Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol.Dosis yang dilanjutkan adalah TMP 10mg/kg/hari atau SMZ 50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.Pemebrian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolate yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak.Akhir-akhir ini cefixime oral 1—15mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukosit <2000 atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi1.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma, dan shock, pemberian deksametason intraven (3mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal) dilanjukan dengan 1mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Disamping antibiotic yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi darah.Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foro abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis.Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai oenambahan antibiotic metronidazol dapat memperbaiki prognosis.Reseksi 10cm disetiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfuse trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yag dianggap cukup berat hingga menyebabkam perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah1.
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probenecid 30mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemebrian antibiotik (ampisilin 200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama1.
2.2    Tonsilofaringitis
2.2.1        Definisi
Faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan. Faringitis streptokokus  beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan nasofaring oleh SBHGA2.
2.2.2        Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3 tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut2.
2.2.3        Patogenesis
Nasofaring dan orofaring ada;ah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.
Infeksi jarang terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBGH melekat pada sel-sel epitel. Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada kelompok ini.
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antaranya penyebab bakteri tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dab D telah terbukti dapat menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan (foodhome) dan air (waterborne) yang terkontaminasi.
Saat ini faringitis difetri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini terutama terjadi pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah.  Bakteri ataupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula dan palatum mole. Perjalanan penyakit ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faringyang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil atau keduanya. Infeksi Streptokokus di tandai dengan invasi lokal serta toksin ekstraselular dan protase. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam2.
2.2.4        Manifestasi klinis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan dengabn awitan mendadak , disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia diatas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut dan muntah.  Selain itu juga didapatkan demam yang mencapai suhu 40oC, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjutivitas,  dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien ranitis juga dapat ditemukan anamnesia.
            Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus , yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.
            Faringitis streptococcus  sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
-          Awitan akut, disertai mual dan muntah
-          Faring hiperemia
-          Demam
-          Nyeri tenggorokan
-          Tonsil bengkak dengan eksudasi
-          Kelenjer getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
-          Ovula bengkak dan merah
-          Ekskoriasi hidung disertai lesi imperigo sekunder
-          Ruam skarlatina
-          Petekie palatum  mole
Akan tetapi penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis streptococcus , karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain. ,sedangkan bila dijumpai tanda dan gejala berikut ini , maka kemungkinan besar bukan faringitis streptococcus:
-          Usia dibawa 3 tahun
-          Awitan bertahap
-          Kelainan melibatkan  beberapa mukosa
-          Konjutivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
-          Menki, ronki diparu
-          Eksantem ulseratif
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris , mudah berdarah, dan bewarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meuas dari batas anterior tonsil hingga ke palatum mole dan atau ke ovula.
   Pada faringitis difteri akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus dipalatum mole dan dinding faring serta eksudat dipalatum dan tonsil , tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada faringitis streptococcus. Gejala yang muncul dapat menghilang dalam waktu 24 jam., berlangsung 4-10 hari, jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis yang baik2.

2.2.5        Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan labolatorium. Sulit untuk membedakan antara faringitis streptococcus dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan untuk penegakan adanya S.  Pyogenes. Untuk memaksimalkan akurasi, maka diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media agar darah domba 5%dan piringan basitrasin  diaplikasikan, kemudian tunggu selama 24 jam2 .
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk untuk mendeteksi antigen streptococcus grup A (rapid antigen detection test). Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini dapat digunakan sebagai pengganti kultur. Secara umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikiltur pada dua cawan agar  darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk S. Pyogenes. Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian antibiotik yang tidak perlu pada pasien faringitis2 .
2.2.6 Tatalaksana
Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian antibiotic sesuai indikasi.faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotic(selain difteri yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae).
Pemberian antibiotic tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan mempercepat waktu  penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), Pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam,dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza, karena insidenssindrom reye kerap terjadi2 .
2.2.7 Terapi antibiotic
Pemberian antibiotic pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorokan. Akan tetapi, hingga saat ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis akut streptococcus, dan memberikan antibiotic karena khawatir dengan salah satu komplikasinya, berupa demam reumatik.
Antibiotic pilihan pada terapi faringits akut streptokokus grup A adalah penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU ( BB<30kg)dan 1.200.000 IU(BB<30 kg). Amoksilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari  dibagi 2 selama 6 hari,efektivitasnya sama dengan penisilim V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat diberikan eritromisin etilsuksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/KgBB/hari,dengan pemberian 2,3, atau 4 kali per hari selama 10 hari: atau dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/Hari, selama 3 hari berturut-turut.antibiotik golongan sefalosforin generasi I dan II dapat juga memberikan efek yang sama,tetapi pemakainnya tidak dianjurkan,karena selain mahal risiko resistensinya juga lebih besar2 .
Kegagalan terapi adalah terdapatnya streptococcus persisten setelah terapi selesai. Hal ini terjadi pada 5-20%  populasi , dan lebih banyak pada populasi dengan pengobatan pada penisilin oral dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya karena terdapat komplians yang kurang, infeksi ulang atau adanya flora normal yang memproduksi beta laktamase. Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan resiko tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi streptococcus yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa perpustakaan menyarankan terapi kedua, dengan pilihan obat clindamisin 20-30 mg/kgBB/ hari selama 10 hari., amoksisilin –kluvanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari. Atau injeksi benzathine penicilin G intramuskular , dosis tunggal 600.000 IU (BB<30 kg) atau 1.200.000 IU (BB>30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapim kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan pasien carier, yang memiliki resiko ringan terkena demam reumatik . golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan2 .

BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. Data Base Pasien
Nama                     : An. HI
No MR                  : 00062XXX
Umur                     : 4 tahun
Jenis Kelamin        : Perempuan
JL;Alamat             : JL. Kirab Remaja No.239 Tembok, Campago Ipuh,
Mandiangin,  Koto Sanayan, Kota Bukitinggi, Sumatera
Barat
Agama                   : Islam
Berat badan           : 16 kg
Tanggal masuk      : 06 Juli 2019
3.2.Anamnesa
Seorang pasien An. HI berjenis kelamin perempuan berumur 4 tahun masuk RSSN Bukittinggi pada tanggal 06 Juli 2019dengan keluhan utama demam 7 hari yang lalu.
3.2.1.      Riwayat penyakit sekarang
Seorang pasien dengan keluhan utama demam 7 hari yang lalu naik turun, pasien batuk berdahak, pasien mengalami mual dan muntah, nafsu makan pasien berkurang, pasien susah BAB dan BAK pasien normal, Pasien tidak mengalami mimisan, gusi pasien tidak berdarah , pasien tidak pilek dan pasien telah meminum obat amoxicilin sejak  hari pertama demam.
3.2.2.      Riwayat penyakit sebelumnya
Pada tanggal 1 Februari 2015 pasien mengalami demam sejak jumat malam, masih minum ASI, tidak pilek, tenggorokan tampak memerah, tidak muntah, BAB dan BAK normal. Dari diagnosa dokter diketahui bahwa pasien mengalami ISPA dan obstruksi febris.
3.3.Pemeriksaan Fisik
3.3.1.      Di IGD
-        Keadaan umum           : Sedang
-        Nadi                            :  96x/menit
-        Nafas                           :  20x/menit
-        Suhu                            : 39oC
-       Tingkat kesadaran       : Compos Mentis
-       GCS                            : E4M6V5= 15
3.3.2.      Di ruang rawat inap
Parameter
06-06-
2019
07-06-2019
08-06-2019
08-06-
2019
10-06-
2019
Kondisi Umum
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kesadaran
Compos Mentis
Compos Mentis
Compos Mentis
Compos Mentis
Compos Mentis
Nadi
96 x/i
-
-
-
-
Nafas
20xmenit
20x/menit
-
-
-
Suhu (oC)
39 oC
36 oC
37 oC
36,3 oC
36,2 oC

3.4.Pemeriksaan Penunjang
-          DL
-          Tes Widal

3.5.Pemeriksaan Labolatorium
3.5.1.      Pemeriksaan Darah Lengkap
Hematology
Hasil
6-6-2019
Hasil
10-6-2019
Nilai normal
WBC
13,84 x 103 /µL
7,72 x 103 /µL
4,4-11,3 x 103 /µL
RBC
4,16 x 106/µL
4,07 106/µL
4,1-5,1x 106/µL
Hemoglobin
11,5 g/ dl
11,4 g/dl
12,0-14,5 g/dl
HCT
34,7 %
33,9 %
25-45 %
MCV
83,3 fl
83,2fl
80-96 fl
MCH
27,6 pg
28,0 pg
28-33 pg
MCHC
33,2 g/dl
33,7 g/dl
33-36 g/dl
PLT
328 x 103/uL

