Defenisi
Tuberkulosis
Sumber:
Penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat
sitemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak diparu yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer1.
Etiologi23
a. Resiko Infeksi TB
Faktor
risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa
dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis kemiskinan, lingkungan yang
tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
(panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien
TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada
anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang deawas yang infeksius,
terutama degan BTA positif. Berarti, bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum
positif memiliki resiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan
ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpejan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Resiko timbulnya
transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa
tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kapitas pada lobus
atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang
tidak baik.
Pasien TB anak jarang
menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa disekitarnya. Hal ini
dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobronkial pasien
anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah
kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary),
tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah
mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang
menjadi sakit TB primer biasanya terjadi didaerah parenkim yang jauh dari
bronkus, sehingga tidak terjadi prduksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya
produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batu di daerah parenkim
menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
b. Resiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak
selalu mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat
menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor resiko yang
pertama adalah usia. Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum
berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, resiko sakit TB ini akan berkurang
secara bertahap sering dengan pertambahan usia. Pada bayi yang terinfeksi TB
43% nya akan menjadi sakit TB. Pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit
hanya 24% pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak berusia < 5 tahun
memiliki resiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB), dengan angka morbiditas dan moralitas yang tinggi. Resiko
tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi
menjadi sakit TB adalah selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama
selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala
yang akut.
Faktor
resiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji
tuberkulin ( dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir. Faktor
risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transpalatasi organ, dan pengobtan imunosupresan),
diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada
epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Dinegara maju, migrasi penduduk termasuk
menjadi faktor resiko, sedangkan diindonesia
hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang mempunyai
resiko terjadinya penyakit TB adalah virulensi dan M. Tuberculosis dan dosis
infeksinya. Akan tetapi, secara klinis hal in sulit untuk dibuktikan.
Seperti
telah disebutkan sebelumnya, keadaan imunokompromais meruakan salah satu faktor
resiko penyakit TB. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga
kuman TB yang dorman mengalami aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS
menyebabkan peningkatan pelaporan TB secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan
resiko terjadinya sakit TB pada pasien HIV dengan tuberkulin positif adalah
7-10% per tahun, dibandingkan dengan pasien non-HIV yang resiko terjadinya
sakit TB adalah 5-10% selama hidupnya. Pada tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB
disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari
14% pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang telah menurun pada awal abad ke 20
kembali meningkat pada akhir 1980. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan
meningkatnya epidemi HIV dan resistensi
multi obat (Multi Drug Resistence =
MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resitensi obat yang ekstrim (Extreme Drug Resistence = XDR). Secara
ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada tabel :
Tabel
1. Resiko
Sakit TB Pada Anak13
Umur saat infeksi primer (Tahun)
|
Resiko sakit
|
||
Tidak sakit
|
TB Paru
|
TB Diseminata
( milier, meningitis)
|
|
<10
|
50%
|
30-40%
|
10-22%
|
1-2
|
75-80%
|
10-20%
|
2-5%
|
2-5
|
95%
|
5%
|
0,5%
|
5-1
|
98%
|
2%
|
< 0,5%
|
>10
|
80-90%
|
10-20%
|
< 0,5%
|
Patofisiologi
-
Infeksi primer diinisiasi oleh
implantasi organisme di alveolar melalui droplet nuklei yang sangat kecil (1-5
mm) untuk menghindari sel epithelial siliari dari saluran pernafasan atas. Bila
terimplantasi M. Tuberculosis melalui saluran napas, mikrorganisme akan
membelah diri dan dicerna oleh makrofag
pulmoner, dimana pembelahan diri akan terus berlangsung, walaupun lebih pelan.
Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus limfe
regional dapat terjadi, menghasilkan
pembentukan radiodense area menjadi kompleks Ghon.
