Sunday 7 December 2014

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR : “PENENTUAN SUHU LEBUR”

LAPORAN PRAKTIKUM
FISIKA DASAR
PENENTUAN SUHU LEBUR
O
L
E
H
NAMA                        : FATMA ZAHRA
NO BP.            : 1404045
KELAS           : A

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS
PADANG 2014



PENENTUAN SUHU LEBUR

I.                   TUJUAN
1.      Menentukan titik lebur dengan menggunakan melting point
2.      Menggunakan tetapan  fisika titik lebur sebagai kriterian identifikasi kemurnian zat

II.                TEORI DASAR
Titik lebur dari suatu zat adalah keadaan dimana zat padat berubah menjadi cairan dibawah tekanan 1 atm. Titik lebur juga diartikan sebagai keadaan dimana terjadi keseimbangan antara fase padat dengan fase lainnya pada suatu zat.
Suhu lebur adalah suhu pada saat suatu zat tepat melebur seluruhnya yang ditujukan pada fase padat tepat hilang.
Menurut farmakope Indonesia III , jarak lebur adalah suhu awal dan suhu akhir peleburan zat. Suhu awal dicatat apda saat zat mulai menciut atau membentuk tetesan pada pipa kapiler, suhu akhir dicatat pada saat hilangnya fase padat.
Panas yang diabsorbsi ketika 1 g padatan meleleh atau panas yang dilepaskan ketika cairan itu membeku dikenal sebagai panas peleburan. Pana sopeleburan dapat juga  dianggap nsebagai panas yang dibutuhkan untuk menaikkan jarak antar atom atau jarak antar molekul dalam Kristal sehingga memungkinkan terjadinya pelelehan. Suatu kristal yang terikat dengan gaya yang lemah mempunyai panas peleburan yang rendah dan titik leleh yang rendah. Sedangkan yang terikat dengan gaya yang kuat mempunyai panas peleburan dan titik didih yang tinggi.
Panas peleburan untuk air pada 0 C adalah 80 kal/g (1436 kal/mol). Panas peleburan tidak memberikan penambahan temperature, sampai seluruh suhu padatang hilang kerena panas ini diubah lagi menjadi energy molekul yang potensial untuk mengubah seluruh padatan menjadi cairan.
Tinggi rendahnya suhu lebur pada suatu  zat pada t dipengaruhi oleh bentuk zat padat tersebut. Sremakin kuat ikatan yang dibentuk, semakin besar energy yang diperlukan untuk memutuskannya. Dengan kata lainsemakin tinggi pula titik lebur unsur tersebut.
Perbedaan titik lebur antara senyawa-senyawa pada golongan yang sama dapat dijelaskan dengan keelektronegatifan unsur-unsur pembentuk senyawa tersebut. Elektronegativitas adalah kecenderungan suatu unsur unutk menarik electron, karena unsur-unsur pembentuknya mempunyai elektronegativitas yang berbeda yang manjadikan senyawa terpolarisasi. Semakin besar perbedaan elektronegativitas unsur-unsur pembentuk senyawa, semakin kuat ikatan unsur dalam senyawa itu. Semakin kuat ikatan senyawa semakin tinggi ikatan titik lebur itu.
Pada suatu padatan dengan bentuk Kristal dan ikatan kovalen, maka akan memiliki suhu lebur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan padatan yang lain dengan iukatan van der walls walaupun  terdiri dari unsur yang sama.
Suhu lebur zat padat adalah suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur sempurna.
Suatu zat dikatakan murni apabila titik lebur yang diperoleh dari percobaan sama dengan yang ada dalam literature. Tetapi bila zat itu tidak murni atau terdapat campuran, maka ikatan molekulnya semakin kecil dan ikatannya mudah lepas, sehingga tidak leburnya akan lebih kecil dari zat murni.
Prinsip kerja dari titik lebur terletak pada penetapan pemberian energy panasnya. Titik lebur bersifat karakteristiky yang digunakan untuk sifat fisika dari suatu zat. Karakteristik suatu zat berbeda denga yang lain. Perbedaan tersebuh dilihat dalam hal kekuatan antar molekul. Kekuatan antar molekul berbeda dengan struktur kimia dan molekul atom atau molekul unsurnya berbeda.
Dalam bidang farmasi suatu senyawa obat murni dapat ditentukan kemurniannya dengan jalan penentuan titik leburnya. Selain itu, penentuan titik lebur dari bahan suatu obat juga digunakan dalam pembuatan sediaan obat, terutama obat yang diberikan melalui raktal, dan diperlukan dalam cara penyimpanan suatu sediaan obat agar tidak mudah rusak pada suhu kamar tertentu.
Alat yang digunakan untuk menentukan titik lebur suatu zat adalah melting point apparatus.
Prinsip kerja dari pada melting point apparatus adalah pertama menyalakan melkting point dengan memutar pemutar suhu 20 oC permenit. Kedua, ketika suhu pada thermometer mencapai 60oC dari titiik lebur atau titik leleh pada suatu senyawa murni yang telah ditetapkan oleh ilmuan , maka pemutar suhunya harus diturunkan hingga mencapai 10oC per menit. Ketiga, jika suhunya telah mencapai suhu titik lebur atau titik pada suatu senyawa murni yang telah ditetapkan oleh ilmuan, maka pada pemutar suhu harus diputar kekiri hingga 1oC per menit.

III.             ALAT DAN BAHAN
a.       Alat
1.      Melting point
2.      Pipa kapiler
3.      Lumping
4.      Stanfer
5.      Bunset
6.      Pinset
b.      Bahan
1.      Sera alba
2.      Menthol
3.      Cetaceum
4.      Adeps lanae
5.      Asam benzoate
6.      Asam salisat

IV.             PROSEDUR KERJA
1.      Siapkan sampel
2.      Ditimbang lebih kurang 1 gram saampel
3.      Kemudian haluskan dengan cara mengerus dalam lumping, selanjutnya masukkan sampel tersebut kedalam pipa kapiler dengan cara mentontolkan sampel ke pipa kapiler, dan padatkan hingga ketinggian 10 mm. setelah padat, itulah yang ditentukan titik leburnya.

V.                MONOGRAFI
1.      Sera alba
Pemerian          : padatan putih kekuningan, sedikit tembus cahaya dalam keadaan lapis tipis, bau khas lemah dan bebas bau tengik.
Kelarutan         : Tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol dingin. Larut sempurna dalam kloroform dan eter juga minyak lemak.
Konsentrasi     : 1-20%
Kegunaan        : Stabilisator emulsi.
OTT                             : Inkompatibel dengan zat pengoksidasi.
Stabilita                       : Stabil jika disimpan pada wadah tertutup dan terlindung dari cahaya

2.      Menthol
Sinonim                       : mentholum
Khasiat                        : korigen, antiritan
Pemerian          : hablur berbentuk jamur dan prisma, tidak bewarna, bau tajam seperti minyak permen, rasa panas dan aromatic diikuti rasa dingin.
Kelarutan         : sukar larut dalam air, sangat midah larut dalam etanol (95%), dalaam kloroform dan dalam eter. Mudah larut dalam paraffin cair dan minyak atsiri.
3.      Cetaceum
Pemerian                     : Putih, hablur, bening, bau dan rasa lemah.
Kelarutan         : larut dalam kloroform, etanol mendidih (95%) dan minyak menguap, praktis tidak larut dalam etanol 95% dan air.
Konsentrasi     : 1-15%
Kegunaan                    : emolien
OTT                             : asam atau basa kuat
4.      Adepslanae
Pemerian                     : Massa seperti lemak, lengket, warna kuning, bau khas.
Kelarutan         : tidak larut dalam, air dapat bercampur dengan air lebih kurang 2x beratnya, agak sukar larut dalam etanol dingin, lebih larut dalam etanol panas, mudah larut dalam eter dan kloroform.
Kegunaan         : Emulsifying agent, basis salep.
OTT                  : dapat mengandung pro oksidan dan dapat mempengaruhi stabilitas.
Stabilitas          : dapat mengalami autooksidasi selama penyimpanan. Untuk mencegah ditambahkan antioksidan.
Wadah dan penyimpanan : di tempat yang tertutup, terlindung dari cahaya, sejuk, dan kering.