150 – 450 x 103/uL
RDW
11,8
11,8
11,5-14,5
Basofil
0,2%
0-1%
0-1%
Eusinofil
0,2%
3,0%
0-4%
Neutrofil
71,9%
30,4%
55-80%
Limfosit
21,6%
63,7%
22-44%
Monosit
4,3%
2,7%
0,7%
Salmonella typhi O
1/80
-
1/160
Salmonella typhi H
Negatif
-
1/160

3.5.2.      Pemeriksaan Urin Lengkap
Hematology
Hasil
(7-6-2019
Hasil
10-6-2019)
Nilai normal
Warna
Kuning
Kuning
Kuning
kejernihan
Jernih
Jernih
Jernih
Berat jenis
1,015
1,005-1,030
1,015
pH
6,5
4,6-8,0
6,5
Protein(albumin)
Trace
Negatif
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Negatif
Leukosit(esterase)
Negatif
Negatif
Negatif
Nitrit

Negatif
Negatif
Negatif
Keton

Positif (+2)
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Normal
Negatif
Negatif
Bilirubin
Negatife
Negatif
Negatif
Blood
Positif (+1)
Negatif
Negatif
Leukosit
2-4
Pr: 0-15
Negatif
Eritrosit
10-13
0-2
-
Epitel
(+1) gepeng
45
-
Kristal
Negatif
Negative
-
Silinder
Negatif
0-1
-

3.6.Diagnosa Kerja di IGD
-          Fibris 7 hari ex. Suspect fever tifoid
-          leukositosis
3.7. Terapi/Tindakan
3.7.1.      Di IGD (tanggal 6 Juli 2019)
-          IVFD KAEN IB + KCL 10 mg
-          Cefiksim sirup 2 x 80 mg cth
-          Paracetamol sirup 4x1 cth
-          Ambroxol 8 mg  dan Clorfeniramin maleate 1,6 mg S3ddp1
-          Domperidone sirup 3x1/2 sendok teh


3.7.2.      Diruang rawat inap ( dari tanggal 6 sampai 9 Juli 2019)
No
Nama Obat

Aturan Pakai
Rute
Waktu Pemberian

6-6-2019
7-6-2019
8-6-2019
9-6-2019
8
12
20
24
8
12
20
24
8
12
20
24
8
12
20
24
1.
IVFD Ka-En 1B + KCl 10 Meq
/12jam
Infus
2.
Abroxol 8 mg + CTM 1,6 mg

2 x 1

Intra Vena





3.
Cefixime syr 100mg/5ml

2 x 80 mg

Per Oral









4.
Paracetamol syr 120mg/5ml
4 x 1 1/2
Per Oral
               

5.
Domperidone 5mg/5ml
3x 1/2

Per Oral








3.7.3.      Obat yang dibawa pasien pulang
-          Cefixim sirup 2 x 80 mg
3.8.Follow Up Pemakaian Obat
Tanggal
Keterangan
06 Juli 2019 (12.20)


S
Demam tinggi sejak 7 hari, pasien mengalami batuk, pasien mual, pasien sulit menelan, nafsu makan pasien berkurang.

O
-          Kondisi umum: sakit sedang
-          Suhu: 39OC
-          Nadi: 96 x/menit
-          Nafas: 24 x/menit
-          Berat badan: 16 kg
-          Faring hiperemis T2-T2
-          Tidak Hiperemis coated tongue
-          Tidak ada NT epigastrik
-          Adanya bising usus
-          Mengalami hipertimpani
-          Leukosit 13.800/m3
-          Widal 1/80
A
Fibris 7 hari ex. Suspect demam tifoid
Mengalami tonsilofaringitis
Intake sulit
P
-          IVFD KAEN IB + KCL 10 μg/kolt 11 gittae /menit (makro)
-          Cefixim sirup 2 x 80 mg
-          Paracetamol sirup 4x1 1/2 cth
-          Domperidone sirup 3x1/2 sendok teh
-          Ambroxol 8 mg
-          Clorfeniramin maleate 1,6 mg
-          ML DSC 1300 Kkal
-          Cek urin
07 Juli 2019
S
Pasien tidak demam
Sakit menelan berkurang
Nafsu makan kurang

