Sunday 30 June 2019

Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Penatalaksanaannya

DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia. Ini telah menyebabkan hampoir 390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk menularkan atau menyebarkan virus dengue ( Indrayani. 2018).

EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi dibeberapa negara lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi (1958), Malayasia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengan tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimatan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan daerah Karibia ( Soedarmo, dkk. 2008).

ETIOLOGI
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Kempat jenis serotipe virus dengue dapat dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat ( Soedarmo, dkk. 2008).

PATOFISIOLOGI
a.      Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBd ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, tromobositopenia, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 lodine labeled human albumin  sebagaiindikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan terdapatnya edema ( Soedarmo, dkk. 2008).
      Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma.Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit.Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastic.Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar.Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia ( Soedarmo, dkk. 2008).
b.      Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD.Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinyaa perdarahan pada DBD ( Soedarmo, dkk. 2008).
c.       Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP).Penelitian lebih lanjut factor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas factor VII, menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan factor VIII. Hal ini diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisi.Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas ά-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen ( Soedarmo, dkk. 2008).
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian, (3) Pendarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh factor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan factor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik, (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang ( Soedarmo, dkk. 2008).
d.      Sistem Komplemen
Penelitiansistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubunganpositif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1) 3.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit ( Soedarmo, dkk. 2008).
e.       Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB).Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam.Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue.Namun, antara hari kedua sampai dengan harri kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok.Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%.Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue.Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T.definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.Kromosom inti kasar dan kadang-kadang didalam ini terdapat nucleoli.Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru ( Soedarmo, dkk. 2008).

PATOGENESIS
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologus infection hypothesis atau the sequential infection yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan- 5 tahun ( Soedarmo, dkk. 2008).
a.    Hipotesis Peningkatan Imunologis
Antibody yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaann ini berdasarkan adanya virion determinant specificity ( Soedarmo, dkk. 2008).

MANIFESTASI KLINIS
                 Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demm tinggi, perarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dan DD tialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis hemoragik ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.Petekia haus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam.Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh.Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatsi. Perdarahan lain, seperti pedarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis.Pada sebagian besar kasus dtemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut.Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalm fase syok.Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok ( Soedarmo, dkk. 2008).
     Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat teraba.Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat, tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat denga  prognosis buruk. Sebaliknya engan pengobatan yang tepat segra terjadi masa penyembuhan dengan cepat.Pasien membaik dalam 2-3 hari.Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik ( Soedarmo, dkk. 2008).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.Jumlah trombosit <100.000 ditemukan anatar hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam kedaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara ( Soedarmo, dkk. 2008).

DIAGNOSIS
Patokan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium ( Soedarmo, dkk. 2008).
·         Klinis : demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi pendarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk pendarahan lain, pembesaran hati, syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), tekanan menurun, disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
·         Laboratorium : trombositopenia (<100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari nilai hematokrit >20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen ( Pudjiadi, dkk. 2009).
Menurut Pedoman Pelayanan Medis5diagnosis demam dengue dapat dilakukan sebagai berikut :
a.    Ananesis :
-   Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
-   Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah
-   Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
-   Diare kadang – kadang dapat ditemukan
-  Perdarahan yang paling sering dijumpai adalahperdarahan kulit dan mimisan.
b.    Pemeriksaan fisis :
-  Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,  nyeri kepala,  nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD dan DBD.
-  Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
-  Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipofolemia, dan syok.
-  Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan rongga peritonial selama 24-48 jam.
-  Fase kritis hari ke 3-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
-  Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena, atau hematoria.
c.    Tanda – tanda Syok
-  Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
-  Nafas cepat, nadi teraba lembut, kadang-kadang tidak teraba.
-  Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
-  Akral dingin, capilary refill menurun.
-  Deuresis menurun sampai anoria
d.   Pemeriksaan Penunjang
-  Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis, hemokrit, trombosit. Pada asupan darah perifer juga dapat dinilai limfosit darah biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD.
-  Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase konvalesens.
-  Pemeriksaan radiologi (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis):
-       Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
-       Kelainan radiologi dilatasi pembuluh darah baru terutama di daerah hilus kanan, hemithoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan dari kiri, dan efusi pluera.
-       USG : efusipluera, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan vesica urinaria ( Sukandar, dkk. 2008).
Menurut WHO (1975) derajat penyakit DBD terbagi dalam 4 derajat3
Derajat
Gejala
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II
Derajat I disertai perdarahn spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemut, tekanan nadi menurun atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV
Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

TATALAKSANA
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/ gejalanya tidak spesisifk, oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD .tanda/ gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, teus-menerus badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok, muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet : apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit <100.000 pasien diawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet postif dengan jumlah trombosit >100.000 atau normal atau uji tourniquet negative, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit.

