MAKALAH
FARMAKOTERAPI
“VAKSIN,
TIKSOID DAN PROFILAKSIS BEDAH ”
DISUSUN OLEH :
FATMA
ZAHRA
1404045
SEKOLAH
TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN
PERINTIS
PADANG
2017
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Vaksin,
Tiksoid Dan Profilaksis Bedah”
Adapun
makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan
berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatannya. Untuk itu,
tidak lupa kami sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatannya.
Namun tidak
lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusun bahasa maupun dari segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang
dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca untuk
memberi saran dan kritik kepada sehingga
kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya
penyusun mengharapkan semoga makalah yang berjudul “Vaksin,
Tiksoid Dan Profilaksis Bedah”
dapat
diambil hikmah dan manfaatnya. Akhir kata penyusun ucapkan terima kasih.
Padang,
Oktober 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Vaksin adalah bahan
antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh
infeksi oleh organisme alami atau liar.
Istilah Vaksin berasal dari bahasa latin vacca
(sapi) dan vaccini (cacar sapi). Vaksin
menerobos dunia modern pertama kali pada tahun 1796, ketika Edward Jenner,
seorang dokter dari Inggris, meneliti seorang pekerja harian yang terkena
penyakit cacar, dengan diimunisasi dengan cacar sapi ringan. Dia mengambil
beberapa cairan dari luka penderita cacar sapi dan menggoreskan di permukaan
lengan anak berusia 8 tahun. Empat puluh delapan (48) hari kemudian Jenner
memberi nama “vaksin” (bahasa latin dari sapi). Sejak saat itu vaksin mengalami
perkembangan baik dari cara menentukan epitop Imunodominan, strategi
perbanyakan protein mauoun cara aplikasinya.
Tujuan penggunaan dari vaksin adalah untuk
meningkatkan perlindungan respon imun. Sedangkan cara kerja dari vaksin adalah
dengan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk membentuk antibodi.
Toksoid adalah sebuah
toksin bakteri yang dimodifikasi agar tidak beracun (umumnya dengan
formaldehida), tetapi tetap memiliki kemampuan untuk merangsang pembentukan
antitoksin (antibodi) sehingga menghasilkan kekebalan aktif. Menurut
WHO (1993) dalam Wahab & Julia (2002) TT (tetanus toksoid) adalah vaksin
yang sangat efektif, persentase kegagalannya sangat kecil, efektifitas dua
dosis TT (tetanus toksoid) selama hamil dalam mencegah tetanus neonatorum
berkisar antara 80-100%. Tetanus toksoid merangsang pembentukan antitoksin
untuk menetralkan toksin tetanus, anti toksin yang melewati plasenta ke janin
pasca imunisasi aktif pada ibu dapat mencegah kejadian tetanus neonatorum.
Dari 23 juta penderita yang dilakukan pembedahan di Amerika
Serikat setiap tahun, 920.000 penderita mengalami ILO. Penderita yang mengalami
ILO perlu rawat inap selama 2 kali lebih lama dan harus mengeluarkan biaya 5
kali lebih banyak daripada yang tidak mengalami ILO. Berdasarkan kenyataan ini
maka profilaksis merupakan terapi
pencegahan infeksi. Antibiotik profilaksis
pada pembedahan merupakan antibiotik yang diberikan pada penderita yang
menjalani pembedahan sebelum adanya infeksi, tujuannya ialah untuk mencegah
terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan yaitu infeksi luka operasi (ILO)
atau surgical site infection (SSI).
Melihat perlunya vaksin, toksoid dan profilaksis bedah,
maka pada makalah akan dibahas mengenai vaksin, tiksoid profilaksis pada pembedahan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
itu vaksin?
2. Apa
itu toksoid?
3.
Apa itu profilasksis bedah?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Mengetahui tentang vaksin, toksoid dan itu profilasksis bedah
D.
MANFAAT
PENULISAN
1. Bagi
penulis, sebagai bahan untuk melengkapi tugas perkuliahan farmakoterapi serta
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai vaksin, toksoid. Dan penggunaan antibiotik profilaksis pada pembedahan.
2. Bagi
mahasiswa dan pembaca umumnya, menambah wawasan dan pengetahuan tentang vaksin,
toksoid. Dan penggunaan antibiotik profilaksis pada pembedahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
VAKSIN
DAN TOKSOID
1.
Pengertian
Vaksin toksoid
Vaksin berasal dari kata vacca (sapi). Di temukan oleh Edward Jenner pada tahun 1976 yang mengendalikan penyakit cacar (smallpox) pada
manusia.
Vaksin
merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh
infeksi oleh organisme alami atau liar. Vaksin merupakan bahan
biologik berupa mikroorganisme baik berupa virus maupun bakteri yang dilemahkan
atau dikurangi potensinya (aktivitasnya). Vaksin adalah senyawa yang diberikan
untuk meningkatkan perlindungan respon imun.
Toksoid
adalah toksin bakteri yang terinaktivasi. Toksin memiliki kemampuan untuk
menstimulasi pembentukan antitoksin. Adjuvan adalah senyawa yang inert seperti
logam aluminiua, yang mampu meningkatkan antigenisitas vaksin dengan
memperpanjang absorbsi antigen. Imunosera adalah larutan steril yang mengandung
antibodi yang diperoleh dari manusia (imunoglubolin ) atau sumber kuda atau
anti toksin. Anti toksin mengandung antibodi yang terbuat dari hewan yang di
imunisasi dengan antigen dan kemudian dihasilkan antibodi dari serum.
2.
Jenis
Vaksin Menurut Faermakope Indonesia Edisi IV
a.
Vaksin bakteri
Dibuat
dari biakan galur bakteri yang sesuai dalam media cair atau padat yang sesuai
dan mengandung bakteri hidup atau inaktif atau komponen Ø
Vaksin virus hidup yang dilemahkan imunogeniknya. (Live Attenuated virus
Vaccines)
b.