5.      Asam benzoate
Pemerian          : hablur bentuk jarum atau sisik, putih; sedikit berbau, biasanya bau benzaldehid atau benzoin.
Kelarutan         : sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter.
Wadah & penyimpanan : dalam wadah tertutup baik.
Stabilitas          : agak mudah menguap pada suhu hangat, mudah menguap dalam uap air.
Fungsi              : antimikroba
Konsentrasi      : 0,17% (Handbook of pharmaceutical excipients 2nd hal.32)
Sterilisasi          : otoklaf
OTT                  : alkali atau logam berat.
Ph                     : <5
6.      Asam salisat
Rumus struktur asam  : C7H6O3
Massa molekul : 138,1
Jarak cair                     : 158-161°C
Pemerian          : berupa hablur putih, biasanya berbentuk jarum halus atau serbuk hablur halus putih, rasa agak manis tajam dan stabil diudara. Bentuk sintesis tidak berwarna dan tidak berbau. Jika dibuat dari metil salisilat alami dapat berwarna kekuningan atau merah jambu dan berbau lemah mirip mentol.
Kelarutan         : Asam salisilat sukar larut dalam air dan benzen, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih;, agak sukar larut dalam kloroform (Anonim, 1995).

VI.             HASIL DAN PEMBAHASAN
  1. Hasil

No
Nama zat
Suhu akhir (OC)
Suhu awal (o C)
Suhu lebur berdasarkan FI
1
Asam salisilat
161
161
141-144
2
Cetaceum
100
110
42-60
3
Campuran
115
120
-
4
Cera alba
128
133
62-65
5
Asam benzoate
135
139
42-50
6
Adaps lanae
140
141
24-44
7
Menthol
144
145
62-64

  1. Pembahasan
Pada percobaan ini kami menggunakan melting point apparatus. Melting point apparatus adalah alat untuk menentukan suhu lebur suatu zat.Sebelum menggunakannya, bahan disediakan terlebih dahulu.
Selanjutnya masing-masing bahan dimasukkan kedalam pipa kapiler dengan cara mentontolkannya hingga tingginya sama.
Setelah itu bahan dimasukkan kedalam melting point dan dilakukan pengamatan terhadap suhu leburnya. Disini kami mencatat suhu awal dan suhu akhir zat .
Suhu awal dicatat saat suhu zat mulai menciut atau membentuk tetesan pada dinding pipa kapiler, dan suhu akhir dicatat saat hilangnya fase padat.
Dari data yang telah ada, kami mendapatkan perbedaan dengan FI. Yang mana menthol  dan adabslanae melebur lebih cepat dibandingkan yang lain, sedangkan cetaceum melebur lebih lambat.
Adanya perbedaan ini dikarenakan bantuk zat padat, kotoran yang larut dan tidak larut yang terdapat pada pipa kapiler, serta keterbatasan kemampuan kami dalam menggunakan alat melting point.
\
VII.          KESIMPULAN DAN SARAN
a.       Kesimpulan
1.      Suhu lebur adalah suhu pada saat suatu zat tepat melebur seluruhnya yang ditujukan pada fase padat tepat hilang.
2.      Dari percobaan yang telah dilakukan, ditemukan perbedaan hasil yang didapat dengan FI. Yang mana menthol  dan adabslanae melebur lebih cepat dibandingkan yang lain, sedangkan cetaceum melebur lebih lambat. perbedaan ini dikarenakan bantuk zat padat, kotoran yang larut dan tidak larut yang terdapat pada pipa kapiler, serta keterbatasan kemampuan kami dalam menggunakan alat melting point.