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD deajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan dibawah.Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/ hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik diberikan bila suhu >38,5oC.pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infuse NaCl 0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai dengan berat badan. Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setaip 6-12 jam.Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pmbesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan perdarahan saluran cernaa. Dieresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratories, anak dapat dipulangkan: tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan (Soedarmo, dkk. 2008).


Pada DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus-menerus selama <7hari tanpa sebab yang luas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit <100.000 dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ Nacl 0,9% 6-7 mL/kgBB/jam (Soedarmo, dkk. 2008).
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin (Soedarmo, dkk. 2008).
(1)     Segera beri infus kristaloid 20ml/kgBB secepatnya, dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derjat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), diberikan ringer laktat 20mL/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tidap 15 menit hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2)     Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum dilanjutkan20mL/kgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 1—20mL/kgBB, maksimal 30mL/kgBB. Obsevasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.



Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien, serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama, kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table berikut3 :
Berat Badan (kg)
Jumlah Cairan (mL)
10
100 per kg BB
10-20
1000+ 50 x kg (diatas 10kg)
>20
1500+ 50 x kg (diatas 20kg)

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000 dan cenderung menigkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (Soedarmo, dkk. 2008).

SUMBER:

Indrayani A Yoeyoen, Tri Wahyudi, 2018, InfoDATIN: Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI, Halaman 1
Pudjiadi Antonius H. dkk. 2009. Infeksi Virus Dengue: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. Halaman141-149
Soedarmo, P. S.dkk. 2008.Infeksi Virus Dengue. Dalam : S P Soedarmo, H Gama, R S Hadinegoro: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri. Jakarta: Balai Penerbit: IDAI. Halaman 155-179, 338-345



Saturday 15 June 2019

TUBERCULOSIS PADA ANAK DAN PENATALAKSANAAN

Defenisi Tuberkulosis
            Penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sitemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak diparu yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer1.
Etiologi23
a. Resiko Infeksi TB
            Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
            Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang deawas yang infeksius, terutama degan BTA positif. Berarti, bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki resiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpejan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.
            Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kapitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
            Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi didaerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi prduksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batu di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
b. Resiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor resiko yang pertama adalah usia. Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, resiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap sering dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB 43% nya akan menjadi sakit TB. Pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24% pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak berusia < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB), dengan angka morbiditas dan moralitas yang tinggi. Resiko tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi  menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
            Faktor resiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin ( dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transpalatasi organ, dan pengobtan imunosupresan), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. Dinegara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor resiko, sedangkan diindonesia  hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang mempunyai resiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dan M. Tuberculosis dan dosis infeksinya. Akan tetapi, secara klinis hal in sulit untuk dibuktikan.
            Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais meruakan salah satu faktor resiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan resiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif adalah 7-10% per tahun, dibandingkan dengan pasien non-HIV yang resiko terjadinya sakit TB adalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun pada awal abad ke 20 kembali meningkat pada akhir 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV  dan resistensi multi obat (Multi Drug Resistence = MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resitensi obat yang ekstrim (Extreme Drug Resistence = XDR). Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada tabel :

Tabel  1. Resiko Sakit TB Pada Anak13
Umur saat infeksi primer (Tahun)
Resiko sakit
Tidak sakit
TB Paru
TB Diseminata
( milier, meningitis)
<10
50%
30-40%
10-22%
1-2
75-80%
10-20%
2-5%
2-5
95%
5%
0,5%
5-1
98%
2%
< 0,5%
>10
80-90%
10-20%
< 0,5%

Patofisiologi
-          Infeksi primer diinisiasi oleh implantasi organisme di alveolar melalui droplet nuklei yang sangat kecil (1-5 mm) untuk menghindari sel epithelial siliari dari saluran pernafasan atas. Bila terimplantasi M. Tuberculosis melalui saluran napas, mikrorganisme akan membelah diri dan  dicerna oleh makrofag pulmoner, dimana pembelahan diri akan terus berlangsung, walaupun lebih pelan. Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus limfe regional dapat terjadi,  menghasilkan pembentukan radiodense area menjadi kompleks Ghon.
-          Makrofag yang teraktivasi dalam jumlah besar akan mengelilingi daerah yang ditumbuhi M. tuberculosis yang padat seperti keju (daerah nekrotik) sebagai bagian dari imunitas yang dimediasi oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda juga berkembang melalui aktivasi dan perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk granuloma yang mengandung organisme.
-          Keberhasilan dalam menghambat pertumbuhan M.tuberculosis membutuhkan aktivasi dari limfosit CD4 subset, yang dikenal sebagai sel Th-1, yang mengaktivasi makrofag melalui sekresi dari interferon g.
-          Sekitar 90% pasien yang pernah menderita penyakit primer tidak memiliki manifestasi klinis lain selain uji kulit yang positif dengan atau tanpa kombinasi dengan adanya granuloma stabil  yang diperoleh dari hasil radiografi.
-          Sekitar 5% pasien (biasanya anak-anak orang tua, atau penurunan sistem imun) mengalami penyakit primer yang berkembang pada daerah infeksi primer (biasanya lobus paling bawah ) dan lebih sering dengan diseminasi, menyebabkan terjadinya infeksi meningitis dan biasanya juga melibatkan lobus paru-paru paling atas
-          Sekitar 10% dari pasien mengalami reaktivasi, terjadi penyebaran organisme melalui darah.
-          Biasanya penyebaran organisme melalui darah ini menyebabkan pertumbuhan cepat, penyebaran penyakit secara luas dan pembentukan granuloma yang dikenal sebagai tuberculosis miliari.4


Gambar Patofisiologi TB5
Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak23
            Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. Tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebropsinal (CSS), cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman ( paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).
            Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjer limfe hilus dan parenkim paru bagian perife3r. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. Basil tahan asam baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1 mL spesimen.
            Penyebab kedua, sulitnya pengambilan spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidk berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 mL, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walauun batuknya berdahak, pada biasanya dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastrik tube (NGT), dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak nyaman bagi pasien.
            Beberapa alasan diatas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif , uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.
            Ada beberapa jenis lesi TB paru dan bentuk klinis TB pada anak. Berbagai jenis lesi TB paru dapat dilihat pada tabel :
Tabel 2. Lesi Tuberkulosis Paru
Kelenjer Limfe
Hilus, Paratrakeal, Mediastinum
Parenkim
Fokus primer, pneumonia, atelektasi, tuberkulom, kavitas
Saluran nafas
Air trapping, penyakit endobronkial, trakeobronkitis, stenosis bronkus, fistula bronkopleura, bronkiektrasis, fistula bronkoesofagus.
Pleura
Efusi, fistula bronkopleura, empiema, pneumotoraks, hemotoraks
Pembuluh darah
milier, pedarahan paru

Tabel 3.  Bentuk Klinis Tuberkulosis Pada Anak
Infeksi T
-          Uji tuberkulin positif tanpa kelainan klinis
-          Radiologi
-          Laboratorium

Penyakit TB paru
TB  paru primer (pembesaran kelenjer hilus dengan atau tanpa kelainan parenkim)
TB paru progresif (Peneumonia, TB endobronkial)
TB paru kronik (Kavitas, fibrosis, tuberkuloma)
TB milier
Efusi pleura TB
Di luar paru
Kelenjer limfe
Otak dan selaput otak
Tulang dan sendi
Saluran cerna termasuk hati, kantung empedu, pankreas
Saluran kemih termasuk ginjal
Kulit
Mata
Telinga dan mastoid
Jantung
Membran serous (peritoneum, perikardium)
Kelenjer endokrin (adrenal)
Saluran nafas bagian atas (tonsil, laring, kelenjer endokrin).