Toksoid Bakteri
Diperoleh
dari toksin yang telah dikurangi atau
Vaksin virus inaktif/mati dihilangkan sifat toksisitasnya hingga
mencapai tingkat tidak terdeteksi, tanpa mengurangi sifat (Inactivated/killed
virus Vaccines). imunogenisitas. Ø Vaksin subunit
(subunit Vaccines)
c. Vaksin
Virus dan Riketsia
Adalah
suspensi virus atau riketsia yang ditumbuhkan dalam telur berembrio, dalam
biakan sel atau dalam jaringan yang sesuai. Mengandung virus atau riketsia
hidup atau inaktif atau komponen imunogeniknya. Vaksin virus hidup umumnya
dibuat dari virus galur khas yang virulensinya telah dilemahkan.
3.
Jenis
Vaksin Berdasarkan Proses Pembuatan
a. Live Attenuated Vaccine
Vaksin
hidup yang dibuat dari bakteri atau virus yang sudah dilemahkan daya
virulensinya dengan cara kultur dan perlakuan yang berulang ulang, namun masih
mampu menimbulkan reaksi imunologi yang mirip dengan infeksi alamiah. Sifat
vaksin live attenuated vaccine, yaitu :
Ø Vaksin
dapat tumbuh dan berkembang biak sampai menimbulkan respon imun sehingga
diberikan dalam bentuk dosis kecil antigen
Ø Respon
imun yang diberikan mirip dengan infeksi alamiah, tidak perlu dosis berganda
Ø Dipengaruhi
oleh circulating antibody sehingga ada efek netralisasi jika waktu pemberiannya
tidak tepat.
Ø Vaksin
virus hidup dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik
Ø Dapat
menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah
Ø Mempunyai
kemampuan proteksi jangka panjang dengan keefektifan mencapai 95%
Ø Virus
yang telah dilemahkan dapat bereplikasi di dalam tubuh, meningkatkan dosisi
asli dan berperan sebagai imunisasi ulangan
Contoh : vaksin polio (Sabin), vaksin MMR,
vaksin TBC, vaksin demam tifoid, vaksin campak, gondongan, dan cacar air
(varisela).
b. Inactivated Vaccine (Killed Vaccine)
Vaksin
dibuat dari bakteri atau virus yang dimatikan dengan zat kimia (formaldehid)
atau dengan pemanasan, dapat berupa seluruh bagian dari bakteri atau virus,
atau bagian dari bakteri atau virus atau toksoidnya saja. Sifat vaksin
inactivated vaccine, yaitu :
Ø Vaksin
tidak dapat hidup sehingga seluruh dosis antigen dapat dimasukkan dalam bentuk
antigen
Ø Respon
imun yang timbul sebagian besar adalah humoral dan hanya sedikit atau tidak
menimbulkan imunitas seluler
Ø Titer
antibodi dapat menurun setelah beberapa waktu sehingga diperlukan dosis
ulangan, dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif tetapi hanya
memacu dan menyiapkan system imun, respon imunprotektif baru barumuncul setelah
dosis kedua dan ketiga
Ø Tidak
dipengaruhi oleh circulating antibody
Ø Vaksin
tidak dapat bermutasi menjadi bentuk patogenik
Ø Tidak
dapat menimbulkan penyakit yang serupa dengan infeksi alamiah
Contoh : vaksin rabies, vaksin influenza,
vaksin polio (Salk), vaksin pneumonia pneumokokal, vaksin kolera, vaksin
pertusis, dan vaksin demam tifoid.
c. Vaksin
Toksoid
Vaksin
yang dibuat dari beberapa jenis bakteri yang menimbulkan penyakit dengan
memasukkan racun dilemahkan ke dalam aliran darah. Bahan bersifat imunogenik
yang dibuat dari toksin kuman. Hasil pembuatan bahan toksoid yang jadi disebut
sebagai natural fluid plain toxoid yang mampu merangsang terbentuknya antibodi
antitoksin. Imunisasi bakteri toksoid efektif selama satu tahun. Bahan ajuvan
digunakan untuk memperlama rangsangan antigenik dan meningkatkan
imunogenesitasnya. Contoh : Vaksin Difteri dan Tetanus
d. Vaksin
Acellular dan Subunit
Vaksin
yang dibuat dari bagian tertentu dalam virus atau bakteri dengan melakukan
kloning dari gen virus atau bakteri melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus
dan vaksin antiidiotipe. Contoh vaksin hepatitis B, Vaksin Hemofilus Influenza
tipe B (HIB) dan vaksin Influenza.
e. Vaksin
Idiotipe
Vaksin
yang dibuat berdasarkan sifat bahwa FAB (Fragment Antigen Binding) dari
antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino yang
disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai
antigen. Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan
pemblokiran terhadap reseptor pre sel B.
f.
Vaksin Rekombinan
Vaksin
rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar. Gen virus
yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem
ekspresi eukariot meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan
teknologi DNA rekombinan selain dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan
vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk membawa gen sebagai antigen
pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk antigen dari berbagai virus
disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi hewan dengan vaksin
bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik. Susunan vaksin ini (misal
hepatitis B) memerlukan epitop organisme yang patogen. Sintesis dari antigen
vaksin tersebut melalui isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima
vaksin.
g. Vaksin
DNA (Plasmid DNA Vaccines)
Vaksin
dengan pendekatan baru dalam teknologi vaksin yang memiliki potensi dalam
menginduksi imunitas seluler. Dalam vaksin DNA gen tertentu dari mikroba diklon
ke dalam suatu plasmid bakteri yang direkayasa untuk meningkatkan ekspresi gen
yang diinsersikan ke dalam sel mamalia. Setelah disuntikkan DNA plasmid akan
menetap dalam nukleus sebagai episom, tidak berintegrasi kedalam DNA sel
(kromosom), selanjutnya mensintesis antigen yang dikodenya.