-
Makrofag yang teraktivasi dalam jumlah
besar akan mengelilingi daerah yang ditumbuhi M. tuberculosis yang padat
seperti keju (daerah nekrotik) sebagai bagian dari imunitas yang dimediasi oleh
sel. Hipersensitivitas tipe tertunda juga berkembang melalui aktivasi dan
perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk granuloma yang mengandung organisme.
-
Keberhasilan dalam menghambat
pertumbuhan M.tuberculosis membutuhkan aktivasi dari limfosit CD4 subset, yang
dikenal sebagai sel Th-1, yang mengaktivasi makrofag melalui sekresi dari
interferon g.
-
Sekitar 90% pasien yang pernah menderita
penyakit primer tidak memiliki manifestasi klinis lain selain uji kulit yang
positif dengan atau tanpa kombinasi dengan adanya granuloma stabil yang diperoleh dari hasil radiografi.
-
Sekitar 5% pasien (biasanya anak-anak
orang tua, atau penurunan sistem imun) mengalami penyakit primer yang
berkembang pada daerah infeksi primer (biasanya lobus paling bawah ) dan lebih
sering dengan diseminasi, menyebabkan terjadinya infeksi meningitis dan
biasanya juga melibatkan lobus paru-paru paling atas
-
Sekitar 10% dari pasien mengalami
reaktivasi, terjadi penyebaran organisme melalui darah.
-
Biasanya penyebaran organisme melalui
darah ini menyebabkan pertumbuhan cepat, penyebaran penyakit secara luas dan
pembentukan granuloma yang dikenal sebagai tuberculosis miliari.4
Gambar Patofisiologi TB5
Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak23
Diagnosis
pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. Tuberculosis pada pemeriksaan
sputum, bilas lambung, cairan serebropsinal (CSS), cairan pleura, atau biopsi
jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh dua
hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman ( paucibacillary) dan sulitnya pengambilan
spesimen (sputum).
Penyebab
pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit
daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di
kelenjer limfe hilus dan parenkim paru bagian perife3r. Selain itu, tingkat
kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. Basil tahan asam baru
dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1
mL spesimen.
Penyebab
kedua, sulitnya pengambilan spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi
kelainannya di parenkim yang tidk berhubungan langsung dengan bronkus, maka
produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang
representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah sputum yang kental
dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 mL, dan ini sulit diperoleh
pada anak. Walauun batuknya berdahak, pada biasanya dahak akan ditelan,
sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastrik tube (NGT),
dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak nyaman bagi
pasien.
Beberapa
alasan diatas menyebabkan diagnosis TB anak terutama didasarkan pada penemuan
klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB
anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti
uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat
kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif , uji tuberkulin positif, gejala dan
tanda sugestif TB, dan foto toraks yang mengarah pada TB (sugestif TB),
merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.
Ada
beberapa jenis lesi TB paru dan bentuk klinis TB pada anak. Berbagai jenis lesi
TB paru dapat dilihat pada tabel :
Tabel
2. Lesi
Tuberkulosis Paru
Kelenjer Limfe
|
Hilus, Paratrakeal, Mediastinum
|
Parenkim
|
Fokus primer, pneumonia, atelektasi,
tuberkulom, kavitas
|
Saluran nafas
|
Air trapping, penyakit endobronkial,
trakeobronkitis, stenosis bronkus, fistula bronkopleura, bronkiektrasis,
fistula bronkoesofagus.
|
Pleura
|
Efusi, fistula bronkopleura, empiema,
pneumotoraks, hemotoraks
|
Pembuluh darah
|
milier, pedarahan paru
|
Tabel 3. Bentuk Klinis Tuberkulosis Pada Anak
Infeksi
T
-
Uji tuberkulin positif tanpa
kelainan klinis
-
Radiologi
-
Laboratorium
|
|
Penyakit
TB paru
|
TB paru primer (pembesaran kelenjer hilus
dengan atau tanpa kelainan parenkim)
TB
paru progresif (Peneumonia, TB endobronkial)
TB
paru kronik (Kavitas, fibrosis, tuberkuloma)
TB
milier
Efusi
pleura TB
|
Di
luar paru
|
Kelenjer
limfe
Otak
dan selaput otak
Tulang
dan sendi
Saluran
cerna termasuk hati, kantung empedu, pankreas
Saluran
kemih termasuk ginjal
Kulit
Mata
Telinga
dan mastoid
Jantung
Membran
serous (peritoneum, perikardium)
Kelenjer
endokrin (adrenal)
Saluran
nafas bagian atas (tonsil, laring, kelenjer endokrin).
