Sunday 30 June 2019

Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Penatalaksanaannya

DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia. Ini telah menyebabkan hampoir 390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk menularkan atau menyebarkan virus dengue ( Indrayani. 2018).

EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi dibeberapa negara lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi (1958), Malayasia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengan tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimatan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan daerah Karibia ( Soedarmo, dkk. 2008).

ETIOLOGI
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Kempat jenis serotipe virus dengue dapat dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat ( Soedarmo, dkk. 2008).

PATOFISIOLOGI
a.      Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBd ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, tromobositopenia, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 lodine labeled human albumin  sebagaiindikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan terdapatnya edema ( Soedarmo, dkk. 2008).
      Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma.Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit.Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastic.Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar.Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia ( Soedarmo, dkk. 2008).
b.      Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD.Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinyaa perdarahan pada DBD ( Soedarmo, dkk. 2008).
c.       Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP).Penelitian lebih lanjut factor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas factor VII, menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan factor VIII. Hal ini diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisi.Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas ά-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen ( Soedarmo, dkk. 2008).
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian, (3) Pendarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh factor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan factor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik, (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang ( Soedarmo, dkk. 2008).
d.      Sistem Komplemen
Penelitiansistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubunganpositif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1) 3.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit ( Soedarmo, dkk. 2008).
e.       Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB).Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam.Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue.Namun, antara hari kedua sampai dengan harri kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok.Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%.Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue.Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T.definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.Kromosom inti kasar dan kadang-kadang didalam ini terdapat nucleoli.Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru ( Soedarmo, dkk. 2008).

PATOGENESIS
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologus infection hypothesis atau the sequential infection yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan- 5 tahun ( Soedarmo, dkk. 2008).
a.    Hipotesis Peningkatan Imunologis
Antibody yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaann ini berdasarkan adanya virion determinant specificity ( Soedarmo, dkk. 2008).

MANIFESTASI KLINIS
                 Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demm tinggi, perarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dan DD tialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis hemoragik ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.Petekia haus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam.Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh.Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatsi. Perdarahan lain, seperti pedarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis.Pada sebagian besar kasus dtemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut.Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalm fase syok.Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok ( Soedarmo, dkk. 2008).
     Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat teraba.Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat, tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat denga  prognosis buruk. Sebaliknya engan pengobatan yang tepat segra terjadi masa penyembuhan dengan cepat.Pasien membaik dalam 2-3 hari.Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik ( Soedarmo, dkk. 2008).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.Jumlah trombosit <100.000 ditemukan anatar hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam kedaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara ( Soedarmo, dkk. 2008).

DIAGNOSIS
Patokan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium ( Soedarmo, dkk. 2008).
·         Klinis : demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi pendarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk pendarahan lain, pembesaran hati, syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), tekanan menurun, disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
·         Laboratorium : trombositopenia (<100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari nilai hematokrit >20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen ( Pudjiadi, dkk. 2009).
Menurut Pedoman Pelayanan Medis5diagnosis demam dengue dapat dilakukan sebagai berikut :
a.    Ananesis :
-   Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
-   Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah
-   Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
-   Diare kadang – kadang dapat ditemukan
-  Perdarahan yang paling sering dijumpai adalahperdarahan kulit dan mimisan.
b.    Pemeriksaan fisis :
-  Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,  nyeri kepala,  nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD dan DBD.
-  Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
-  Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipofolemia, dan syok.
-  Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan rongga peritonial selama 24-48 jam.
-  Fase kritis hari ke 3-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
-  Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena, atau hematoria.
c.    Tanda – tanda Syok
-  Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
-  Nafas cepat, nadi teraba lembut, kadang-kadang tidak teraba.
-  Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
-  Akral dingin, capilary refill menurun.
-  Deuresis menurun sampai anoria
d.   Pemeriksaan Penunjang
-  Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis, hemokrit, trombosit. Pada asupan darah perifer juga dapat dinilai limfosit darah biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD.
-  Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase konvalesens.
-  Pemeriksaan radiologi (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis):
-       Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
-       Kelainan radiologi dilatasi pembuluh darah baru terutama di daerah hilus kanan, hemithoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan dari kiri, dan efusi pluera.
-       USG : efusipluera, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan vesica urinaria ( Sukandar, dkk. 2008).
Menurut WHO (1975) derajat penyakit DBD terbagi dalam 4 derajat3
Derajat
Gejala
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II
Derajat I disertai perdarahn spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemut, tekanan nadi menurun atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV
Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

TATALAKSANA
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/ gejalanya tidak spesisifk, oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD .tanda/ gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, teus-menerus badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok, muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet : apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit <100.000 pasien diawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet postif dengan jumlah trombosit >100.000 atau normal atau uji tourniquet negative, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit.

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD deajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan dibawah.Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/ hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik diberikan bila suhu >38,5oC.pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infuse NaCl 0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai dengan berat badan. Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setaip 6-12 jam.Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pmbesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan perdarahan saluran cernaa. Dieresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratories, anak dapat dipulangkan: tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan (Soedarmo, dkk. 2008).


Pada DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus-menerus selama <7hari tanpa sebab yang luas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit <100.000 dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ Nacl 0,9% 6-7 mL/kgBB/jam (Soedarmo, dkk. 2008).
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin (Soedarmo, dkk. 2008).
(1)     Segera beri infus kristaloid 20ml/kgBB secepatnya, dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derjat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), diberikan ringer laktat 20mL/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tidap 15 menit hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2)     Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum dilanjutkan20mL/kgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 1—20mL/kgBB, maksimal 30mL/kgBB. Obsevasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.



Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien, serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama, kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table berikut3 :
Berat Badan (kg)
Jumlah Cairan (mL)
10
100 per kg BB
10-20
1000+ 50 x kg (diatas 10kg)
>20
1500+ 50 x kg (diatas 20kg)

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000 dan cenderung menigkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (Soedarmo, dkk. 2008).

SUMBER:

Indrayani A Yoeyoen, Tri Wahyudi, 2018, InfoDATIN: Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI, Halaman 1
Pudjiadi Antonius H. dkk. 2009. Infeksi Virus Dengue: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. Halaman141-149
Soedarmo, P. S.dkk. 2008.Infeksi Virus Dengue. Dalam : S P Soedarmo, H Gama, R S Hadinegoro: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri. Jakarta: Balai Penerbit: IDAI. Halaman 155-179, 338-345



No comments: