Sunday 21 July 2019

LAPORAN KASUS PENATALAKSAANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE DAN DEMAM TIFOID


BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang jumlah penderitanya semakin meningkat dan penyebarannya semakin luas, pada umumnya menyerang pada usia anak-anak kurang dari 15 tahun dan juga bisa menyerang pada orang dewasa. Demam berdarah dengue adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes aegypti (Sukandar, dkk. 2013).
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue (DEN) yang termasuk dalam group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain.Tingkat keparahan infeksi dengue ditentukan oleh derajat infeksi dimana yang paling parah diantaranya adalah DEN-3 (Soedarmo, dkk. 2008).
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan (Pudjiadi, dkk. 2009)
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch (Sukandar, dkk. 2008).
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan (Tjay. 2007).
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik (Tjay. 2007).
Sebagian besar demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakitagar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama (Menkes RI. 2006).
Berdasarkan penyebaran kasus dan tingkat keparahan penyakit diatas, kami tertarik untuk menulis makalah tentang “Demam Berdarah Dengue dan Demam Tifoid”.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Demam Berdarah
2.1.1        Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia. Ini telah menyebabkan hampoir 390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk menularkan atau menyebarkan virus dengue ( Indrayani. 2018).
2.1.2        Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi dibeberapa negara lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi (1958), Malayasia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengan tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimatan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan daerah Karibia ( Soedarmo, dkk. 2008).
2.1.3        Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Kempat jenis serotipe virus dengue dapat dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat ( Soedarmo, dkk. 2008).
2.1.4        Patofisiologi
a.      Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBd ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, tromobositopenia, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 lodine labeled human albumin  sebagaiindikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan terdapatnya edema ( Soedarmo, dkk. 2008).
      Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma.Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit.Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastic.Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar.Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia ( Soedarmo, dkk. 2008).
b.      Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD.Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinyaa perdarahan pada DBD ( Soedarmo, dkk. 2008).
c.       Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP).Penelitian lebih lanjut factor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas factor VII, menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan factor VIII. Hal ini diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisi.Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas ά-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen ( Soedarmo, dkk. 2008).
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian, (3) Pendarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh factor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan factor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik, (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang ( Soedarmo, dkk. 2008).
d.      Sistem Komplemen
Penelitiansistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubunganpositif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1) 3.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit ( Soedarmo, dkk. 2008).
e.       Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB).Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam.Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue.Namun, antara hari kedua sampai dengan harri kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok.Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%.Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue.Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T.definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.Kromosom inti kasar dan kadang-kadang didalam ini terdapat nucleoli.Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru ( Soedarmo, dkk. 2008).
2.1.5   Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologus infection hypothesis atau the sequential infection yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan- 5 tahun ( Soedarmo, dkk. 2008).
a.    Hipotesis Peningkatan Imunologis
Antibody yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaann ini berdasarkan adanya virion determinant specificity ( Soedarmo, dkk. 2008).
2.1.6   Manifestasi Klinis
     Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demm tinggi, perarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dan DD tialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis hemoragik ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.Petekia haus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam.Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh.Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatsi. Perdarahan lain, seperti pedarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis.Pada sebagian besar kasus dtemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut.Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalm fase syok.Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok ( Soedarmo, dkk. 2008).
     Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat teraba.Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat, tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat denga  prognosis buruk. Sebaliknya engan pengobatan yang tepat segra terjadi masa penyembuhan dengan cepat.Pasien membaik dalam 2-3 hari.Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik ( Soedarmo, dkk. 2008).
     Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.Jumlah trombosit <100.000 ditemukan anatar hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam kedaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara ( Soedarmo, dkk. 2008).
2.1.7   Diagnosis
Patokan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium ( Soedarmo, dkk. 2008).
·         Klinis : demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi pendarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk pendarahan lain, pembesaran hati, syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), tekanan menurun, disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
·         Laboratorium : trombositopenia (<100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari nilai hematokrit >20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen ( Pudjiadi, dkk. 2009).
Menurut Pedoman Pelayanan Medis5diagnosis demam dengue dapat dilakukan sebagai berikut :
a.    Ananesis :
-   Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
-   Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah
-   Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
-   Diare kadang – kadang dapat ditemukan
-  Perdarahan yang paling sering dijumpai adalahperdarahan kulit dan mimisan.
b.    Pemeriksaan fisis :
-  Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,  nyeri kepala,  nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD dan DBD.
-  Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
-  Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipofolemia, dan syok.
-  Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan rongga peritonial selama 24-48 jam.
-  Fase kritis hari ke 3-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
-  Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena, atau hematoria.
c.    Tanda – tanda Syok
-  Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
-  Nafas cepat, nadi teraba lembut, kadang-kadang tidak teraba.
-  Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
-  Akral dingin, capilary refill menurun.
-  Deuresis menurun sampai anoria
d.   Pemeriksaan Penunjang
-  Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis, hemokrit, trombosit. Pada asupan darah perifer juga dapat dinilai limfosit darah biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD.
-  Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase konvalesens.
-  Pemeriksaan radiologi (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis):
-       Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
-       Kelainan radiologi dilatasi pembuluh darah baru terutama di daerah hilus kanan, hemithoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan dari kiri, dan efusi pluera.
-       USG : efusipluera, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan vesica urinaria ( Sukandar, dkk. 2008).
Menurut WHO (1975) derajat penyakit DBD terbagi dalam 4 derajat3
Derajat
Gejala
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II
Derajat I disertai perdarahn spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemut, tekanan nadi menurun atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV
Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