|
Manifestasi Klinis23
Patogenesis TB
sangat kompleks, sehingga manifestasi klins TB sangat bervariasi dan bergantung
pada beberapa faktor. Faktor yang bereran adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia dan, kompentensi imun serta
kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak
menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjer hilus pada foto
toraks. Manifestasi klinis TB terbagi dua, yaitu manifestasi sistemik dan
manifestasi spesifik organ/lokal.
a. Manifestasi Sistemik (Umum/Nonspesifik)
Manifestasi
sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak dengan
TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. sesuai dengan
sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB umumnya berlangsung
bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat berlangsung dengan
cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak dapat menyebutkan secara pasti
kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai muncul. Tuberkulosis yang
mengenai organ manapun dapat memberikan gejala dan tanda klinis sitemik yang
tidak khas, terkait dengan orgn yang terkena. Keluhan sitemik ini diduga beraitan
dengan peningkatan tumor necrosis faktor
α (TNF- α ).
Salah
satu gejala sitemik yang seringkali terjadi adalah demam. Temuan demam pada
pasien TB berkisar 40-80% kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang-timbul
dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi klinis sistemik lain yang
sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik (turu, tetap,
atau naik, tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu.
Lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan penyakit
penyerta.
Pada
sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi klinis
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering TB paru
dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala batuk
berulang lebih sering disebabkan karena asma, sehingga jika menghadapi anak
dengan batuk kronik berulang, telusuri dahulu kemungkinan asma. Fokus primer TB
paru pada anak umumnya terdapat didaerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor
batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila
limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara
kroik. Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami
penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut
(IRA) berulang. Gejala batuk kronik berulang dapat disebabkan oleh berbagai
penyakit lain, misalnya rinosinusitis, refluks gastroesofageal, pertusis,
rinitis kronik dan lain-lain. Gejala sesak jarang dijumpai, kecuali pada keadaan
sakit berat yang berlangsung akut,
misalnya pada TB milier, efusi pleura dan pneumonia TB.
Bayi
|
Anak kecil
|
Anak besar
|
Refluks gastroesofagus
|
Hiperaktivitas saluran respiratori
Pasca nfeksi virus
|
Asma
|
Infeksi
|
Asma
|
Post-nasal drip
|
Malformasi kongenital
|
Perokok pasif
|
Merokok
|
Refluks gastroesofagus
|
TB pulmonar
|
|
Perokok pasif
|
Benda asing
|
Bronkiektasis
|
Polusi lingkungan
|
Bronkiektasis
|
Batuk psikogenik
|
Asama
|
Rangkuman dari gejala umum pada TB anak
adalah berikut :
1.
Demam lama (≥ 2 minggu) dan /atau
berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih,
malaria dan lain-lain) yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya
tidak tinggi
2. Batuk
lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan
3. Berat
badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi yang adekuat
4. Nafsu
makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik dengan
adekuat (failure to thrive)
5. Lesu
atau malise
6. Diare
persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare
Tabel 4.