Selain itu vektor
plasmid mengandung sekuens nukleotida yang bersifat imunostimulan yang akan
menginduksi imunitas seluler. Vaksin ini berdasarkan isolasi DNA mikroba yang
mengandung kode antigenyang patogen dan saat ini sedang dalam perkembangan
penelitian. Hasil akhir penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa
vaksin DNA (virus dan bakteri) merangsang respon humoral dan selular yang cukup
kuat, sedangkan penelitian klinis pada manusia saat ini sedang dilakukan.
4.
Rekomendasi
Vaksin Dan Toksoid
Secara
umum vaksin yang tidak aktif dapat diberikan secara terus-menerus pada daerah
yang berbeda. Antigen yang telah dibunuh dan hidup dapat diberikan secara terus
menerus. Jika tidak dapat diberikan
secara terus-menerus diberikan interval waktu tertentu. Vaksin kolera atau
terbunuh dan demam kuning atau hidup harus diberikan minimal diberikan dalam
jarak tiga minggu. Jika vaksin hidup tidak diberikan secara terus- menerus
pemberiannya harus dipisahkan minimal 4 minggu.
Vaksinasi
wanita hamil secara umum berbeda sampai setelah kelahiran bayi karena
mempertimbangkan resiko potensial terhadap vetus. Pemberian vaksin hidup
sebaiknya tidak dilakukan pada wanikta hamil ketika keuntungannya tidak
sebanding dengan resikonya. Hepatitis A, hepatitis B, meningocokcal, polio yang
tidak diaktivasi dan vaksin polisakarida pneumokokal sebaiknya diberikan kepada
wanita hamil yang berisiko mengidap infeksi ini.
Pasien
dengan penuyakit malignant aktif dapat menerima vaksin yang mengandung bakteri
yang dilemahkan atau toksoid terapi sebaiknya tidak diberikan vaksin hidup.
Vaksin yang mengandung virus yang masih hidup dapat diberikan pada penderita
leukimia yang tidak menjalani kemoterapi selama minimal tiga bulan.
Jika
seseorang menerima kortiko steroid dosis tinggi atau pernah memperoleh pengob
atan lebih dari dua minggu maka minimal pemberian imunisasi dengan vaksin yang
hidup selama satu bulan. Respon terhadap vaksin mati dan vaksin hidup secar
umum suboptimal untuk pernderita indfeksi hiv dan penurunan pada peningkatan
penyakit. Kontraindikasi secara umum terhadap pemberian vaksin termasuk riwayat
reaksi anafilaktik terhadap dosis sebelumnya atau munculnya ensalopati yang
tidak dapat dijelaskan dalam tujuh hari pada dosis vaksin portusis.
Imunosupresi dan kehamilan adalah kontraindikasi sementara vaksin hidup.
Golongan Vaksin dan Toksoid
a. Toksin
Toksoid Jerap Difteri (TJD) dan Antitoksin Difteri (AD)
Kekuatan
toksoid difteri tersedia untuk pediatri dan dewasa yang mengandung antigen
lebih sedikit. Imunisasi primer dengan TJD diindikasikan untuk anak-anak dengan
umur kurang dari enam minggu. Secar umum TJD diberikan bersamaan dengan
pertusis aselular dan vaksin tetanus pada umur 2, 4, 6 bulan dan kemudian pada
umur 15-18 bulan, dan umur 4-6 tahun.
Untuk
dewasa yang tidak diimunisasi pemberian tiga dosis toksoid difteri sebaiknya
diberikan dengan dua dosis pertama diberikan minimal pada berjara empat minggu
dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan.setelah dosis kedua. Sediaan kombinasi,
tetanus difteri, direkomendasikan untuk pasien dewasa karena lebih sedikit
mengan dung toksoid difteri dibandinglkan TJD. Dosis booster diberikan setiap
10 tahun.
AD
adalah antitoksin difteri steril diperoleh dari kuda hiperimunisasi dan di
indikasikan penggunaan segera pada pasien difteri. Uji sensitifitas secara intradermal sebaiknya dilakukan
sebelum pemberian AD.
Dosis
AD adalah 20.000-40.000 unit untuk penyakit varingeal 40.000-60.000 unit untuk
penyakit lesinasovaringeal, dan 80.000-12000 untukpenyakit ekstensif selama 3
hari atau lebih.
b. Toksoid Tetanus (TT), Toksoid Jerab Tetanus (TJT), dan ImunoGlobulin Tetanus (IGT)
Pada
anak-anak imunisasi primer terhadap tetanus biasanya diberikan dalam konjugasi
dengan vaksinasi difteri dan pertusis menggunakan TJD atau kombinasi vaksin
terdiri dari Hepatitis B dan Volio. Dosis 0,5 ml direkomendasikan pada umur 2,
4,6, 15 hingga 18 bulan. Dosi tambahan toksoid tetanus direkomendasikan sebagai
bagian dari menajement luka tromatik pada pasien yang belum pernah memperoleh
dosis toksoid selama 5 tahun (pada tabel 1).
Pada
dewasa atau anak-anak lebih tua dari 7 tahun dimana imunisasi primer terhadap
tetanus sendiri diperlukan maka diberikan tiga dosis TJT secara intra muscular,
dosis utama diikuto dengan dosis ulangan pada bulan satu sampai kedua. Kemudian
dosis ketiga pada bulan 6 sampai 12 setelah dosis pertama. Booser
direkomendasikan setiap 10 tahun.
Imunisasi
toksoid dapat diberikan pada pasien imunosupresan jika diperlukan.