Manifestasi Klinis23
            Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klins TB sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang bereran adalah kuman TB, pejamu, serta interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi kuman, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia dan, kompentensi imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjer hilus pada foto toraks. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal.
a.       Manifestasi Sistemik (Umum/Nonspesifik)
            Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB umumnya berlangsung bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak dapat menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai muncul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala dan tanda klinis sitemik yang tidak khas, terkait dengan orgn yang terkena. Keluhan sitemik ini diduga beraitan dengan peningkatan tumor necrosis faktor α (TNF- α ).
            Salah satu gejala sitemik yang seringkali terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB berkisar 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang-timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi klinis sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik (turu, tetap, atau naik, tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu. Lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.
            Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi klinis respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering TB paru dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala batuk berulang lebih sering disebabkan karena asma, sehingga jika menghadapi anak dengan batuk kronik berulang, telusuri dahulu kemungkinan asma. Fokus primer TB paru pada anak umumnya terdapat didaerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kroik. Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang. Gejala batuk kronik berulang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain, misalnya rinosinusitis, refluks gastroesofageal, pertusis, rinitis kronik dan lain-lain. Gejala sesak jarang dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat  yang berlangsung akut, misalnya pada TB milier, efusi pleura dan pneumonia TB.
Bayi
Anak kecil
Anak besar
Refluks gastroesofagus

Hiperaktivitas saluran respiratori
Pasca nfeksi virus
Asma
Infeksi
Asma
Post-nasal drip
Malformasi kongenital
Perokok pasif
Merokok

Refluks gastroesofagus

TB pulmonar
Perokok pasif
Benda asing
Bronkiektasis
Polusi lingkungan
Bronkiektasis
Batuk psikogenik
Asama



Rangkuman dari gejala umum pada TB anak adalah berikut :
1.      Demam lama (≥ 2 minggu) dan /atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-lain) yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi
2.      Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan
3.      Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat
4.      Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan adekuat (failure to thrive)
5.      Lesu atau malise
6.      Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare
Tabel 4. Frekuensi Gejala Dan Tanda TB  Paru Sesuai Kelompok Umur
Kelompok Umur
Bayi
Anak
Akil Balik
Gejala



Demam
Sering
Jarang
Sering
Keringat malam
Sangat jarang
Sangat jarang
Jarang
Batuk
Sering
Sering
Sering
Batuk produktif
Sangat jarang
Sangat jarang
Sering
Hemoptisis
Tidak pernah
Sangat jarang
Sangat Jarang
Dispnu
Sering
Sangat jarang
Sangat Jarang
Tanda



Ronki basah
Sering
Jarang
Sangat Jarang
Mengi
Sering
Jarang
Jarang
Fremitus
Sangat jarang
Sangat jarang
Jarang
Perkus pekak
Sangat jarang
Sangat jarang
Jarang
Suara napas berkurang
Sering
Sangat jarang
Jarang

b.      Manifestasi Spesifik Organ/Lokal
            Manifestasi klinis spesifkik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjer limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit.
-          Kelenjer limfe
            Pembesaran kelenjer limfe superfisialis ini dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti dapat dilihat pada tabel :
Tabel 5 . Diagnosis Banding Pembesaran Limfe Superfisialis
Infeksi
Keganasan
Infeksi respiratorik berulang
Primer
Demam tifoid
Penyakit hodgin
Tuberkulosis
Limfoma non-hodgin
 AIDS
Kelainan histitositik
Mononukleosis

CMV
Penyakit autoimun
Rubella
Reumatoid artritis
Varisela
Lupus eritematosus
Rubeola
Dermatomiosis
Histoplasmosis