O
Faring, hipermis, tonsil : T2-T2 hipermis
Kesadaran umum : sedang
Suhu : 36oC
A
Tonsilofaringitis  disertai dengan intake sulit
P
-
08 Juli 2019
S
Demam mulai turun, nafsu makan bertambah, masih kurang BAB sejak 6 hari
O
-          Kesadaran umum: sedang
-          Suhu : 37oC
-          Faring hipermis berkurang
-          T2-T2 hipermis
-          Ada NT epigastric
-          Mengalami scibala
A
Perbaikan obstipasi
P
Terapi diteruskan
-          Ditambah dulcolac pediatri
-          Senin cek ulang DL+ Widal + ML
09 Juli 2019
S
Ibu menyatakan demam anak sudah mulai menurun.
O
Pasien tampak letih, diet habis setengah porsi
A
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
P
-          Kontrol Tanda Vital
-          Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
-          Motivasi pasien untuk menghabiskan diet
-          Anjurkan pasien makan selagi hangat
10 Juli 2019
S
Sudah tidak demam
0
-          Kesadaran umum: sedang
-          Suhu : 36,2 oC
A
Perbaikan
P
Dilanjutkan  resep pulang
















BAB IV
DISKUSI
4.1 Analisa Drug Related Problem
No.
Drug Therapy Problem
Chck List
Rekomendasi
1
Terapi obat yang tidak diperlukan
-


Terdapat terapi tanpa indikasi medis
-
Semua indikasi medis sudah diberikan terapi
- Infus Kaen IB + KCl  diberikan (untuk membantu menyalurkan atau mengganti cairan dan elektrolit)
- Ambroxol 8 mg & CTM 1,6 mg untuk mengobati batuk dan sebagai antihistamin.
- Paracetamol sirup untuk menurunkan suhu tubuh
-   Domperidone sirup ( meredakan mual dan muntah)
-   Cefixime sirup sebagai antibiotic untuk menghambat invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.

Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan
-
Pasien mendapatkan terapi sesuai dengan kondisi yang diperlukan
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non farmakologi
Masih bisa menjalani terapi non farmakologi dengan cara istirahat yang banyak, banyak minum air putih,
Terdapat duplikasi terapi
-
Tidak terdapat duplikasi terapi
Pasien mendapat penanganan terhadap efek samping yang seharusnya dapat dicegah
-
Pasien tidak merasakan adanya efek samping sehingga tidak ada permasalahan
2
Kesalahan obat



Bentuk sediaan tidak tepat
-
Sediaan sudah tepat karena pasien dapat menelan dengan baik

Terdapat kontra indikasi
-
Tidak terdapat kontaindikasi

Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat
-
Kondisi pasien dapat disembuhkan dengan obat karena semakin hari keadaan pasien makin membaik

Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien
-
Semua obat sesuai dengan kondisi pasien

Terdapat obat lain yang lebih efektif
-
Obat yang diberikan kepada pasien sudah efesien
3
Dosis tidak tepat



Dosis terlalu rendah
-
Sudah tepat dosis :
-          Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-          Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-          Domperidone sirup (3x ½  Cth)
-          Cefixime sirup (2x80mgsehari)

Dosis terlalu tinggi
-
Sudah tepat dosis :
-          Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-          Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-          Domperidone sirup (3x ½  Cth)
-          Cefixime sirup (2x80mgsehari)

Frekuensi penggunaan tidak tepat
-
Frekuensi penggunaan sudah tepat :
-          Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-          Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-          Domperidone sirup (3x ½  Cth)
-          Cefixime sirup (2x80mg sehari)

Penyimpanan tidak tepat
-
 Penyimpanan sudah tepat karena disimpan pada suhu kamar



Administrasi obat tidak tepat
-
Administrasi obat sudah tepat

Terdapat interaksi obat
-
Tidak ada permasalahan tentang interaksi obat pada tereapi obat yang diberikan kepada pasien
4
Reaksi yang tidak diinginkan



Obat tidak aman untuk pasien
-
Obat aman untuk pasien karena pasien tidak ada mengeluhkan tentang reaksi alergi ataupun adanya efek yang tidak diinginkan

Terjadi reaksi alergi
-
Tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh tubuh pasien

Terjadi interaksi obat
-
Tidak ada permasalahan tentang interaksi obat pada terapi obaty ang diberikan kepada pasien

Dosis obat dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
-
Tidak ada obat yang dinaikkan ataupun diturunkan dosisnya

Muncul efek yang tidak diinginkan
-
Tidak ada muncul efek yang tidak diinginkan jadi tidak ada permasalahan

Administrasi obat yang tidak tepat
-
Administrasi obat sudah tepat
5
Ketidak sesuaian kepatuhan pasien



Obat tidak tersedia
-
Semua obat tersedia di apotek rawat inap

Pasien tidak mampu menyediakan obat
-
Pasien mampu untuk menyediakan semua obat

Pasien tidak bisa menelan atau menggunakan obat
-
Pasien masih bisa menelan obat dengan baik

Pasien tidak mengerti intruksi penggunaan obat
-
Keluarga sudah mengerti dengan cara penggunaan obat dan diibantu dengan bantuan keluarga pasien.