b.      Saran
1.      Sebaiknya sebelum melakukan percobaan periksa bahan terlebih dahulu, yang mana bahan yang diuji harus sama banyak serta tidak mengandung kotoran yang melekat guna mendapatkan hasil ang akurat.
2.      Lebih teliti dan hati-hati lagi untuk percobaan yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM.1979. Farmakope Indonesia. Jakarta: depkes Ri
Kasman, R. 2005. Kimia Fisika. Makasar: universitas Muslim Indonesia
Martin, Alfred dkk.1990. Dasar-Dasar Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasi dan Etika. Jakarta: Ui Press
Tripler, PA. Fisika untuk Sains dan Teknik Jilid 1 . Jakarta: Erlangga

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA DASAR : “PENENTUAN INDEKS BIAS (REFRAKTOMETRI)”

LAPORAN PRAKTIKUM
FISIKA DASAR
PENENTUAN INDEKS BIAS (REFRAKTOMETRI)
O
L
E
H
NAMA                        : FATMA ZAHRA
NO BP.            : 1404045
KELAS           : A

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS
PADANG 2014



PENENTUAN INDEKS BIAS (REFRAKTOMETRI)

I.                   TUJUAN
Untuk menentukan indeks bias dari beberapa zat dengan menggunakan refraktometer.

II.                TEORI DASAR
Indeks bias pada medium didefinisikan sebagai perbandingan antara  kecepatan cahaya dalam ruang hampa dengan cepat rambat cahaya  pada suatu medium (Wikipedia, 2010).
Indeks bias suatu zat adalah perbandingan kecepatan cahaya dalam udara dengan kecepatan cahaya dalam zat tersebut.
Pembiasan cahaya adalah pembelokan cahaya ketika berkas cahaya  melewati bidang batas dua medium yang berbeda indeks biasnya. Indeks  bias mutlat suatu bahan adalah perbandingan kecepatan cahaya diruang hampa dengan kecepatan cahaya dibahan tersebut. Indeks bias relative  medium kedua terhadap medium pertama adalah perbandingan indeks  bias antara medium kedua dengan indeks bias medium pertama.  Pembiasan cahaya menyebabkan kedalam semu dan pemantulan sempurna.
Pembiasan cahaya adalah peristiwa penyimpangan atau pembelokan  cahaya karena melalui dua medium yang berbeda kerapatan optiknya. Pembiasan cahaya dapat terjadi dikarenakan perbedaan laju cahaya pada kedua medium. Laju cahaya pada medium yang rapat lebih kecil dibandingkan dengan laju cahaya pada medium kurang rapat. Menurut Christian Huggeas (1629-1695) “perbandingan laju cahaya ruag hampa dengan cahaya dalam suatu zat dinamakan indeks bias” (Johan, 2008).
Dalam pembiasan, berlaku hukum snellius. Hukum snellius adalah rumusan matematika yang memberikan hubungan antara sudut dating dan sudut bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang melalui batas antara dua medium isotopic berbeda, seperti udara dan gelas. Hukum ini diambil dari matematika Belanda Willebrord Snellius yang merupakan salah satu penemunya. Hukum ini juga dikenal sebagai Hukum Dascartes atau Hukum Pembiasan (Wikipedia, 2010
Pada sekitar tahun 1621, ilmuwan Belanda bernama Willebrord Snell (1591-1626) melakukan eksperimen untuk mencari hubungan antara sudut datang dengan sudut bias. Hasil eksperimen ini dikenal dengan nama Snell yang berbunyi :
a.       Sinar datang, sinar bias dan garis normal terletak pada satu bidang datar.