2.1.8   Tatalaksana
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/ gejalanya tidak spesisifk, oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD .tanda/ gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, teus-menerus badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok, muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet : apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit <100.000 pasien diawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet postif dengan jumlah trombosit >100.000 atau normal atau uji tourniquet negative, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit3.

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD deajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan dibawah.Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/ hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik diberikan bila suhu >38,5oC.pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infuse NaCl 0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai dengan berat badan. Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setaip 6-12 jam.Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pmbesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan perdarahan saluran cernaa. Dieresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratories, anak dapat dipulangkan: tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan (Soedarmo, dkk. 2008).

Pada DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus-menerus selama <7hari tanpa sebab yang luas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit <100.000 dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ Nacl 0,9% 6-7 mL/kgBB/jam (Soedarmo, dkk. 2008).

Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin (Soedarmo, dkk. 2008).
(1)     Segera beri infus kristaloid 20ml/kgBB secepatnya, dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derjat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), diberikan ringer laktat 20mL/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tidap 15 menit hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2)     Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum dilanjutkan20mL/kgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 1—20mL/kgBB, maksimal 30mL/kgBB. Obsevasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah. 



Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien, serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama, kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table berikut3 :
Berat Badan (kg)
Jumlah Cairan (mL)
10
100 per kg BB
10-20
1000+ 50 x kg (diatas 10kg)
>20
1500+ 50 x kg (diatas 20kg)