Toksoplasmosis
Reaksi oba
Dan lain-lain
Lain-lain
Gangguan penyimpanan lemak

Penyakit gaucher
Sarkoidosis
Penyakit niemann-pick
Serum sickness

-          Sistem Saraf Pusat (SSP)
Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit ini merupakan penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil dan kejang. Proses patologi meningitis TB biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala neurologis lain berhubungan dengan gangguan saraf kranial. Bentuk TB SSP yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi klinis nya lebih samar dari meningitis TB, sehingga biasanya terdeteksi secara tidak sengaja. Bila telah terjadi lesi yang menyebabkan proses desak ruangan, maka manifestasi klinisnya sesuai dengan lokasi lesi.
-          Sistem Skeletal
Gejala umumnya ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik biasanya tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, efipisis tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah sponditis TB, koksitis TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya muncul secara perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosis. Manisfestasi yang dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversible. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh dan sulit membungkuk.
-          Kulit
Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara, yaitu inomulas langsung (infeksi primer) seperti tuberculous chancer, dan akibat limfadenitis TB yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrolfuloderma. Skrolfuloderma sering ditemukan dileher dan wajah, ditempat yang mempunyai kelenjer getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula, supraklavikula dan lateral leher.
Rangkuman dari gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
1.      Tuberkulosis kelenjer ( terbanyak di regio koli, multipel, tidak nyeri dan saling melekat)
2.      Tuberkulosis otak dan saraf
·         Meningitis TB
·         Tuberkuloma otak
3.      Tuberkuloma sistem skeletal
·         Tulang punggung (spondilitis, gibbus
·         Tulang panggul (koksitis) pincang
·         Tulang lutut (gonitis) pincang dan atau bergerak
·         Tulang kaki dan tangan
·         Spina ventosa (daktilitis)
4.      Tuberkulosis kulit
5.      Tuberkulosis mata
·         Konjungivitas fliktenularis (conjungtivitis phlyctenularis)
·         Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
6.      Tuberkulosis organ-rgan lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal

Pemeriksaan Penunjang23
            a. Uji Tuberkulin
            tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang memunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB), maka akan terjadi reaksi reaksi berupa indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel imflamasi daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit.
            Uji tuberkulin merupkan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberkulin unit) buatan stenens serum institute Denmark, dan PPD (Purified protein derivative) dari Biofarma.
            Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikan 0,1 mL PPD RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan dibagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pilpen, kemuadian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaprkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula.
            Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) atau infeksi M. Atipik.  Bacille Calmette Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidk sekuat infeksi alamia. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan.
            Pada anak balita yang telah medapatkan BCG, diameter indurasi 10-15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥ 15 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.
            Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma dan lain-lain). Keadaan alergi atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokal yang lain, minimal berjarak 2 cm.
            Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromasis), maka cut-off-point hasil positif yang dignakan adalah ≥ 5 mm. keadaan imunokompromasis ini dapat dijumpai pada apsien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela atau pasien-pasien yang menerima imunosupresan jangka panjang (≥ 2 minggu). pada anak yang melami kontak erat dengan pasien TB deawas aktif disertai BTA positif, juga digunakan batas ≥ 5 mm. uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi morbili, maesles, mumps, rubella (MMR), dan varisela, karena dapat terjadi anergi ( negatif palasu karena terganggunya reaksi tuberkulin).
            Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga ulkus di tempat suntikan. Juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadnopati regional, konjungtivitis fliknularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam, walaupun jarang terjadi.
            Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut :
1.      Infeksi TB alamiah
·         Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
·         Infeksi TB dan sakit TB
·         TB yang telah sembuh
2.      Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3.      Infeksi mikobakterium atipik
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut :
1.      Tidak ada infeksi TB
2.      Dalam mana inkubasi infeksi TB
3.      Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostastika, penyakit morbili, pertusis, varisela, influena, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influena, bukan batuk pilek-panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut sebagai selesma ( common cold).
Satu hal yang perlu dicermati saat pembacaan uji tuberkulin adalah kemungkinan uji tuberkulin positif palsu. Uji tuberkulin positif palsu dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interpretasi salah, demikian juga negatif palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik sehingga potensinya menurun.

Tabel 6. Sebab-Sebab Hasil Positif Palsu Dan Negatif Palsu Uji Tuberkulin Mantoux
Positif palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dapat mycobacterium atipik
Negatif palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Intepretasi tidak betul

Menderita TB luas dan berat
Disertai infeksi vrus ( campak, rubella, cacar air, influenza, HIV)
Imunoinkompetensi seluler, termasuk pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet ( matahari, solaria)
Defisiensi permisosa
Uremia

Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit TB, klasifkikasi TB yang dibuat oleh American Thoracic Society (ATS) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika agaknya dapat membantu :
Tabel 7. Klasifikasi Individu Berdasarkan Status Tuberkulosisnya
Kelas
Pajanan (kontak dengan asien TB aktif)
Infeksi (uji tuberkulin positif)
Sakit ( uji tuberkulin, klinis, dan penunjang positif)
0
-
-
-
1
+
-
-
2
+
+
-
3
+
+
+