Pasein tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat

Pasien patuh dalam menggunakan obat setiap diberikan obat oleh TTK (siang dan malam hari) atau perawat (pagi hari)
6
Pasien membutuhkan terapi tambahan



Terdapat kondisi yang tidak diterapi
-
Semua kondisi pasien telah diberikan terapi obat

Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis
-
Pasien sudah mendapatkan obat yang sinergis

Pasein membutuhkan terapi profilaksis
-
Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis

ü  Perhitungan Dosis
Ø  Paracetamol Sirup (120mg/5ml)1
Dosis Lazim paracetamol : 10 mg-15mg/kgBB
Berat badan pasien 16 kg. Jadi dosis untuk anak berat badan 16 kg adalah :
·         10 mg-15 mg/kgBB X 16 kg = 160 mg-240 mg (1xP)
-          Dosis sehari : 160 mg-240 mg x 4 kali = 640 mg- 960 mg
-          Untuk 1 kali pakai = 7,5ml/5ml x 120 mg = 180 mg (aman)
-          Untuk dosis sehari = 180 mg x 4 kali = 720 (aman)
Paracetamol yang diterima pasien masih aman dan berada di rentang dosis anak dengan berat badan 16 kg
Ø  Domperidon sirup (5mg/5ml)3
Dosis Lazim domperidon untuk anak – anak 0,25 – 0,5 mg/kgBB
Berat badan anak 16 kg
Perhitungan : Berat Badan x Dosis Lazim
                     = 16 kg x ( 0,25 – 0,5 ) mg/kgBB
                     = 4 mg – 8 mg
-          Untuk 1 kali pakai = 2,5ml/5ml x 5 mg = 2,5 mg (aman)
-          Untuk sehari pakai = 2,5 x 3 kali = 7,5 mg (aman)
Dosis domperidon sirup yang diberikan dokter berdasarkan perhitungan dosis lazim domperidon aman untuk pasien.
Ø  Cefixime sirup (100mg/5ml)1
-          Pasien diberikan cefixime sirup 2 x 80 mg
Jadi, 80mg/100mg x 5 ml = 4 ml/kali
Dosis Lazim Cefixime untuk anak – anak 1 - 15 mg/kgBB
Berat badan anak 16 kg
Perhitungan : Berat Badan x Dosis Lazim
                     = 16 kg x (1 - 15) mg/kgBB
                     = 16 mg – 240 mg
-          Untuk 1 kali pakai = 4ml/4ml x 80 mg = 80 mg (aman)
-          Untuk sehari pakai = 80 x 2 kali = 160 mg (aman)
Dosis cefixime sirup yang diberikan dokter berdasarkan perhitungan dosis lazim masih masuk dalam rentang sehingga cefixime sirup aman untuk pasien.
Ø  CTM (-/40mg)4
-          Pasien diberikan CTM 1,6 mg
Umur anak 4 tahun
-          Untuk sehari pakai = 4/4+12 x 40 mg = 10 mg (aman)
-          Dalam % 1xh = 4,8 mg/10 mg x 100% = 48%  (aman)
Ø  Ambroxol (1,2mg-1,6mg/hari)5
-       Pasien diberikan ambroxol 8 mg mg
Umur anak 4 tahun
-       Dosis lazim untuk anak (1,2-1,6 mg) / kgBB / hari
-       (1,2 mg- 1,6 mg)/ kgBB X 16 Kg = 19,2 mg -25,6 mg
-       1x P = 8 mg
-       1hp = 8 mg X 3
      = 24 mg
-       % 1hp = 24 mg/25,6 mg X 100% = 93,75 % (aman)
Dosis yang diberikan untuk CTM dan Ambroxol aman dan sudah tepat
4.2 Pembahasan
Seorang pasien anak-anak berumur 4 tahun masuk Rumah Sakit Stroke melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada tanggal  06 juni 2019 pukul 08:00 WIB. Pasien masuk dengan keluhan utama  Demam tinggi onset ± 7 harinaik turun sebelum masuk rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapat keadaan umum pasien sedang, glasgow Coma Scale (GCS)  E4 M6 V5, Kesadaran Compos Mentis, frekuensi Nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 39° C. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 06 juni 2019 diperoleh hasil WBC 13,84 x 103/µL (normal 4,4-11,3 x 103/µL), RBC 4,16 x 106/µL (normal 4,1-5,1x 106/µL), Hgb 11,5 g/dL (normal 12,0-14,5 g/dL), dan PLT 328 x 103/uL (normal 150- 450 x 103/ µL), Hct 34,7% (normal 25-45%).
Terapi yang diberikan kepada pasien di IGD adalah IVFD Kaen IB + KCl, Cefixime sirup 2 x 80 mg,  paracetamol sirup 4x 11/2  Cth, ambroxol 8 mg dan CTM 1,6 mg S3ddp1, domperidone sirup 3x ½ Cth. Tujuan dari penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk menurunkan demam, menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi, memperpendek jalannya penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah untuk tidak terjadinya kekambuhan kembali.