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000 dan cenderung menigkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (Soedarmo, dkk. 2008).
2.2    Demam Tifoid
2.2.1        Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch (Pudjiadi, dkk. 2009).
2.2.2        Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan (Pudjiadi, dkk. 2009).
2.2.3        Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik (Pudjiadi, dkk. 2009).
2.2.4        Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfafatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal (Soedarmo, dkk. 2008).
2.2.5        Manifestasi klinis
Pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik penderita serta lama sakit dirumahnya (Pudjiadi, dkk. 2009).
Semua pasien tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart  yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Banyak orangtua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delerium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma (Pudjiadi, dkk. 2009).
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokkan. Pada kasus berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipofolemik sebagai akibat masukkan cairan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan barat, pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali (Pudjiadi, dkk. 2009).
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ektremitas, dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke-7 sampai 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari demam tifoid. Bradikardi jarang dijumpai pada anak (Pudjiadi, dkk. 2009).
2.2.6        Diagnosis
  Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen Salmonella typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri.
1.        Uji Widal 
Diagnosis pasti untuk demam tifoid dapat ditegakkan dengan pemeriksaan widal. Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen S.Typhi pemeriksaan yang postif adalah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar zat anti dapat ditemukan. untuk membuat diagnosis dapat diperlukan adalah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1 :200 atau lebih menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut tercapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi apabila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita tipus abdominalis sebaliknya, titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut:
ü  Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli patogen dalam usus.
ü  Pada neonatus zat antigen tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
ü  Terdapat infeksi silang dengan rickettsia.
Pemeriksaan widal seharunya dilakukan 1-2 minggu kemudian kenaikan 4 kali, terutama aglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dpat berbeda > 1/80 sampai 1/320 antar laboratorium tergantung edmemisitas demam tifoid di masyarakat setempat.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu (Juwono, R., 1996) :
1.      Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penderita
a.       Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b.      Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c.       Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d.      Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e.       Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat manghambat pembentukan antibodi.
f.       Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g.      Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2.      Faktor-faktor Teknis
a.       Aglutinasi silang 
Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji Widal.
b.     Konsentrasi suspensi antigen 
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari pada suspensi antigen dari strain lain.
2.      Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana (hanya 1 langkah tes) dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel berwarna untuk meningkatkan resolusi dan sensitivitas. Spesifitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D (WHO, 2003)
Interpretasi dari skor Tubex® dimulai dari skor 0-10. Kriteria penilaian Tubex® yaitu negatif dengan skor kurang dari atau samadengan +2, artinya tidak mengindikasikan adanya infeksi demam tifoid. Borderline dengan skor +3, artinya skor belum dapat disimpulkan, perlu dilakukan analisis ulang. Skor +4 dan +5 diinterpretasikan sebagai positif lemah, artinya mengindikasikan adanya infeksi demam tifoid. Sedangkan skor +6 sampai +10 diinterpretasikan sebagai positif kuat, artinya menandakan indikasi kuat adanya infeksi demam tifoid (IDL Biotech AB, 2008)
3.       Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap berbagai agen infeksi, termasuk Salmonella typhi. Uji ELISA dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM, dan IgA terhadap antigen 9 (O9), antibodi IgG terhadap flagella antigen d (Hd), dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi (Fadeel et al., 2004)
4.      Dot EIA (Dot Enzyme Immunosorbent Assay)
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD Salmonella typhi. Metode ini adalah metode yang sederhana, cepat, ekonomis, spesifisitasnya 75%, dan sensitivitasnya 95%, (WHO, 2003).
5.      IgM Dipstick Test
Uji ini didesain untuk uji serologis demam tifoid melalui deteksi antibodi spesifik IgM S. typhi pada serum dan darah sampel. Uji ini terdiri dari sebuah dipstik, reagen deteksi liofilisasi non-enzymatic, cairan untuk membasahi strip uji dari dipstik sebelum diinkubasi dengan serum dan reagen deteksi, dan tabung reaksi. Komponenkomponen ini stabil hingga 2 tahun jika disimpan pada temperatur 4- 25oC pada daerah kering dan terlindungi dari paparan sinar matahari langsung (WHO, 2003).
6.      Hibridisasi Asam Nukleat
Metode lain untuk identifikasi kuman S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) kuman S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR) (Song et al., 1993).
2.2.7        Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapatdilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia (Pudjiadi, dkk. 2009).
Pilihan antibiotik berdasarkan uji kerentanan “fluorokuinolon adalah pilihan obat untuk terapi demam tipoid. Efektif untuk demam tipoid 3-5 hari tanpa komplikasi, tapi minimal 10 hari masih direkomendasikan. Pada pasien yang terinfeksi S. enteric serotype typhi, rentan waktu yang dibutuhkan untuk penurunan suhu tubuh yaitu kurang dari 4 hari. Tetapi, resisten terhadap fluorokinolon dapat meningkat dibeberapa area, pasien yang resisten terhadap fluorokinolon masih bias diberikan fluorokinolon tapi dosis maksimal yang digunakan minimal 10-14 hari. Dosis regimen tertinggi fluorokinolon mempunyai keberhasilan terapi 90-95%.
            Generasi ketiga sepalosporin (seftriaxon,sefixime,sefotaxime dan sefoperazon) dan azitromisin juga efektif untuk pengobatan tipoid.kloramfenikol,amoksisilin dan sulfametazone juga sesuai untuk terapi demam tipoid dibeberapa wilayah didunia.meskipun fluoroquinolon tidak direkomendasikan untuk anak-anak, pedriatik diberikan ciprofloxasin jika dia resisten terhadap antibiotic lainnya. Pada wanita hamil antibiotic yang aman adalah betalaktam dan pada beberapa penelitian juga menyarankan penggunaan fluoroquinolon
            Dewasa dan anak-anak dengan demam tipoid memiliki cirri-ciri yaitu mengigau, pingsan atau koma, dan syok biasanya segera diberikan dexametason 1 mg/kg setiap 6 jam dalam 24-48 jam. (Dipiro 2009, hal 1866)
Kloramfenikol merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus minggu untuk osteomielits akut, dan 4 minggu untuk meningitis (Pudjiadi, dkk. 2009).
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lenih lama.Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol.Dosis yang dilanjutkan adalah TMP 10mg/kg/hari atau SMZ 50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.Pemebrian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolate yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak.Akhir-akhir ini cefixime oral 1—15mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukosit <2000 atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi (Pudjiadi, dkk. 2009).
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma, dan shock, pemberian deksametason intraven (3mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal) dilanjukan dengan 1mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Disamping antibiotic yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi darah.Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foro abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai penambahan antibiotic metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10cm disetiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfuse trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat hingga menyebabkam perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah (Pudjiadi, dkk. 2009).
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probenecid 30mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemebrian antibiotik (ampisilin 200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama (Pudjiadi, dkk. 2009).

BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1.            Data Base Pasien
Nama                     : Tn. IJ
No MR                  : 00120XXX
Umur                     : 39 tahun
Jenis Kelamin        : laki-laki
Alamat                  : Bukit Lurah JR. PSB. Gaduik, Pilkam, Agam
Agama                   : Islam
Tinggi                    : 165 cm
Berat badan           : 65 kg
Tanggal masuk      : 17 Mai 2019
3.2.Anamnesa
Seorang pasien Tn. IJ berjenis kelamin laki-laki berumur 39 tahun masuk RSSN Bukittinggi melalui IGD pada tanggal 17 Mai 2019 pada pukul 12.00 WIB dengan keluhan utama demam dengan onset lebih kurang 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan demam terjadi terus menerus.
3.2.1.      Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengalami demam, mual, muntah, nyeri kepala, BAB encer, nafsu makan menurun.
3.2.2.      Riwayat penyakit sebelumnya
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya.
3.2.3.      Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang menyertai.
3.2.4.      Riwayat alergi
Pasien tidak ada memiliki riwayat alergi, baik terhadap obat maupun makanan.
3.3.Pemeriksaan fisik
3.3.1.      Hasil pemeriksaan fisik pada tanggal 17 Mei 2019:
ü  Kondisi Umum  : Sedang
ü  Kesadaran          : Compos Mentis (CM)
ü  Frekuensi Nadi   : 100x /menit
ü  Frekuensi Nafas : 20x /menit
ü  Suhu                   : 37,6 oC  
ü  GCS                   : E4 M6 V5
ü  Tekanan darah    : 110/ 70 mmHg
3.3.2.       Status generalis:
Mata : CA (-/-), Sklera (-/-)
Thorak : corona: irama teratur
Pulmonum:   Wh (-/-), Rh (-/-)
Abdomen : NT (+) kuadran kanan bawah, BU normal

3.4.Pemeriksaan labolatorium (17-23 Mai 2019)
3.4.1.      Pemeriksaan darah lengkap
Parameter
Tanggal
17
18
19
20
21
22
23
Nilai normal
Hemoglobin (HGB)
17,1
16,1
14,7
15,5
14,9
13,7
14,5
13,5-17,5 g/dl
Leukosit (WBC)
10,96
7,95
7,21
8,46
9,32
5,77
7,37
4,4-11,3 x103
Eritrosit (RBC)
5,31
5,01
4,63
4,81
4,63
4,36
4,58
4,5-5,9 x 106
Trombosit (platelet)
79
64
63
61
95
134
287
150-450 x 103
Hematokrit (HCT)
49,3
46,3
41,9
43,8
41,2
39,5
41,4
35-45%
Basofil
0,3
0,2
0,3
0,4
0,4
0,5
0,6
0-1 %
Eusinofil
2,2
1,6
3,5
3,1
3,1
3,3
3,5
0-4%
neutrofil
85,9
84
85,4
74,8
79,0
64,7
61,0
55-80%
Limfosit
8,2
9,8
7,3
15,3
13,5
26,1
31,0
42-44%
Monosit
3,4
4,4
3,0
7,0
4,0
5,4
3,9
0-7%
MCV
91,8
92,4
90,6
91,0
89,0
90,6
90,4
80-96 Fl
MCH
31,8
32,1
31,7
32,3
32,2
31,4
31,7
28-33 pg
MCHC
34,7
34,8
35,0
35,4
36,6
34,7
35,0
33-36 g/dl
RDW
12,2
12,2
11,8
11,8
11,5
11,6
11,6
11,6-14,6%
Salmonella thyphy O


(+) (1/320)





Salmonella thypy h


(+) (1/160)






3.4.2.      Pemeriksaan urin lengkap (20 Mai 2019)
Parameter
Hasil
Nilai rujukan
Warna
Kuning
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
BJ
1,015
1,005-1,030
Ph
6,0
4,6-8,0
Protein (albumin)
+1
-
Glukosa
-
-
Leukosit (esterase)
-
-
Nitrit
Keton
-
-
Bilirubin
-
-
Darah
-
-
Sedimen urin