b.      Hasil bagi sinus sudut dating dengan sinus sudut bias merupakan bilangan tetap dan disebut indeks bias (Johan, 2008)
Arah pembiasan cahaya dibedakan menjadi dua macam :
1.      Mendekati garis normal
Cahaya dibiaskan mendekati garis normal jika cahaya merambat dari medium optic kurang rapat kemudian optic lebih rapat. Contoh cahaya merambat dari udara kedalam air
2.      Menjauhi garis normal
Cahaya dibiaskan menjauhi garis normal jika cahaya merambat dari medium optic lebih rapat kemudian optic kurang rapat. Contohnya  cahaya merambat dari air keudara (Johan, 2008).
Pengukuran indeks bias penting untuk :
- Menilai sifat dan kemurnian suatu medium salah satunya berupa cairan.
- Mengetahui konsentrasi larutan-larutan.
- Mengetahui nilai perbandingan komponen dalam campuran dua zat cair.
- Mengetahui kadar zat yang diekstrasikan dalam pelarut.
Refraktometer adalah alat ukur untuk menentukan indeks bias cairan atau padat, bahan transparan dan refractometry. Prinsip pengukuran dapat dibedakan, oleh cayaha, penggembalaan kejadian, total refleksi, ini adalah pembiasan (refraksi) atau reflaksi total cahaya yang digunakan. Sebagai prisma umum menggunakan semua tiga prinsip, satu dengan insdeks bias dikenal (Prisma). Cahaya merambat dalam transisi antara pengukuran prisma dan media sampel (n cairan) dengan kecepatan yang berbeda indeks bias diketahui dari media sampel diukur dengan defleksi cahaya (Wikipedia Commons, 2010).
Refraktometer abbe adalah refraktometer untuk mengukur indeks cairan, padatan dalam cairan atau serbuk dengan indeks bias dari 1,300-1,700 dan persentase padatan 0-95%. Alat untuk menentukan indeks bias minyak, lemak, gelas optic, larutan gula, dan sebagainya. Indeks bias antara 1,300 -1,700 dapat dibaca langsung dengan ketelitian sampai 0,001 dan 0,0002 dari gelas skala didalam.
Ada 4 jenis refraktometer:
1.      Refraktometer genggam tradisional
2.      Refraktometer genggam digital
3.      Refraktometer labolatorium (refraktometer abbe)
4.      Refraktometer inline
Bagian –bagian refraktometer:
a.       Day light plate
Terbuat dari kaca. Fungsinya mencegah prisma tergores debu dan benda asing dan agar sampel yang diteteskan pada prisma tidak jatuh atau tumpah
b.      Prisma
Merupakan komponen sensitive terhadap goresan. Berfuingsi untuk membaca skala atau indeks bias dari zat terlarut dan mengubah cahaya polikromatis menjadi monokromatis.
c.       Knop pengatur skala
Berfungsi untuk mengkalibrasi alat menggunakan aquades. Cara kalibrasi yaitu obeng minus diletakkan pada knop pengatur skala, lalu diputar-putar hingga rapatan jenis menunjukkan hasil 1000.
d.      Lensa
Berfungsi memfokuskan cahaya yang berada pada bagian handle.
e.       Handle/pegangan
Berfungsi untuk memegang refraktometer dan menjaga suhu tetap stabil
f.       Biomaterial skip
Berfungsi untuk menstabilkan suhu (20 0C) dengan range suhu 15-20 0C dan berada pada bagian dalam handle.
g.      Skala
Berfungsi sebagai pembacaan specific gravity atau rapatan jenis, indeks bias, dan konsentrasi suatu zat yang dianalisis.
h.      Lensa pembesar
Berfungsi untuk melihat dan memperjelas ketajaman skala.
i.        Eye places
Berfungsi untuk melihat pembacaan skala dengan menggunakan detector mata.