Imunoglobulin tetanus digunakan untuk imunisasi tetanus pasif diikuti dengan
kekambuhan luka traumatik pada nonimunisasi atau orang terimunisasi secar sub
optimal. Dosis 250-500 unit diberikan secara intramuskular. IGT juga digunakan
untuk penanganan tetanus dengan dosis tunggal 3000-6000 unit secara
intarmuskular.
Tabel
1:
petunjuk penggunaan toksoid tetanus untuk pencegahan tetanus pada penanganan
luka
Sejarah Penggunaan TT
|
Luka Minor Bersih
|
Luka Lain-lain
|
||
Td2
|
Tlg2
|
Td2
|
Tlg2
|
|
Tidak
pasti atau < 3 kali
|
Ya
|
Tidak
|
ya
|
Ya
|
Ø 3
kali dosis
|
tidak
|
tidak
|
Tidak
|
tidak
|
§ Perhatikan
kontraindikasi , perhatian , efek samping
§ Terkontaminasi
oleh veses, saliva dan lain-lain, luka bakas, missiles fros tbile
§ TD
toksoid tetanus dan difteri yang diabsorbsikan untuk dewasa kontraindikasi
untuk anak
§ Kurang
dari 7 tahun lebih dipilih tetanus toksoid
§ TIK
tetanus imunoglobulin
§ Bila
hanya 3 dosis toksoid cair dosis ke empat disarankan dosis toksoid yang
diabsorbsikan
§ Ya,
jika lebih dari 10 tahun sejak dosis terakhir.
§ Ya,
jika lebih dari 5 tahun sejak dosis terakhir.
c. Vaksin
Hairmophillus Influenza tipe B (HIB)
vaksin HIB yang digunakan saat ini adalah
produk kongjugasiu yang terdiri dari disakarida atau poliribosil ribitol posfat
(PRF) oligosakarida secara kovalen berikatan dengan protein carier. vaksin
kongjugasi HIB diindikasikan untuk penggunaan rutin pada semua bayi dan anak-anak
kurang dari 5 tahun.
Vaksinasi HIB primer terdiri dari dosis
0,5 ml liter im pada bulan 2,4, dan 6 (untuk titer HIB (HBOC) dan ACR HIB (PRFT)) atau dosis pada bulan 3
dan 4 jika PRF ONP Digunakan dosis bustar yang direkomendasikan pada umur 12-15
bulan. untuk bayi umur 7-11 bulann sebelum divaksinasi 3 dosis
HBOC, PRF ONP, dan PRFT sebaiknya diberikan dua dosis dengan jarak 4 minggu,
dan kemudian dosis booster pada umur 12-15 bulan (tetapi kurang dari 8 minggu
dari 9 dosis kedua). Untuk anak -anak yang tidak divaksinasi pada umur 12-14
bulan dua dosis sebaiknya diberikan dengan interval 2 bulan. Pada anak-anak
lebih tua dari 15 bulan diberikan dosis tunggal dari 4 kongjugasi vaksin.
d. Vaksin
Hepatitis
Vaksin ini digunakan sebagai tindakan
preventif hepatitis. Terdapat berbagaI jenis vaksin hepatitis, yaitu Hepatitis
A, Hepatitis B, Hepatitis C .
Vaksin Hepatitis A
Tabel 2 : kelompok umur yang dpat
menggunakan vaksin hepatitis A
rekomendasi untuk
pasien penerima vaksin hepatitis A
|
Semua anak yang telah
mencapai usia satu tahun
|
Area yang tidak
merencanakan vaksin hepatitis A ,
vaksinasi susulan untuk anak usia 2-18 bulan dapat dipertimbangkan.
|
Individu atau orang
yang bekerja dinegara yang tingkat infeksi endemi sedang atau tinggi.
|
Pria homoseksual
|
Penggunaan obat-obat
terlarang.
|
Individu yang melakukan
pekerjaan dengan tingkat resiko infeksinya tinggi , (misalnya orang yang
bekerja dengan primata yang terinfeksi HAV di labolatorium)
|
Individu dengan
kelainan pembekuan darah.
|
Individu dengan gangguan
penyakit hati kronis ( misalnya pasien dengan penyakit hati yang disebabkan
oleh hepatitis B atau C dan pasien yang menunggu transpalantasi hati.
|
HAV
, Hepatitis A Virus
Turis yang melakukan perjalanan ke kanada,
eropa barat, jepang australia atau selandia baru memiliki resiko terinfeksi
yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang melakukan perjalanan ke
amerika. Semua turis yang akan melakukan perjalanan harus diperkirakan
resikonya terhadap infeksi virus
hepatitis A.
Imunoglobulin (IG) digunakan jika
diperlukan profilaksis sebelum atau setelah paparan HAV. Ig paling efektif
diberikan pada fase inkubasi infeksi. IG
diberikan dalam bentuk dosis tunggal 0,02 ml/kg untuk para turis yang melakukan
perjalanan menuju area dengan tingkat resiko infeksi tinggi selama kurang 3
bulan.
Tabel 3 Rekomendasi
dosis penggunaan vaksin heptitis A : Havtrix dan Vaqta
Vaksin
|
Usia vaksin
(tahun)
|
Dosis
|
Volume (ml)
|
Jumlah dosis
|
Jadwal pemberian vaksin
|
havrix
|
2-18
|
720 unit ELISA
|
0,5
|
2
|
0,6-12
|
>19
|
1440 unit ELISA
|
1
|
2
|
0,6-12
|
|
Vaqta
|
1-18
|
25 unit
|
0,5
|
2
|
0,6-18
|
>19
|
50 unit
|
1
|
2
|
0,6-18
|
Vaksin
Hepatitis B
Profilaksis terhadap Virus Hepatitis B (
HBV) dapat dilakukan dengan vaksinasi atau imunisasi setelah terpapar oleh
virus. Terdapat dua produk yang dapat digunakan untuk mencegah infeksi
hepatitis b, yaitu vaksin hepatitis b dan ImunoGlobulin Hepatitis B (HBGI).
