DEFINISI
Demam Berdarah
Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah
virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling cepat
berkembang di dunia. Ini telah menyebabkan hampoir 390 juta orang terinfeksi
setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk menularkan atau menyebarkan virus dengue
( Indrayani. 2018).
EPIDEMIOLOGI
Istilah
haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah
1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi dibeberapa negara
lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi (1958), Malayasia (1962-1964), Saigon
(1965) yang disebabkan virus dengan tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus
dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia
DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi
pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung,
disusul oleh Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi
dilaporkan di Kalimatan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1993 DBD telah
menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di
banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit
di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan
kedua setelah Thailand. Sejak 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia
terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai
angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah
penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di
kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan daerah Karibia ( Soedarmo, dkk.
2008).
ETIOLOGI
Virus dengue termasuk group B
arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus
flavivirus, famili Flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1,
den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan
antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama
hidupnya. Kempat jenis serotipe virus dengue dapat dilakukan sejak tahun 1975
di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan
dan banyak berhubungan dengan kasus berat ( Soedarmo, dkk. 2008).
PATOFISIOLOGI
a.
Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara DD dengan DBd ialah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
tromobositopenia, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada
kasus DBD dengan menggunakan 131 lodine
labeled human albumin sebagaiindikator membuktikan bahwa plasma
merembes selama perjalanan penakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah.Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan
dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra
vascular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung
dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan terdapatnya edema ( Soedarmo,
dkk. 2008).
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti
secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma.Pada masa dini
dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit.Syok terjadi secara akut dan
perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastic.Sedangkan pada otopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau
akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding
pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja
secara cepat.Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat
anoksia atau luka bakar.Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi
histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia ( Soedarmo, dkk.
2008).
b.
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD.Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok.Jumlah trombosit secara cepat meningkat
pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak
permulaan sakit.Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga
akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia
ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan
bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan
hati.Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa
factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem atau
secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun
mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam
peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinyaa perdarahan pada DBD ( Soedarmo, dkk.
2008).
c.
Sistem Koagulasi dan
Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan
DBD.Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk
factor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi
peningkatan fibrinogen degradation
products (FDP).Penelitian lebih lanjut factor koagulasi membuktikan adanya
penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa
menurunnya aktifitas factor VII, menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan factor VIII. Hal ini diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi,
tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisi.Kelainan fibrinolisis pada DBD
dibuktikan dengan penurunan aktifitas ά-2 plasmin inhibitor dan penurunan
aktifitas plasminogen ( Soedarmo, dkk. 2008).
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD
stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation
(DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini
DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi
apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan
memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling
mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai
perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan
kematian, (3) Pendarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh factor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan
factor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus
syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik, (4)
Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan
antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang ( Soedarmo, dkk.
2008).
d.
Sistem Komplemen
Penelitiansistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan
kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Terdapat hubunganpositif antara kadar serum komplemen dengan
derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue,
aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative.
Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum
komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena
produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan
menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat
untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma,
dan syok hipovolemik.Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel
endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.Disamping itu
komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon
gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1) 3.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada
penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin
24jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun
berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit ( Soedarmo, dkk. 2008).
e.
Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit
DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic yang
berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga
bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus
DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam
persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya
sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).Penelitian yang lebih mendalam
dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru
(LPB).Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan
bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam
keenam.Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan
demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam
dengue.Namun, antara hari kedua sampai dengan harri kesembilan demam, tidak
terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa
syok.Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%.Nilai titik potong itu secara praktis mampu
membantu diagnosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat
dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue.Dari penelitian
imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan
limfosit-T.definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya
mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih.
Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk
ginjal.Kromosom inti kasar dan kadang-kadang didalam ini terdapat nucleoli.Pada
sitoplasma tidak ada granula azurofilik.Daerah yang berdekatan dengan eritrosit
tidak melekuk dan tidak bertambah biru ( Soedarmo, dkk.
2008).