         Prinsip pengukuran indeks bias:
Bila seberkas cahaya monokromatik datang dari ruang hampa udara (medium A) dan mengenai permungkaan batas suat cairan atau zat padat (media B), maka cahaya ini pada titik singgung akan dibelokkan, sudut datang a adalah lebih besar dari sudut b.
gambar


III.             ALAT DAN BAHAN
a.       Alat
1.      Refraktometer
2.      Pipet tetes
3.      Gelas piala 100 ml
4.      Tissue
b.      Bahan
1.      Beberapa minyak (ol. Anisi. Ol. Eucalipty.,ol. Menthae, ol. Olivarum,.ol ricini)
2.      Alcohol
3.      Air suling

IV.             PROSEDUR KERJA
1.      Prisma dibersihkan dan dikeringkan dengan alcohol
2.      Prisma ditetesi dengan air suling dan dirapatkan hingga diperoleh garis batas yang jelas antara gelap dan terang
3.      Skala diatur sampai garis batas berimpit dengan titik-titik potong dari dua garis yang bersilangan sehingga indeks bias dapat dibaca pada skala, dan suhunya juga diamati.
4.      Pengukuran terhadap beebrapa sampel juga dilakukan dengan cara yang sama.

V.                MONOGRAFI
a.       Air suliung
Nama resmi aqua destilata. Peperian cairan jernih, tidak bewarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa, penyimpanan dalam wadah terrtutup baik, rumus h2o, kegunaan sebagai zat tambahan pelarut.
b.      Gliserin
Cairan jernih seperti sirup, tidak bewarna, rasa manis, kelarutan dapat bercampur dalam air dan etanol, tidak larut daklan kloroform. Dalam eter, dalam minyak lemak, dan dalam  minyak menguap. Higroskopik dan netral terhasap lakmus. Bobot jenis tidak kurang dari 1,249 .
c.       Aleum anisi
Minyak anis adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan cara penyulingan uap buah kering illicium verum atau buah masak kering. Pemerian cairan jernih, tidak bewarna atau kuning pucat, terlihat bebas air, bau seperti bau buah hancur. Rasa manis dan aromatic, menghablur pada pendinginan, suhu beku tidak lebih rendah dari 15. Rotasi noptik -2 sampai +1. Indeks bias 1,533 sampai 1,560. Wadah penyimpan tertutup rapat, terisi penuh, terlindung dari cahaya, pada suhu tidak lebih dari 25 C.
d.      Oleum eucalipty
Minyak eucalipty adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan destilasi uap dan retifikasi dari daun segar atau cabang segar dari berbagai spesies eucalyptus. Pemerian cairan tidak bewarna atau kuning pucat, bau aromatis seperti kamfer diikuti rasa dingin. Indeks bias 1,458-1,470. Larut dalam 5 bagian volume etanol P 70%.penyimpanan dalam wadah terisi penuh, kedap udara, dan simpan pada suhu tidak lebih dari 25 C.
e.       Oleum methae
Minyak permen adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan destilasi uap dibagian diatas tanah tanaman berbunga menthe piperita linne yang segar. Dimurnikan dengan cara destilasi dan tidak dimentolisasi sebagian ataupun keseluruhan. Pemerian cairan tidak bewarna atau kuning pucat, bau khas kuat menusuk, rasa pedas diikuti rasa dingin jika udara dihirup melaui mulut. Kelarutan dalam etanol 70%. Satu bagian volume dilarutkan dalam 3 bagian volume etanol 70% tidak terjadi opelesensi. Iundeks bias antara 1,465-1,495. Penyimpanan diwadah tertutup rapat dan hindarkan dari panas berlebih.
f.       Oleum olivarum
Minyak zaitun adalah minyak lemak yang diperoleh dari buah masak europae linne. Pemerian, minyak , bewarna kuning pucat atau kuning kehijauan terang, dan rasa khas lemah, dengan rasa ikutan agak pedas. Sukar larut dalam etanol. Bercampur dengan eter, dengan kloroform, dan karbon sulfide. Wadah dan penyimapanan dalam wadah tertutup rapat dan hindarkan dari panas berlebih.
g.      Oleum ricini
Minyak jarak adalah minyak lemak yang diperoleh dari biji ricinus linne, tidak mengandung bahan tambahan, pemerian cairan kental, transparan, kuning pucat, atau hamper tidak bewarna, bau lemah, bebas dari bau asing dan tengik, rasa khas. Larut dalam etanol . dapat bercampur dengan atanol mutlak, dengan asam asetat glasial, dengan kloroform dan dengan eter. Disimpan dalam wadah etrtutup rapat dan terhindar dari panas berlebih.