Akan tetapi pada bahasan ini hanya akan dibahas mengenai vaksin hepatitis b
saja. Individu yang dapat menerima vaksin hbv
dicatumkan pada tabel. Efek samping penggunaan vaksin diantaranya :
bengkak pada tempat injeksi, sakit kepala. Lemah , iritabilitas dan demam.
e. Vaksin
Campak
Vaksin
campak adalah vaksin hidup yang diberikan untuk imunisasi prim er pada orang
berumur 12-15 bulan atau lebih. Biasanya
berupa kombinasi dari campak , gondok dan runbella (measles, mumps, rubella
/MMR). Dosis kedua direkomendasikankpada tahun ke empat hingga tahun ke enam.
Vaksin
sebaiknya tidak diberikan selama 1 bulan bersamaan dengan vaksin hidup lainnya
kecuali vaksin diberikan pada hari yang sama (sama seperti vaksin MMR). Vaksin campak
diindikasikan pada orang yang lahir setelah 1956atau yang kekurangan iformasi
infeksi virus lain melalui riwayat atau titer antibodi.
Untuk
profilaksis setelah pemaparan, vaksin efektif diberikan dalam 72 jam dari
pemaparan. Sebagai tambahan imunoglobulin dapat diberikan secara intramuskular
pada dosis 0,25 mg/kg (maksimum dosis 15 L), jika diberikan dalam 6 hari
setelah pemaparan.
f.
Vaksin Meningococcal Polisakarida (VMP)
VMP
diindikasikan pada populasi yang beresiko besar terpapar penyakit , berada
ditengah-tengah wadah penyakit, berkunjung pada daerah yang epidemik penyakit
meningococcal hiperendemik atau individu yang memiliki kekurangan komplemen
terminal atau saplenia . vaksin diberikan dengan subkutan dengan dosis 0,5 ml.
g. Vaksin
Gondok
Vaksin
biasanya diberikan dengan kongjugasi dengan campak dan rubella, MMR). Diberikan
pada awal umur12-15 bulan, dengan dosis kedua diberikan ketika akan berumur 7
tahun. Jika vaksin diberikan sebelum umur 12 bulan, aktivasi diperlukan dan
sebaiknya diberikan setelah mencapai umur satu tahun.
Vaksin
juga diindikasikan untuk orang dewasa yang belum divaksinasi dan yang ada
riwayat infeksi virus. Vaksinasi setelah pemaparan tidak memberikan keuntungan.
Vaksin
gondok sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Atau pasien yang tertekan sistem imunya.
Vaksin sebaiknya diberikan dalam waktu 6 minggu ( disarankan 3 bulan) dari
pemberian imunoglobulin.
h. Vaksin
Pertusis
Vaksin
pertusis aseluler biasanya diberikan dalam kombinasi dengan difteri dan sesama
toksoid ( sebagai DtaP) . Imunisasi primer dari vaksis pertusis terdiri dari 4
dosis yang diberikan pada umur 2,4,6, 15 hingga 18 bulan. Dosis booster
direkomendasikan pada umur 4-6 tahun.
Reaksi
sistemik , seperti demam sedang, muncul sebanyak 3-5% pada orang yang
divaksinasi sangat jarang mengalami demam tinggi , kejang, febril, dan episode
hiporesponsif hiposomik setelah pemberian vaksin.
Terdapat
dua kontraindikasi absolut pada pemberian pertusis , reaksi anafilaktik yang
muncul dengan cepat atau enselopati dalam waktu 7 hari setelah pemberian
sediaan, tanpa ada bukti penyebab.
i.
Vaksin Pneumococcal
Vaksin
pneumococcal adalah campuran dari polisakarida kapsular 23 dari 85 tipe
prevalen dari streptococcuc pneumonia yang ditemui di Amerika Serikat.
Vaksin
pneumococcal direkomendasikan untuk orang :
- Orang berumur 65 tahun atau lebih, jika ada
individu yang menerima vaksin lebih dari 5 tahun lebih cepat dan dibawah 65
tahun pada saat pemberian, sevaksinasi harus
dilakukan
- orang berumur 2064 tahun dengan penyakit
kronis.
- orang berumur 2-64 tahun dengan asplenia
fungsional atau anatomik. Ketika splenektomi direncanakan, vaksin pneumonococcal sebaiknya diberikan
sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum operasi.
-
orang berumur 2-64 tahun yang hidup
dilingkungan ketika resiko penyakit infasif pneumonial atau komplikasinya meningkat.
Vaksinasi pneumococcal direkomendasikan untuk
orang sedang mengalami penurunan imun, usia 2 tahun atau lebih tua dengan
infeksi HIV , leukemia, limfoma, penyakit biologis atau mieloma multipel,
malignasi umum, gagal ginjal kronik atau sindrom nefrotik. Dan pasien menerima
terapi imunosupresif dan transplantasi oragan dan atau sum-sum tulang.
Revaksinasi tunggal sebaiknya diberikan jika telah lewat 5 tahun atau lebih
semenjak pemberian pertama pada orang yang usianya lebih tua dari 10
tahun. Bagi yang 10 tahun lebih muda
revaksinasi sebaiknya diberikan 3 tahun setelah pemberian sebelumnya.
Karena anak-anak kurang dari dua tahun
tidak memberikan respon yang cukup untuk vaksin polisakarida pneumococcal, vaksin
kongjugasi pneumococcal heptavalen dapat diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan
dan atara 12-15 bulan.
j.