Leukosit
5-6
0-5
Eritrosit
0-1
0-2
Epitel
1-2
45
Kristal
-
-
Silinder
0
0-1
Bakteri
+1
-
Keterangan: -:negatif
3.5.Diagnosa kerja di IGD
DHF (Dengue Haemorrhagic Fever)
3.6.Terapi/tindakan
3.6.1.      Di IGD
ü   IVFD  RL 1 kolff/6 jam
ü  Injeksi ranitidine 2 x 50 mg/2 ml secara intravena
ü  Injeksi Ondansentron 2x 4 cc
ü  Paracetamol tablet 3 x 500 mg secara per oral
ü  Neurodex tablet 1 x 1 secara per oral
ü  Lansoprazole tablet 1x 30 mg
3.6.2.      Di rawat inap


No
Nama Obat

Aturan Pakai
Rute
Waktu Pemberian
17-05-2019
18-05-2019
19-05-2019
20-05-2019
21-05-2019
22-05-2019
8
12
20
8
12
20
8
12
20
8
12
20
8
12
20
8
12
20
1.
Infus RL
20 tts/menit
IV
2.
Injeksi Ranitidin 50mg/2ml

2 x 1

IV









3.
Injeksi Ondansentron
2 x 1

IV






4.
Neuradex
(Vitamin B1, B6 dan B12)
1 x 1
Per Oral
               











5.
Cefixime 200mg

1 x 1

Per Oral












6.
Paracetamol 500 mg
3 x 1

Per Oral




7.
Lansoprazole 30mg
1 x 1

Per Oral















8.
Domperidone
3x 1

Per Oral















No
Nama Obat

Aturan Pakai
Rute
Waktu Pemberian
23-05-2019

8
12
20

1.
Infus RL
20 tts/menit
IV

2.
Injeksi Ranitidin 50mg/2ml

2 x 1

IV



3.
Injeksi Ondansentron
2 x 1

IV



4.
Neuradex
(Vitamin B1, B6 dan B12)
1 x 1
Per Oral
               



5.
Cefixime 200mg

1 x 1

Per Oral



6.
Paracetamol 500 mg
3 x 1

Per Oral



7.
Lansoprazole 30mg
1 x 1

Per Oral


8.
Domperidone
3x 1

Per Oral




3.7.            Follow Up Pemakaian Obat
Ø  17 Mai 2019
S : Demam ± 3 hari,mual , muntah
O: suhu 37,6º C
A: peningkatan suhu tubuh
P: suhu tubuh dalam batas normal
Ø  18 Mai 2019
S: demam positif
O: suhu: 37 oC, trombosit 79000
A : DHF
P: RL/6 jam
    Paracetamol 4x 500 mg
    DL/hari
Ø  19 Mai 2019
S: demam (-) , mual (+)
O: suhu 36 oC,
A: demam tifoid, DHF
P: RL / 6 jam
    Paracetamol kapan perlu
    Domperidon 3x1
    Cefixim 2x20 mg
Ø  20 Mai 2019
S : pasien mengalami demam, onset ± 3 hari SMRS , sakit kepala, mual, muntah ,nafsu makan berkurang.
O : TD : 120/ 80 mmHg
     Trombosit 63x 10 3 μl
     Terapi yang diberikan:
                        Paracetamol 3x1 (peroral)
                        Neurodex 1x1 (peroral)
                        Lansoprazol 1x1 (peroral)
                        Domperidon 3x1 (peroral)
                        Injeksi ceftriaxon 2x1 IV
                        Injeksi ranitidin 2x1 IV
                        Injeksi odansetron IV
                        Infus RL  20 gtt per hari IV
A: tidak ada masalah dalam terapi
P: terapi dilanjutkan
Ø  21 Mai 2019
S: keluarga mengatakan badan masih terasa panas dan letih, pasien juga mual
O: suhu tubuh : 36,6 Oc
    Tekanan darah : 120/80
    Trombosit: 61.000
A: demam tifoid, DHF
P: terapi dilanjutkan, cek DL per hari
Ø  22 Mai 2019
S: keluarga mengatakan bahwa pasien terus membaik
O: Letih, trombosit 95.000
A: kekurangan volume cairan tubuh
P: volume cairan tubuh seimbang
Ø  23 Mai 2019
S: sakit kepala
O: -
A: Demam tifoid, DBD
P: IFVD off
     Injeksi off
    Bisa pulang

BAB V
ANALISA DRUG RELATED PROBLEM (DRP)

5.1 Analisa Drug Related Problem
5.1.1 Masalah Yang Terkait Dengan Obat
No.
Drug Therapy Problem
Chck List
Rekomendasi
1
Terapi obat yang tidak diperlukan
-