VI.             HASIL DAN PEMBAHASAN
a.       Hasil
Tabel pengamatan indeks bias
                                   
No
Sampel
Suhu
(0C)
Indeks bias percobaan
Indeks bias menurut FI
1
Ol. Anisi
30,8
1,482765
1,553-1,560
2
Ol. Eucalipty
31,2
1,47745
1,458-1,470
3
Ol.ricini
31,2
1,474735
1,477-1,481
4
Ol. Olivarum
31,4
1,467705
1,533
5
Ol. Methae
31,8
1,45566
1,465-1,495
6
Aquadest
31,5
1,332
1,3320
7
Gliserin
31,9
1,45565
1,46
8
Larutan 2,5 ml
31,7
11,455655
1,46
9
Larutan 5 ml
31,8
1,455655
1,46
10
Larutan 7,5 ml
31,8
1,455655
1,46

b.      Pembahasan
Pada percobaan ini dilakukan pengukuran indekas bias dari beberapa sampel yaitu ol. Anisi, ol.eucalipty, ol. Ricini, ol. Mathae, ol. Olivarum, aquadest, gliserin,dan larutan aquadest yang ditambah 2,5 ml, 5 ml, dan 7,5 ml gliserin dengan menggunakan alat refraktometer.
Prinsip kerja dari alat ini adalah didasarkan pada pengukuran sudut kritis yaitu sudt terkecil dari luas bidang dengan garis normal dalam medium yang indeks biasnya terbesar.
Sebelum refraktometer dipakai, refraktometer dibersihkan dengan menggunakan aquades dan dibiarkan sampai kering, setelah itu permungkaannya ditetesi dengan= sampel yang ada secara bergantian, sambil mengamati skala pada refraktometer tersebut dengan memutarnya.
Dari percobaan yang telah dilakukan, kami mendapati indeks bias yang berbeda dari semua sampel yang ada, dan setelah kami bendingkan dengan FI , ternyata yang nilainya sama hanyalah aquadest, sedangkan sampel yang lain memiliki nilai indeks bias yang lebih dan kurang dari ketetapan yang ada dalam FI.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa perbedaan indeks bias dipengaruhi oleh konsentrasi sampel, kerapatan, kecepatan cahaya, serta pengamatan skala yang kurang tepat.

VII.          KESIMPULAN DAN SARAN
a.        Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan, ternayat indeks bias yang didapat berbeda dengan FI, kevuaili pada aquadest yang sama dengan yang ditetapkan FI yaitu 1,332. Sedangkan sampel yang lain memiliki nilai indeks bias yang lebih dan kurang dari ketetapan yang ada dalam FI. Adanya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi sampel, kerapatan, kecepatan cahaya, serta pengamatan skala yang kurang tepat.
b. Saran
Sebaiknya pada percobaan selanjutnya dibutuhkan ketelitian yang lebih , terutama dalam mengamati skala yang ada pada refraktometer guna mendapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA
Darmawangsa, ZA. 1980. Penuntun Praktikum Analisis Instrumental Dasar-Dasar Penggunaan. Jakarta: Grayuna
Sodiq, Ibnu. 2004. Kimia Analitik, Malang: JICA
Susilawaati, Tuti, 2011. Praktikum Fisika Eksperimen. Bandung: UNPAD
Zemansky, Sears. 1987. Fisika untuk Universitas. Jakarta: Binacitra