Penegakkan Diagnosis23
            Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adnya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif  pada foto toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang seksama terhada semua data klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung ( direct smear), dan/atau biakan yang merupakan pemeriksan baku emas (gold standard), atau gambaran PA TB. Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman pada daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologisnya positif/ditemukan kuman TB. Diagnosis tidk dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis saja, atau pemeriksaan penunjang tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisis kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.
            Kesulitan megakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO, Steregen dan jones, dan UKK Respirologi PP IDAI.
            WHO (Organisasi Kesehatan Dunis) membuat kriteria untuk membuat diagnosis TB pada anak :
Tabel 13. Petunjuk WHO Untuk Diagnosis TB Anak
a.       Dicurigai tuberkulosis
1.      Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis pasti
2.      Anak dengan :
·         Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
·         Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernapasan
b.      Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah :
·         Uji tuberkulin positif (10 mm atau lebih )
·         Foto rontgen aru sugestif tuberkulosis
·         Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis
·         Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT

c.       Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan hasil tuberkulosis pada pemeriksaan lansung atau biakan identifikasi Mycobacterium tuberkulosis pada karakteristik biakan
           
Kriteria WHO ini telah dievaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan hasil baik. Penilaian pada 258 anak dengan “ mungkin tuberkulosis” sesuai kriteria WHO, maka setelah diikuti lebh lanjut 109 (42%) menjadi “pasti tuberkulosis” dengan biakan positif, 86 (33%) diagnosisnya tetap “ mungkin tuberkulosis” sedangkan 63 (24%) bukan tuberkulosis. Diantara 109 anak dengan biakan positi, 11 anak foto rontgen perutnya normal.
            Untuk kerja koordinasi resirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur diagnosis TB anak yang di muat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam alur diagnosis tersebut, 10 butir krite3ria diagnosis TB anak. Bila terpenuhu tiga atau lebih, anak sudah dapat didignosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaanya di lapangan, alur diagnosis tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada anak.

Hal-hal yang mencurigai TB :
1.      Mempunyai sejarah kontak erat dengan pasien TB dengan BTA (+)
2.      Uji tuberkulin yang positif (> 10 mm)
3.      Gambaran foto rontgen sugestif TB
4.      Terdapat reaksi kemerahan yang cepat ( dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan BCG
5.      Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6.      Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas
7.      Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang baik yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi ( failure to thrive)
8.      Gejala-gejala klinis sepesifik (pada kelenjer limfe, otak tulang dll)
9.      Skofulodema
10.  Konjungtivitis fliktenularis





Tabel 8.  Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter
0
1
2
3
Kontak TB
Tidak jelas
-
Laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin
Negatif
-
-
Positif (≥ 10 mm, atau ≥ 5 mm pada keadaan immunosupresi
Berat badan/keadan gizi
-
BB/TB < 90% atau BB/U < 80%
Kilinis gizi atau BB/TB < 70% atau BB/U < 60%

Demam yang tidak diketahui penyebabnya
-
≥ 2 minggu
-

Batuk kronik
-
≥ 3 minggu
-

Pembesaran kelenjer limfe koli, aksila, inguinal
-
≥ 1 cm, jumlah ≥ , tidak nyeri
-

Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang
-
Ada pembengkakan
-

Foto toraks
Normal/kelainan tidak jelas
Gambaran sugestif TB
-

Catatan :
·         Diagnosis degan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
·         Bila dijumpai gambaran milier atau skrofulodema, langsung didiagnosis TB
·         Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
·         Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku
·         Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
·         Gambaran sugestif TB, berupa : pembesaran kelenjer hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrasi konsolidasi segmental/lobar, klasifikasi dengan infiltrasi, atelektasi, tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus
·         Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin ditempat pelayanan kesehatan
·         Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7 hari) harus dievaluasi dengan sitem skoring TB anak. BCG bukan merupakan alat diagnstik
·         Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13).