Vaksin Poliovirus
Vaksin
poliovirus berupa vaksin tidak aktif
atau berupa vaksin hidup yang dilemahkan
dan vaksin oral vaksin tidak aktif yang ditingkatkan dan vaksin hidup
yang dilemahkan , vaksin oral. Vaksin yang tidak aktif adalahvaksin yang
direkomendasikan untuk tahap primer dan dosis bosster untuk anak-anak di
amerika serikat. Dimana vaksin oral direkomendasikan
pada bagian didunia yang memiliki jalur polivirus.
Vaksin
tidak aktif diberikan pada anak-anak
umur 2, 4 dan 6-18 bulan dan 4-6 tahun. imunisasi polimylitis primer
direkomendasikan untuk anak-anak yang berusia diatas 18 tahun. Apalagi terhadap
komponen yang ada pada vaksin yang tidak aktif , termasuk streptomisin,
polimiksin b, dan noeomisin, dikontraindikasikan untuk pengguna vaksin.
Vaksin
oral tidak direkomendasikan untuk orang yang menderita imunodefisiensi atau
normal yang bertempat tinggal dalam satu rumah dengan orang lain yang
imunodefisiensi.vaksin oral sebaiknya tidak diberikan selama kehamilan karena
secara teoritis beresiko terhadap janin.
k. Vaksin
Rubella
Vaksin
diberikan dengan vaksin campak dan gondok ?(MMR) pada 12-15 bulan kemudian pada
umur 4-6 tahun.. vaksin sebaiknya tidak diberikan kepada individu imunosupresi,
meskipun vaksin MMR sebaiknya diberikan kepada anak-anakn dengan HIV tanpa
imunosupresi parah secepat mungkin setelah usianya mencapai 1 tahun. Vaksin
sebaiknya tidak diberikan kepada individu yang mengalami reaksi anafilaktik
terhadap neomisin. Meskipun vaksin berhubungan dengan sindrom rubella
kongenital, penggunaan vaksin ini dikontraindikasikan dengan ibu hamil. Wanita
sebaiknya tidak hamil selama 4 minggu setelah vaksin.
l.
Vaksin Verisella
Vaksin
virus verrisella direkomendasikan untuk semua anak-anak berumur 12-18 bulan dan
untuk orang diatas umur tersebut yang belum pernah menderita cacat. Orang
diatas 13 tahun yang lebih tua sebaiknya menerima dua dosis yang diberikan
secara terpisah 4-8 minggu .. vaksin dikontraindikasikan dengan pasien yang
imunosupresi atau sedang hamil. Anak -anak dengan asimptomatik atau simptomatik
HIV ringan sebaiknya diberikan 2 dosis vaksin rubella berjarak 3 bulan.
m. Vaksin
BCG
Indikasi : imunisasi aktif terhadap tuberkulosis
Kontraindikasi : penyakit kulit berat atau menahun seperti
eksim,
furunkulosis dan
penderita TBC.
Perhatian : vaksin harus dimpan pada suhu 2-8 0C
dan terhindar
dari sinar matahari vaksin yang sudah larut
harus
dipakai dalam waktu 3 jam dan vaksin haru
dalam
keadaan dingin dan jika bersisa jangan pakai.
Efek samping : indurasi dan eritema dilokasi suntikan terjadi 2 minggu
setelah penyuntikan ,kadang-kadang terjadi
pembesaran kelenjer regional diketiak dan
atau leher.
Sediaan beredar :vaksin BCG kering bio
farma, vaksin bacilluc
calmette-guerin
B.
PROFILAKSIS
BEDAH
1.
Deskripsi
a. Definisi
Pemberian
antibiotik sebelum terjadinya kontaminasi pada jaringan atau cairan yang steril
dinamakan profilaksis. Tujuan dari profilaksis antibiotik adalah untuk mencegah
perkembangan infeksi pada daerah yang dibedah. Pencegahan dan penanganan
infeksi setelah operasi pada daerah yang tidak termasuk kedalam daerah bedah ,
seperti infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh penggunaan kateter.,
biasanya membutuhkan antibiotik. Tetapi pencegahan dari infeksi ini bukanlah
menjuadi tujuan dari profilaksis bedah.
Terapi anti biotik sering diberikan ketika diduga terjadi infeksi
meskipun belum terbukti.
Infeksi
pada daerah bedah dilklasifikasikan menjadi luka terbuka pada daerah bedah
seperti selului pada daerah yang dipotong
atau melibatkan suatu organ rongga atau melibatkan organ tunggal seperti
maningitis. Terbukanya daerah bedah dapat terjadi pada permungkaan ( jaringan
kulit atau subkutan). Atau pada bagian dalam ( lapisan facaial dan otot. Kedua
tipe etersebut muncul setelah operasi hari ke 30. Periode ini diperpanjang
hinggga satu tahun pada kasus infeksi dalam yang berhubungan dengan proses implantasi
( penggantian organ tubuh yang hilang).
b. Terapi
profilaksis
Tabel
4:
Regimen profilaksis bedah yang disarankan
Tipe Operasi
|
Patogen Penginfeksi
|
Regimen yang Direkomendasikan
|
Keterangan
|
gastroduadenal
|
Gram nagatif, bacillus enterik ,
gram positif, Coccus enterik, aerob oral
|
Sefazoilin 1gx1
|
Hanya pada pasien yang beresiko tinggi (
penyumbatan, pendarahan maglinasi, terapi penekanan asam obesitas).
|
Saluran empedu
|
Gram nagatif, bacillus enterik ,
anaerob
|
Sefazollin 1g x 1 untuk pasien
beresiko tinggi laparoskopik , tidak ada
|
Hanya pada pasien beresiko tinggi
(kolesisitis akut, batu pada saluran, pernah operasi saluran empedu,
joundice, umur>60 tahun , diabetes melitus.