PATOGENESIS
Mekanisme
sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum
diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan
yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan gejala klinis DBD seperti pada
manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary
heterologus infection hypothesis atau the sequential infection yang menyatakan
bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue
pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam
jarak waktu 6 bulan- 5 tahun ( Soedarmo, dkk. 2008).
a.
Hipotesis Peningkatan
Imunologis
Antibody yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG
yang berfungi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini
dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) Kelompok monoclonal reaktif yang tidak
mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi
yang dapat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang
dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.
Perbedaann ini berdasarkan adanya virion
determinant specificity ( Soedarmo, dkk. 2008).
MANIFESTASI KLINIS
Demam Berdarah Dengue
ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demm tinggi, perarahan, terutama
perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.Fenomena
patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dan DD
tialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, trombositopenia, dan diastesis hemoragik ( Soedarmo, dkk.
2008).
Pada DBD
terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada
tempat pengambilan darah vena.Petekia haus yang tersebar di anggota gerak,
muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam.Harus diingat juga bahwa
perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh.Epitaksis dan perdarahan gusi
jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang
lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatsi. Perdarahan
lain, seperti pedarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.pada masa
konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki ( Soedarmo, dkk.
2008).
Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa
hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau
setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.Hal ini dapat
diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis.Pada sebagian besar
kasus dtemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin,
sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut.Anak tampak lesu,
gelisah, dan secara cepat masuk dalm fase syok.Pasien seringkali mengeluh nyeri
di daerah perut sesaat sebelum syok ( Soedarmo, dkk.
2008).
Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut,
cepat, kecil sampai tidak dapat teraba.Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau
kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.Syok harus
segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat, tekanan
darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang
tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia,
perdarahan gastrointestinal hebat denga
prognosis buruk. Sebaliknya engan pengobatan yang tepat segra terjadi
masa penyembuhan dengan cepat.Pasien membaik dalam 2-3 hari.Selera makan yang
membaik merupakan petunjuk prognosis baik ( Soedarmo, dkk.
2008).
Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.Jumlah trombosit
<100.000 ditemukan anatar hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit
merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus
derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam kedaan syok. Hasil laboratorium
lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia. Pada beberapa kasus ditemukan
asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan
albuminuria ringan yang bersifat sementara ( Soedarmo, dkk.
2008).
DIAGNOSIS
Patokan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 1975)
berdasarkan gejala klinis dan laboratorium ( Soedarmo, dkk. 2008).
·
Klinis : demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama
2-7 hari, manifestasi pendarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk pendarahan lain, pembesaran hati, syok yang ditandai oleh nadi lemah dan
cepat disertai tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), tekanan menurun, disertai
kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, kaki,
pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
·
Laboratorium : trombositopenia (<100.000/ul) dan
hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari nilai hematokrit >20% dibandingkan
dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen ( Pudjiadi,
dkk. 2009).
Menurut Pedoman Pelayanan Medis5diagnosis
demam dengue dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Ananesis :
-
Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi,
selama 2-7 hari
-
Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah
-
Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot,
dan nyeri perut
-
Diare kadang – kadang dapat ditemukan
- Perdarahan yang
paling sering dijumpai adalahperdarahan kulit dan mimisan.
b. Pemeriksaan
fisis :
- Gejala klinis
DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala,
nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri
dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD dan
DBD.
- Sedangkan
hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
- Perbedaan antara
DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
menyebabkan perembesan plasma, hipofolemia, dan syok.
- Perembesan
plasma menyebabkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan rongga
peritonial selama 24-48 jam.
- Fase kritis hari
ke 3-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal
penyembuhan pada infeksi ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
- Perdarahan dapat
berupa petekie, epistaksis, melena, atau hematoria.
c. Tanda – tanda
Syok
- Anak gelisah,
sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
- Nafas cepat,
nadi teraba lembut, kadang-kadang tidak teraba.
- Tekanan darah
turun, tekanan nadi <10 mmHg
- Akral dingin,
capilary refill menurun.
- Deuresis menurun
sampai anoria
d. Pemeriksaan
Penunjang
- Darah perifer,
kadar hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis, hemokrit, trombosit. Pada asupan
darah perifer juga dapat dinilai limfosit darah biru, peningkatan 15% menunjang
diagnosis DBD.