2.3.8        Tatalaksana26
Tatalaksana TB anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu, penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila sudah ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Uapaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama. Pengawasan terhada jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya
-          Obat TB Yang Digunakan23
Obat TB utama (first line) saat ini adalan rifamfisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan strepstomisin (S). Rifamfisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamicin, amikacin, dan capreomicyn yang digunakan jika terjadi MDR.
a.      Isoniazid
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/ hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/ 5 mL. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaanya. Konsentrasi puncak didalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi daripada dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawat darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatktoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekwensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniaid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. 3-10% pasien akan mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi hepatotoksisitas yang bermakna secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut lebih mungkin terjadi pada remaja atau anak dengan TB yang berat. Idelanya, perlu pemantauan kadar transminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala tanda klinis. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isniaid diberikan bersama dengan rfafisin dan pirainamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau fenitoin juga dapat meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksisitas. Pemberian isoniaid tidak dianjutkan bila kadar trasminase serum naik lebih dari lima kali harga normal, atau tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah dan nyeri perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhiisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan isoniaid, tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak perlu pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan ASI, memerlukan piridoksin tambahan.  Piridoksin diberikan 20-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
b.      Rifamfisin
Rifamfisin bersifat bakterisid pada intrasel, dapat memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorma yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifamfisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong ( 1 jam sebelum mkan), dn kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifamfisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/ hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersama dengan isoniaid, dosis rifamfisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid, rifamfisin di distribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifamfisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan dari pada keadaan normal. Ekskresi rifamfisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang efektif juga dapat ditemuan di ginjal dan urin.
Efek samping rifamfisin lebih sering terjadi daripda isonizid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat sputum dan air mata, menjadi warna orange kemerahan. Selait itu, efek samping rifamfisin adalah gangguan gastrointenstinal (muntah dan mual)< dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang hepatoksisitas, yang dapat diperkecil denfan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10 mg/kgBB/hari. Rifamfisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinterakasi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin, koloramfenicol, kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifamfisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul malabsorbsi.

c.       Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 mikrogram/mL dlam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asama, yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang deawasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa artrlgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama dengan makanan.
d.      Etambutol
Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 mikrogram dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Ekskresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaanya dihndari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obatan lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
e.       Streptomicin
            Streptomicin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi pengobatannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar puncak 40-50 mikrogram/ ML dalam waktu 1-2 jam.
            Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dan diekresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
            Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi anak terhadap dosis per kgBB lebih tinggi. Saat ini terdapat beberapa perbedaan dosis OAT di dalam kepustakaan. Oleh karena itu, UKK respirologi PP IDAI telah menyepakati pedoaman dosis OAT dengan mempertimbangkan toleransi anak terhadap dosis, dan tidak hanya sekedar ekstrapolasi dosis untu pasien dewasa. Secara dosis dan efek samping OAT dapat dilihat pada tabel :
            Tabel 15. Obat Antituberkulosis Yang Biasanya Dipakai Dan Dosisnya
Nama obat
Dosis harian (mg/kgBB/hari
Dosis maksimal (mg/kgBB/hari)
Efek samping
Isoniazid
5-15*
300
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
Rifampisin**
10-20
600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna orange kemerahan
Pirazinamid
15-30
2000
Toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal
Etambutol
15-20
1250
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hiersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin
15-40
1000
Ototoksik, nefrotoksik
*bila isoniazid dikombinasikan dengan rifamfisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB hari
** rifamfisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavaibilitas rifamfisin
Rifamfisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan)

-          Panduan Obat TB
            Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif ( 2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemunginan terjadinya relaps.
            Beda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga kali demam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifamfisi, isoniazid  dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifamfisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifamfisin dan isoniazid.
            Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sistem skeletal dan lain-lain, pada afse intensif dberika minimal 4 macam obat (rifamfisin, isoniazid, etambutol dan streptomisin). Pada fase lanjutan dieberikan rifamfisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkila, dan peritonotis TB, diberikan kortikorsterois (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1-2 minggu.
Tabel 9. Dosis Kombinasi Pada Tuberkulosis Anak
Berat Badan (kg)
2 bulan RHZ (75/50/150 mg)
4 bulan (RH 75/50 mg)
5-9
1 tablet
1 tablet
10-14
2 tablet
2 tablet
15-19
3 tablet
3 tablet
20-32
4 tablet
4 tablet
Catatan :
·         Bila BB ≥ 33 kg, dosis disesuaikan
·         Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
·         Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet
·         Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB.

Tabel 10 Dosis Kombinasi Tetap Berdasarkan WHO
Berat Badan

Fase Inisial (2 Bulan)
Fase Lanjutan (4 Bulan )
Kisaran Dosis
<7
1
1
R: 9-20 mg, H: 4-10 mg, Z : 21-50 mg
8-9
1,5
1,5
R: 8-9 mg, H: 5-5,6 mg, Z : 19-22 mg
10-14
2
2
R: 11-12 mg, H: 4,3-6 mg, Z: 21-30
15-19
3
3
R: 9,4-12 mg, H: 4,3-6 mh Z: 16-30
20-24
4
4
R: 10-12, H: 5-6 mg, Z: 25-30 mg
25-29
5
5
R: 10,3-12 mg, H: 5-6 mg, Z: 15-30 mg
Catatan :
R :  Rifamfisin
H : Isoniazid
Z : Pirazinamid

Pengawasan Efek Samping
          Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium tidak harus dilakukan secara rutin. Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera melaporkannya kepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang gejala yang dialaminya. Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor (lihat tabel 5.3). Jika timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik. Jika timbul efek samping berat (mayor), maka pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek samping mayor harus ditangani pada pusat pelayanan khusus.27
Tabel 11 Efek Samping Obat Tuberkulosis dan Penanganannya27
Efek Samping
Kemungkinan Penyebab
Penanganan
Minor                                                                      Teruskan obat, Periksa

Anoreksia, mual, sakit perut

Rifampisin
Berikan obat pada malam hari sesudah makanan yang lain

Nyeri sendi
Pirazinamid
Aspirin

Rasa panas di kaki

INH
Piridoksin 100 mg/hari
Urin kemerahan

Rifampisin

Terangkan kepada pasien
Mayor                                                                     Hentikan Obat Penyebab

Gatal-gatal, kemerahan di kulit

Tiasetazon
Hentikan obat yang bersangkutan

Ketulian

Streptomisin
Hentikan streptomisin ganti dengan etambutol
Pusing, vertigo, nistagmus
Streptomisin
Hentikan streptomisin ganti dengan etambutol
Ikterus (tanpa sebab lain)
Berbagai anti ТВ
Hentikan anti ТВ
Muntah, bingung (kecurigaan, gagal hati)
Berbagai anti TB
Hentikan obat, segera periksa fungsi hati dan waktu protrombin

Gangguan penglihatarn
Etambutol
Hentikan etambutol
Syok, Purpura, gagal ginjal akut
Rifampisin
Hentikan rifampisin

-          Evaluasi Efek Samping Pengobatan23
            Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifamfisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
            Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10 mg/kgBB/hari dan dosis rifamfisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-piruvat Transminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapa pun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.

Putus Obat23
            Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah beberapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu di rujuk untuk penanganan selanjutnya.

Multi-drug Resistence (MDR) 23
            Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yag resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila penegndalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5% sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi direcly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja. Daftar OAT lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada tabel :

Tabel 12. Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua untuk MDR-TB
Nama obat
Dosis harian (mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal (mg/kgBB/hari)
Efek samping
Ethionamide atau prothionamide
15-20
1000
Muntah, gangguan gastrointestinal* sakit sendi
Fluoroquinolones**
Ofloxacin
Levofloxacin
Moxifloxacin
Gatifloxacin
Ciprofloxacin

15-20
7,5-10
7,5-10
7,5-10
20-30

800
-
-
-
1500

Aminoglycosides
Kanamycin
Amikasin
Caproemisin

15-30
15-22,5
15-30

1000
1000
1000
Ototoksisitas, toksisitas hati
Cycloserin terizodone
10-20
1000
Gangguan psikis, gangguan neurologis
Para-aminosalicylic acid
150
12000
Muntah, gangguan gastrointestinal
*dapat di tanggulangi dengan dosis terbagi
** meskipun belum disetujui untuk anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping

Sumber:

1.      Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2009. PedomanPelayanan Medis,. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2.    Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktur Jendral
3.      Global Health Science. 2017. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian gastritis Pada Remaja. ISSN
4.      Adnyana, I., Andrajati, R., Setiadi, A. P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbit4an : Jakarta
5.      Price., Sylvia, A. 2005. Patofisiologi Konsep Klins Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta
6.      Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama, Jakarta
7.      World Health Organization.2005. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,. Jakarta : Badan Penerbit World Health Organization