|
kolorektal
|
Gram nagatif, bacillus enterik ,
anaerob
|
Oral : neomisin 1 g + eritromisin
basa 1 g pada jam 13, 14, 23 . satu hari sebelum oerasi +persiapan operasi
operasi saluran cerna iv sefoksitin atau sefetetan 1 g x 1
|
Keuntungan oral + IV masih kontroversial kecuali untuk kolostomi
reversal dan rectal reactiao.
|
Appendektomi
|
Gram nagatif, bacillus enterik ,
anaerob
|
sefoksitin atau sefetetan 1 g x 1
|
|
Urologik
|
e.coli
|
Sefazolin 1 g x 1
|
|
Operasi caesar
|
Gram nagatif, bacillus enterik ,
anaerob, streptococcus gruop b , enterococcus
|
Sefazolin 2 g x 1
|
|
Histerektomi
|
Gram nagatif, bacillus enterik ,
anaerob, streptococcus gruop b , enterococcus
|
Vaginal : Sefazolin 1 g x 1
Abdominal : sefetetan 1 g x 1 atau
Sefazolin 1 g x 1
|
|
Kepala dan leher
|
s. aureus,anaerob oral
|
Sefazolin 2 g atau klindamisin 600
mg pada saat induksi dan tiap 8 jam 2 kali
|
|
Kardiotorak
|
s. aureus, epidermidis,
corynebacterium, gram-negatif bacillus enterik
|
Penggantian sendi:
|
|
Vaskular
|
s. aureus, epidermidis,
|
||
Ortopedi
|
s. aureus, epidermidis,
|
||
saraf
|
s. aureus, epidermidis,
|
2. Rekomendasi
Untuk Berbagai Jenis Operasi
a. Operasi
bedah
Risiko infeksi meningkat dengan meningkatnya pH lambung ,pertumbuhan bakteri yang berlebihan, seperti
pada obstruksi, perdarahan, keganasan atau terapi
asam-suppression.
Dosis tunggal intravena (IV) cefazolin akan
memberikan profilaksis memadai untuk kebanyakan kasus. terapi antibiotik Pasca
bedah mungkin
mengindikasikan jika perforasi terdeteksi selama operasi, tergantung pada adanya
infeksi.
b. Operasi
yang melibatkan saluran bilier
Antibiotik profilaksis telah terbukti bermanfaat bagi operasi yang
melibatkan saluran bilier. Organisme
yang paling sering dihadapi termasuk E. coli, Klebsiella, dan
enterococci. Pada Profilaksis
dosis tunggal dengan cefazolin sangat dianjurkan. Untuk
pasien resiko rendah yang menjalani Kolesistektomi, Laparoskopi, antibiotik profilaksis
tidak dianjurkan Antibiotik
profilaksis tidak dianjurkan sebelum Endoskopi retrograde
cholangiopancreatography.
Beberapa ahli bedah menggunakan antibiotik
untuk kasus kolesistitis akut atau kambuh dan menunda operasi sampai pasien
afebrile, dalam upaya mengurangi
tingkat infeksi lebih lanjut, tetapi praktik ini masih kontroversial. Deteksi infeksi aktif selama operasi (kandung empedu
gangrenous, suppurative yang kambuh) bukan indikasi untuk terapi pasca bedah
antibio-tics.
c. Bedah Kolorektal
Bekteri gram-negatif Anaerobes dan aerobes mendominasi
di SSIs , meskipun gram-positif aerobes
juga penting. Oleh karena itu, risiko SSI dalam ketiadaan
rejimen profilaksis merupakan substansial
yang memadai.pengurangan bakteri load dengan rejimen persiapan usus yang
menyeluruh (4 L larutan polietilen glikol secara oral satu hari sebelum
pembedahan) juga kontroversial,
meskipun hal itu digunakan
oleh kebanyakan ahli bedah.
Kombinasi 1 g neomycin dan 1 g Eritromisin dasar diberikan
secara oral 19, 18, dan 9 jam sebelum
operasi adalah rejimen oral yang paling
umum
digunakan di Amerika Serikat. pemberian
antibiotik, parenteral selain standar rejimen antibiotik
prabedah oral, akan menurunkan harga SSI tambahan juga kontroversial. Antibiotik pasca bedah tidak perlu dalam adanya
peristiwa yang tak diinginkan atau temuan
selama operasi.
d. Usus Buntu
Sefalosporin dengan aktivitas antianaerobic seperti cefoxitin atau cefotetan
saat ini direkomendasikan sebagai agen
lini pertama. Cefotetan mungkin unggul untuk operasi karena durasi yang
lebih lama. Terapi dosis
tunggal dengan cefotetan memadai. Intraoperatif dosis cefoxitin mungkin
diperlukan jika prosedur melampaui 3 jam. Infeksi intra-abdomen memerlukan terapi antibiotik
pasca bedah yang sesuai.
e. Prosedur Urologi
Urin yang steril sebelum operasi, risiko SSI setelah prosedur urologi rendah, dan manfaat profilaksis antibiotik dalam hal
ini kontroversial. E. coli adalah organisme yang
paling sering dihadapi. Antibiotik
profilaksis dibenarkan pada pasien berisiko tinggi (misalnya, kateterisasi ada
yang berkepanjangan, urin positif dan neutropenia) mengalami transurethral, n.
perineum, atau suprapubic reseksi prostat, reseksi tumor kandung kemih,
atau Cystoscopy.
Prosedur urologi yang memerlukan pendekatan perut seperti nephrectomy atau
Kistektomi memerlukan profilaksis sesuai untuk prosedur perut yang
bersih-terkontaminasi.
f.