Pada tanggal 06 Juni 2019 kemudian pasien dipindahkan ke ruang anak IRNA A dan didiagnosa demam tifoid dan tonsilofaringitis, untuk terapi demam tifoid diberikan terapi Infus Kaen IB + KCl  diberikan untuk membantu menyalurkan atau mengganti cairan dan elektrolit, Ambroxol 8 mg & CTM 1,6 mg 93 kali sehari satu bungkus) untuk mengobati batuk dan sebagai antihistamin, Paracetamol sirup untuk menurunkan suhu tubuh, Domperidone sirup  meredakan mual dan muntah, Cefixime sirup sebagai antibiotik untuk menghambat invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.
Untuk pengobatan tonsilofaringitis diberikan paracetamol sirup untuk mengurangi rasa nyeri dan diberikan cefixime sirup sebagai terapi antibiotic pada tonsilofaringitis. Sehingga cefixime sirup dapat digunakan sebagai terapi antibiotic demam tifoid dan tonsilofaringitis karena demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negative dan tonsilofaringitis biasanya disebabkan oleh streptococcus yang merupakan gram negative sehingga bisa digunakan golongan sefalosforin generasi III yaitu cefixime untuk mengobati berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
 Pada tanggal 08 Juni 2019 pasien mengeluh susah BAB sehingga diberikan Dulcolax pediatric untuk memperlancar BAB pasien atau sebagai pencahar. Setelah 4 hari pasien dirawat di IRNA A ruangananak, pasien diperbolehkan pulang dengan kondisi perbaikan. Pasien diberi obat pulang Cefixime sirup I 80 mg 2 x sehari  peroral.
Semua terapi obat yang diberikan kepada pasien sudah sesuai dengan indikasi medis pasien, tidak ada terjadinya interaksi antara obat dan tidak adanya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan sehingga terapi obat aman digunakan untuk pasien.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1       Kesimpulan
      Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, Diagnosa utama demam tifoid dan diagnose sekunder menderita tonsilofaringitis dan intaks sulit. Tujuan dari penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk menurunkan demam, menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi, memperpendek jalannya penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah untuk tidak terjadinya kekambuhan kembali.
      Terapi yang diberikan dapat mengatasi tonsilofaringitis dan demam tifoid pasien dan mengatasi serta mencegah mual dan muntah pada pasien.
      Pada pasien yang diamati tidak terjadi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping yang disebabkan oleh penggunaan obat.
5.2 Saran
Disarankan pasien menjaga pola makan, istirahat atau mengurangi aktivitas (perbanyak istirahat), memperbanyak minum air putih, menjaga lingkungan sekitar tetap bersih.

BAB VI
EDUKASI

1.      Menjelaskan pada keluarga pasien cara pemakaian obat dan aturan pemakaiannya.
2.      Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis berikutnya, kembali kejadwal semula dosis jangan di double.
3.      Menjelaskan pada pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang sejuk, kering dan terlindung dari cahaya matahari
4.      Istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak aktifitas
5.      Banyak minum air putih dan konsumsi sayur dan buah.
6.      Menjaga suhu tubuh
7.      Lingkungan sekitar rumah pasien harus dibersihkan agar penyebaran penyakit dapat terkontrol
8.      Banyak beribadah dan berdoa.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Soedarmo,Poorwo, Sumarmo. S. 2008. Demam tifoid: Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed II. Jakarta :Badan Penerbit IDAI. Halaman 338-344
2.        Rahajoe, Nastiti, N.dkk. 2008. Tonsilofaringitis Akut : Buku Ajar Respiologi anak. Ed. 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Halaman 288-239
3.        Anonim.. 2018/2019. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 18. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. Halaman 8.
4.        Farmakope Indonesia. 1979. Ed III, Dapartemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
5.        Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical, Press, London.