- Uji serologis,
uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase konvalesens.
- Pemeriksaan
radiologi (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis):
- Pemeriksaan foto
dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu namun perlu
diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%, (2)
pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
- Kelainan
radiologi dilatasi pembuluh darah baru terutama di daerah hilus kanan,
hemithoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan dari
kiri, dan efusi pluera.
- USG :
efusipluera, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan vesica
urinaria ( Sukandar, dkk. 2008).
Menurut WHO (1975) derajat penyakit DBD terbagi dalam
4 derajat3
Derajat
|
Gejala
|
Derajat I
|
Demam disertai gejala tidak khas
dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
|
Derajat II
|
Derajat I disertai perdarahn
spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
|
Derajat III
|
Ditemukannya tanda kegagalan
sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemut, tekanan nadi menurun atau hipotensi
disertai kulit dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
|
Derajat IV
|
Syok berat, nadi tidak teraba dan
tekanan darah tidak dapat diukur.
|
TATALAKSANA
Pada awal perjalanan
penyakit DBD tanda/ gejalanya tidak spesisifk, oleh karena itu masyarakat
diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan
gejala awal perjalanan penyakit DBD .tanda/ gejala awal penyakit DBD ialah
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, teus-menerus badan lemah, dan
anak tampak lesu. Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda
kedaruratan yaitu tanda syok, muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun,
muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan).
Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet : apabila uji
tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit
<100.000 pasien diawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet postif dengan
jumlah trombosit >100.000 atau normal atau uji tourniquet negative, pasien
boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu
turun.Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap
kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan atau
peningkatan kadar Ht, segera rawat. Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok
seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah,
dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit.
Pasien dengan keluhan
demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD deajat I) atau disertai
perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola
seperti pada bagan dibawah.Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum
banyak 1-2 liter/ hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang
dapat diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah, susu atau oralit.
Obat antipiretik diberikan bila suhu >38,5oC.pada anak dengan
riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat
minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infuse NaCl 0,9% :
Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai dengan berat badan.
Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setaip 6-12
jam.Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk
mengetahui pmbesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cernaa. Dieresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12
jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan
laboratories, anak dapat dipulangkan: tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan
trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan
disesuaikan (Soedarmo, dkk. 2008).
Pada DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus-menerus selama <7hari tanpa sebab yang luas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit <100.000 dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ Nacl 0,9% 6-7 mL/kgBB/jam (Soedarmo, dkk. 2008).
Sindrom syok dengue
ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau
tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak
ada produksi urin (Soedarmo, dkk. 2008).
(1) Segera beri infus
kristaloid 20ml/kgBB secepatnya, dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat
(DBD derjat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), diberikan ringer
laktat 20mL/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tidap 15 menit
hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2) Apabila dalam waktu 30 menit
syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum dilanjutkan20mL/kgBB, ditambah
plasma atau koloid sebanyak 1—20mL/kgBB, maksimal 30mL/kgBB. Obsevasi keadaan
umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap
4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien, serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama, kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table berikut3 :
Berat Badan (kg)
|
Jumlah Cairan (mL)
|
10
|
100 per kg BB
|
10-20
|
1000+ 50 x kg (diatas 10kg)
|
>20
|
1500+ 50 x kg (diatas 20kg)
|
Pasien harus dirawat dan segera
diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah,
ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit
atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.
Kriteria
memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan
apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik,
tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok
teratasi, jumlah trombosit >50.000 dan cenderung menigkat, serta tidak
dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (Soedarmo, dkk.
2008).
SUMBER:
Indrayani A Yoeyoen, Tri Wahyudi, 2018, InfoDATIN:
Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI,
Halaman 1
Pudjiadi Antonius H. dkk. 2009. Infeksi Virus Dengue: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit
IDAI. Halaman141-149
Soedarmo, P. S.dkk. 2008.Infeksi Virus Dengue. Dalam : S P Soedarmo, H Gama, R S Hadinegoro:
Buku Ajar Infeksi dan Pediatri. Jakarta: Balai Penerbit: IDAI. Halaman 155-179,
338-345
No comments:
Post a Comment