Caesar
Antibiotik berkhasiat untuk mencegah SSIs untuk wanita yang menjalani
Caesar terlepas dari faktor-faktor risiko yang mendasari. Cefazolin, 2 g IV, tetap obat
pilihan. Menyediakan spektrum yang lebih luas dengan menggunakan cefoxitin
anaerobes
atau piperacillin lebih baik
untuk cakupan terhadap Pseudomonas atau
enterococci. Antibiotik harus diberikan
setelah tali pusar menutup, menghindari paparan bayi
terhadap obat.
g.
Histerektomi
Hysterectomies vagina berhubungan dengan tingkat infeksi tinggi pasca
operasi ketika dilakukan tanpa profilaksis antibiotiK. Cefazolin
adalah obat pilihan. Terapi dosis tunggal harus memadai, tetapi sebagian
besar laporan digunakan rejimen 24 jam. SSI histerektomi Perut
lebih rendah dari harga histerektomi
vagina. Namun, antibiotik profilaksis masih disarankan terlepas dari faktor-faktor
risiko yang mendasari. Cefazolin dan
sefalosporin antianaerobic (misalnya,
cefoxitin, cefotetan) telah dipelajari secara ekstensif.
Lama antibiotik tidak boleh melebihi 24
waktu jam.
h.
Bedah Kepala Dan
Leher
Penggunaan antibiotik profilaksis
selama pembedahan kepala dan leher tergantung pada jenis
prosedur. Prosedur yang bersih, seperti parotidectomy atau ekstraksi gigi
sederhana, terkait dengan SSI tingkat rendah. Prosedur
kepala dan leher yang melibatkan sayatan melalui lapisan mukosa membawa risiko
tinggi SSI. Sementara dosis khas cefazolin tidak efektif untuk infeksi anaerobik,
2-g dosis yang disarankan menghasilkan konsentrasi cukup
tinggi menjadi penghambatan untuk organisme ini. Durasi
24 jam telah digunakan dalam kebanyakan studi, tetapi terapi dosis tunggal juga
mungkin efektif. Untuk kebanyakan kepala dan leher bagian kanker, Klindamisin
24 jam tepat.
i.
Bedah Jantung
Meskipun kebanyakan operasi jantung yang rumit secara teknis
memerlukan prosedur yang bersih,
antibiotik profilaksis
telah ditunjukkan untuk menurunkan suku SSI. Patogen biasa adalah flora (Lihat kulit dan
jarang Organisme Gram-negatif enterik.
Faktor risiko untuk mengembangkan SSI setelah bedah jantung termasuk
obesitas, insufisiensi ginjal, penyakit jaringan ikat, reexploration
untuk perdarahan, waktu administrasi antibiotik yang buruk.
Cefazolin telah diteliti secara ekstensif dan saat ini
dan dianggap sebagai
obat pilihan. Pasien yang berat 80 kg harus
menerima 2 g cefazolin dari pada
1 g. Dosis awal harus
diberikan tidak lebih dari 60 menit
sebelum sayatan pertama dan selambat-lambatnya awal induksi anestesi.
Pemberian antibiotik diluar 48 jam tidak
menurunkan tarif SSI. Terapi dosis tunggal cefazolin mungkin cukup.
juga diperlukan menggunakan Vankomisin di rumah sakit dengan tingginya
insiden
SSI dengan MRSA atau sternalis luka .
j.
Noncardiac Bedah
Vaskuler
Antibiotik Profilaksis
bermanfaat, terutama dalam prosedur yang melibatkan
aorta abdominalis dan ekstremitas bawah. Jam dua puluh empat prophylaxis dengan IV cefazolin
yang memadai. Untuk pasien dengan Alergi β-laktam, 24 jam siprofloksasin oral efektif
.
k. Bedah Ortopedi
Antibiotik Profilaksis bermanfaat dalam kasus-kasus yang
melibatkan implantasi bahan palsu . Patogen yang mungkin termasuk staphylococci dan jarang gram negatif aerobes.
Cefazolin adalah antibiotik adalah obat pilihan. Untuk perbaikan patah tulang
pinggul dan pengganti sendi,
itu harus diberikan selama 24 jam.
l.
Bedah Saraf
Penggunaan profilaksis antibiotik bedah syaraf kontroversial. Dosis tunggal dari cefazolin dibutuhkan, Vankomisin muncul untuk menurunkan risiko
SSI setelah kraniotomi.
m.
Operasi Minimal Invasif Dan Laparoskopi
Peran profilaksis antimikrobial tergantung pada jenis
prosedur dilakukan dan ada sebelumnya faktor risiko untuk infeksi. Ada uji
klinis yang cukup untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi umum.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Vaksin merupakan bahan antigenik yang
digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga
dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau liar,
sedangkan Toksoid adalah toksin
bakteri yang terinaktivasi
2.
Profilaksis adalah pemberian antibiotik
sebelum terjadinya kontaminasi pada jaringan atau cairan yang steril yang
bertujuan untuk mencegah perkembangan infeksi pada daerah yang dibedah
B. SARAN
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan disebabkan keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diperlukan demi
penulisan yang lebih baik untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI, Farmakope
Indonesia, Edisi IV, 1995
DiPiro
J, Talbert R, Yee G, Matzke G, Wells B, Posey Ml, eds,. Pharmacotherapy:
APathophysiologic Approach, 6th ed, McGrawHill, United. States
Dipiro, J.,
Talbert, R., Yee, G., Matzke, G., Wells, B., Posey, L.,
2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Seventh Edition,
McGraw-Hill Medical Publishing, New York.
Ganiswarna, S. G.,
Setiabudy, R., Suyatna, F. D., Ascobat, P., Nafrialdi, Ganiswarna, V. H. S.,
dkk., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Sandina, D.
2011. 9 Penyakit Mematikan Mengenali Tanda & Pengobatannya, Smart
Pustaka. Yogyakarta : Smart Pustaka.
Sukandar, E. Y.,
Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P. & Kusnandar,
2008, ISO Farmakoterapi, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta
No comments:
Post a Comment