Terdapat terapi tanpa indikasi medis
-
Semua indikasi medis sudah diberikan terapi
- Infus RL diberikan (untuk memenuhi kebutuhan pasien akibat adanya demam berlebihan yang mengakibatkan cairan tubuh berkurang sehingga pasien menjadi lemas dan letih)
-   inj ranitidine( untuk menanggulangi serta mencegah masalah ketidaknyamanan gastrointestinal terutama pada lambung, yang biasa diakibatkan oleh meningkatnya  produksi asam lambung dikeranakan asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak optimal)
-  inj ondansentron untuk mencegah atau mengatasi mual dan muntah
-    Pct untuk menurunkan suhu tubuh
- Neurodex untuk multivitamin (Vit B1, B6 dan B12)
Lansoprazole untuk mengatasi produksi asam lambung yang berlebihan (mengobati maagh)
Domperidone ( meredakan mual dan muntah)
Cefixime sebagai antibiotic pada infeksi yang disebabkan oleh virus (virus dangue) dan untuk menghambat invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.

Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan
-
Pasien mendaatkan terapi sesuai dengan kondisi yang diperlukan
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non farmakologi
Masih bisa menjalani terapi non farmakologi dengan cara istirahat yang banyak, banyak minum air putih, jauhi tempat tinggal/lingkungan yang banyak nyamuk atau jentik nyamuk dan di lingkungan yang bersih.
Terdapat duplikasi terapi
-
Tidak terdapat duplikasi terapi
Pasien mendapat penanganan terhadap efek samping yang seharusnya dapat dicegah
-
Pasien tidak merasakan adanya efek samping sehingga tidak ada permasalahan
2
Kesalahan obat



Bentuk sediaan tidak tepat
-
Sediaan sudah tepat karena pasien dapat menelan dengan baik

Terdapat kontra indikasi
-
Tidak terdapat kontaindikasi

Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat
-
Kondisi pasien dapat disembuhkan dengan obat karena semakin hari keadaan asien makin membaik

Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien
-
Semua obat sesuai dengan kondisi pasien

Terdapat obat lain yang lebih efektif
-
Obat yang diberikan kepada pasien sudah efesien
3
Dosis tidak tepat



Dosis terlalu rendah
-
Sudah tepat dosis :
Pct 500mg (3xsehari)
Neurodex (1x sehari)
Lansoprazole 30mg (1xsehari)
Domperidone 10mg (3x1)
Cefixime 200mg iv (1xsehari)

Dosis terlalu tinggi
-
Sudah tepat dosis :
Pct 500mg (3xsehari)
Neurodex (1x sehari)
Lansoprazole 30mg (1xsehari)
Domperidone 10mg (3x1)
Cefixime 200mg iv (1xsehari)

Frekuensi penggunaan tidak tepat
-
Frekuensi penggunaan sudah tepat :
Pct 500mg (3xsehari)
Neurodex (1x sehari pada pagi hari)
Lansoprazole 30mg (1xsehari pada malam hari)
Domperidone 10mg (3x1)
Cefixime 200mg iv (1xsehari)

Penyimpanan tidak tepat
-
 Penyimpanan sudah tepat karena disimpan pada suhu kamar



Administrasi obat tidak tepat
-
Administrasi obat sudah tepat

Terdapat interaksi obat
-
Tidak ada permaasalahan tentang interaksi obat pada tereapi obatyang diberikan kepada pasien
4
Reaksi yang tidak diinginkan



Obat tidak aman untuk pasien
-
Obat aman untuk pasien karena pasien tidak ada mengeluhkan tentang reaksi alergi ataupun adanya efek yang tidak diinginkan

Terjadi reaksi alergi
-
Tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh tubuh pasien

Terjadi interaksi obat
-
Tidak ada permaasalahan tentang interaksi obat pada tereapi obatyang diberikan kepada pasien

Dosis obat dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
-
Tidak ada obat yang dinaikkan ataupun diturunkan dosisnya

Muncul efek yang tidak diinginkan
-
Tidak ada muncul efek yang tidak diinginkan jadi tidak ada permasalahan

Administrasi obat yang tidak tepat
-
Administrasi obat sudah tepat
5
Ketidak sesuaian kepatuhan pasien



Obat tidak tersedia
-
Semua obat tersedia di apotek rawat inap

Pasien tidak mampu menyediakan obat
-
Pasien mampu untuk menyediakan semua obat

Pasien tidak bisa menelan atau menggunakan obat
-
Pasien masih bisa menelan obat dengan baik

Pasien tidak mengerti intruksi penggunaan obat
-
Paien sudah mengerti dengan cara penggunaan obat dan diibantu dengan bantuan keluarga pasien.

Pasein tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat

Pasien patuh dalam menggunakan obat setiap diberikan obat oleh TTK (siang dan malam hari) atau perawat (pagi hari)
6
Pasien membutuhkan terapi tambahan



Terdapat kondisi yang tidak diterapi
-
Semua kondisi pasien telah diberikan terapi obat

Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis
-
Pasien sudah mendaatkan obat yang sinergis

Pasein membutuhkan terapi profilaksis
-
Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis


BAB V
DISKUSI

Seorang pasien laki - laki Tn. I berumur 39 tahun masuk Rumah Sakit Stroke melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada tanggal  17 Mei 2019 pukul 12:00 WIB. Pasien masuk dengan keluhan utama demam onset ± 3 hari terus menerus sebelum masuk rumah sakit, sudah minum obat tetapi masih demam (paracetamol, B complex dan ciprofloxasin)
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapat keadaan umum pasien sedang, glasgow Coma Scale (GCS)  E4 M6 V5, Kesadaran Compos Mentis, frekuensi Nadi 100 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu 37,6° C. Gejala klinis yang dialami pasien yaitu demam sejak ± 3 hari terus menerus, mual dan muntah, sering nyeri kepala, BAB encer frekuensi 2 x sehari dan nafsu makan menurun.
Terapi yang diberikan kepada pasien di IGD adalah IVFD RL/6 jam, injeksi ranitidin 2 x 50mg/2ml iv, injeksi ondansentron 2 x 4 mg iv, parasetamol 500 mg 3 kali sehari 1 tablet, Neurodex 1 kali sehari 1 tablet, dan lansoprazole 30 mg 1 kali sehari 1 tablet. Selanjutnya pasien dirawat di IRNA A Interne mendapatkan terapi IVFD RL/6jam, injeksi ranitidin 2 kali sehari 1 iv, injeksi ondansentron 2 x 4 mg iv, cefixime 200 mg 2 x1 iv, domperidone 10 mg 3 kali sehari 1 tablet p.o, lansoprazole 30 mg 1 kali sehari 1 tablet, Neurodex 1 kali sehari 1 tablet p.o dan parasetamol 500 mg 3 kali sehari 1 tablet p.o.
Pada tanggal 17 Mei 2019 pasien didiagnosa menderita demam berdarah dangue ditandai dengan demam tinggi selama lebih kurang 3 hari, pasien mengeluh mual dan muntah, sering nyeri kepala, nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 17 dan 18 Mei menunjukkan bahwa nilai hematocrit tinggi yaitu 49,3% dan 46,3% ( nilai normal 35-45%). Pada demam berdarah dangue, pasien mengalami DHF tingkat I, hal ini ditandai dengan demam disertai gejala yang tidak khas dan diberikan terapi IVFD RL infus tiap 6 jam secara intravena untuk untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien akibat adanya demam berdarah yang mengakibatkan cairan tubuh berkurang sehingga pasien menjadi lemas dan letih.
Pada tanggal 19 Mei 2019 pasien didiagnosa menderitaa demam tifoid, hal ini terlihat dari pemeriksaan darah lengkap yang menunjukkan bahwa Salmonella thyphy O positif 1/320 dan salmonella thyphy H positif 1/160. Tujuan dari penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk menurunkan demam, menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi, memperpendek jalannya penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah untuk tidak terjadinya kekambuhan kembali. Pada pengobatan demam tifoid, pasien mendapatkan antibiotic cefixime 200 mg 2 kali sehari secara intravena, Cefixim ditujukan untuk menghambat invasi bakteri salmonella typhi tifoid. Pada pemberian cefixime tidak ada terjadi interaksi dengan obat lain dan tidak ada menimbulkan efek samping yang berarti terhadap pasien. Kemudian pasien memiliki keluhan demam sehingga pasien diberikan parasetamol 500 mg 3 kali sehari 1 tablet secara peroral untuk menurunkan suhu tubuh dan menghilangkan rasa nyeri. Pada pemberian paracetamol tidak ada terjadi interaksi dengan obat lain dan tidak ada menimbulkan efek samping yang berarti.
 Pada keluhan mual dan muntah diberikan domperidone 3 kali 1 tablet secara peroral untuk mencegah mual dan muntah tersebut. Selain itu juga diberikan ondansentron 4 mg 2 kali sehari secara intravena, tetapi ondansentron biasanya digunakan untuk mengatasi mual dan muntah pasca operasi atau kemoterapi yang digunakan dalam dosis tinggi yaitu 8 mg – 16 mg (Dipiro,2009), tetapi pada kasus ini ondansentron yang digunakan dalam dosis rendah yaitu 4 mg secara intravena sehingga masih dapat digunakan untuk mencegah mual dan muntah pada pasien demam tifoid. Pada pemberian ondansentron secara intravena dan domperidone tidak ada terjadi interaksi dengan obat lain dan tidak ada menimbulkan efek samping yang berarti.
Pada kasus hiperasiditas diberikan ranitidine 2x50 mg secara intravena untuk menanggulangi serta mencegah masalah ketidaknyamanan gastrointestinal terutama pada lambung yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi asam lambung dikerenakan asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak optimal. Dosis pemberian ranitidine injeksi pada pasien sudah memenuhi dosis lazim yang terdapat pada literature AHFS (2009), yakni sebanyak 50 mg sekali injeksi dengan frekuensi 2- 4 kali sehari. Dosis yang diberikan sesuai dengan literature yang dibutuhkan pasien. selain itu juga diberikan lansoprazole 30 mg 1 kali sehari 1 tablet secara peroral untuk mengatasi produksi asam lambung yang berlebihan (mengobati maagh). Pada pemberian injeksi ranitidine dan lansoprazole 30 mg tidak terjadi interaksi dengan obat lain.
Pasien diberikan neurodex 1 kali sehari1 tablet yang digunakan sebagai multivitamin untuk melindungi dan menjaga syaraf. Neurodex terdiri dari vitamin B1, B6 dan B12.
Selain pengobatan dengan menggunakan obat, pasien juga dianjurkan untuk beristirahat, mengurangi aktifitas, pengontrolan suhu tubuh serta disarankan untuk memperbanyak minum air putih, selain itu juga dianjurkan banyak makan, tujuannya agar sistem kekebalan tubuh pasien (imunitas) semakin meningkat sehingga virus penyebab penyakit akan kalah dengan sendirinya melawan pertahanan tubuh.


BAB VI
EDUKASI

1.      Menjelaskan pada pasien cara pemakaian obat dan aturan pemakaiannya.
2.      Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis berikutnya, kembali kejadwal semula dosis jangan di double.
3.      Menjelaskan pada pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang sejuk, kering dan terlindung dari cahaya matahari
4.      Istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak aktifitas
5.      Banyak minum air putih dan konsumsi sayur dan buah.
6.      Menjaga suhu tubuh
7.      Lingkungan sekitar rumah pasien harus dibersihkan agar penyebaran penyakit dapat terkontrol
8.      Banyak beribadah dan berdoa.

BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1       Kesimpulan
      Berdasarkan kasus di atas, dari data anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, diketahui bahwa pasien didiagnosa menderita DHF atau biasa disebut demam berdarah dangue (diagnosa kerja) dan pada tanggal 19 Mei 2019 pasien di diagnose demam tifoid.
      Terapi yang diberikan dapat mengatasi DHF dan demam tifoid pasien dan mengatasi serta mencegah mual dan muntah pada pasien.
      Pada pasien yang diamati tidak terjadi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping yang disebabkan oleh penggunaan obat.
7.2       Saran
Disarankan pasien menjaga pola maka, istirahat atau mengurangi aktivitas (perbanyak istirahat), menjaga lingkungan sekitar tetap bersih.





DAFTAR PUSTAKA
Indrayani A Yoeyoen, Tri Wahyudi, 2018, InfoDATIN: Situasi Penyakit Demam  Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI, Halaman 1

Kementerian Kesehatan RI. 2009. Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Sukandar, Y. L. dkk. 2013. Iso Farmakoterapi Edisi 2. Jakarta : IAI. Halaman 182

Soedarmo, P. S.dkk. 2008.Infeksi Virus Dengue. Dalam : S P Soedarmo, H Gama,            R S Hadinegoro: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri. Jakarta: Balai Penerbit       IDAI. Halaman 155-179, 338-345

Pudjiadi Antonius H. dkk. 2009. Infeksi Virus Dengue : Pedoman Pelayanan         Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.        Halaman141-149

Sukandar, Y. L. dkk. 2008. Iso Farmakoterapi Edisi 1. Jakarta : IAI. Halaman 23

Tjay, T.H. Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting. Edisi 6 Cetakan 3. Jakarta :        Gramedia. Halaman 272

Menkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta : Kemenkes RI. Halaman 18