Frekuensi Gejala Dan Tanda TB Paru
Sesuai Kelompok Umur
Kelompok Umur
|
Bayi
|
Anak
|
Akil Balik
|
Gejala
|
|||
Demam
|
Sering
|
Jarang
|
Sering
|
Keringat malam
|
Sangat jarang
|
Sangat jarang
|
Jarang
|
Batuk
|
Sering
|
Sering
|
Sering
|
Batuk produktif
|
Sangat jarang
|
Sangat jarang
|
Sering
|
Hemoptisis
|
Tidak pernah
|
Sangat jarang
|
Sangat Jarang
|
Dispnu
|
Sering
|
Sangat jarang
|
Sangat Jarang
|
Tanda
|
|||
Ronki basah
|
Sering
|
Jarang
|
Sangat Jarang
|
Mengi
|
Sering
|
Jarang
|
Jarang
|
Fremitus
|
Sangat jarang
|
Sangat jarang
|
Jarang
|
Perkus pekak
|
Sangat jarang
|
Sangat jarang
|
Jarang
|
Suara napas berkurang
|
Sering
|
Sangat jarang
|
Jarang
|
b. Manifestasi Spesifik Organ/Lokal
Manifestasi
klinis spesifkik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjer limfe,
susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit.
-
Kelenjer limfe
Pembesaran
kelenjer limfe superfisialis ini dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti
dapat dilihat pada tabel :
Tabel
5 .
Diagnosis Banding Pembesaran Limfe Superfisialis
Infeksi
|
Keganasan
|
Infeksi respiratorik berulang
|
Primer
|
Demam tifoid
|
Penyakit hodgin
|
Tuberkulosis
|
Limfoma non-hodgin
|
AIDS
|
Kelainan histitositik
|
Mononukleosis
|
|
CMV
|
Penyakit autoimun
|
Rubella
|
Reumatoid artritis
|
Varisela
|
Lupus eritematosus
|
Rubeola
|
Dermatomiosis
|
Histoplasmosis
|
|
Toksoplasmosis
|
Reaksi oba
|
Dan lain-lain
|
Lain-lain
|
Gangguan penyimpanan lemak
|
|
Penyakit gaucher
|
Sarkoidosis
|
Penyakit niemann-pick
|
Serum sickness
|
-
Sistem
Saraf Pusat (SSP)
Tuberkulosis pada SSP
yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit ini merupakan penyakit yang berat
dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa
nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil dan kejang.
Proses patologi meningitis TB biasanya terbatas di basal otak, sehingga gejala
neurologis lain berhubungan dengan gangguan saraf kranial. Bentuk TB SSP yang
lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi klinis nya lebih samar dari
meningitis TB, sehingga biasanya terdeteksi secara tidak sengaja. Bila telah
terjadi lesi yang menyebabkan proses desak ruangan, maka manifestasi klinisnya
sesuai dengan lokasi lesi.
-
Sistem
Skeletal
Gejala umumnya
ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak pada sendi yang
terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik biasanya
tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, efipisis
tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB.
Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada
orang dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah sponditis
TB, koksitis TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya
muncul secara perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosis.
Manisfestasi yang dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus.
Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah
lanjut dan ireversible. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus,
pincang, lumpuh dan sulit membungkuk.
-
Kulit
Mekanisme terjadinya
manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara, yaitu inomulas langsung
(infeksi primer) seperti tuberculous chancer, dan akibat limfadenitis TB yang
paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrolfuloderma.
Skrolfuloderma sering ditemukan dileher dan wajah, ditempat yang mempunyai
kelenjer getah bening (KGB), misalnya daerah parotis, submandibula,
supraklavikula dan lateral leher.
Rangkuman dari gejala
spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
1. Tuberkulosis
kelenjer ( terbanyak di regio koli, multipel, tidak nyeri dan saling melekat)
2. Tuberkulosis
otak dan saraf
·
Meningitis TB
·
Tuberkuloma otak
3. Tuberkuloma
sistem skeletal
·
Tulang punggung (spondilitis, gibbus
·
Tulang panggul (koksitis) pincang
·
Tulang lutut (gonitis) pincang dan atau
bergerak
·
Tulang kaki dan tangan
·
Spina ventosa (daktilitis)
4. Tuberkulosis
kulit
5. Tuberkulosis
mata
·
Konjungivitas fliktenularis
(conjungtivitis phlyctenularis)
·
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan
funduskopi)
6.
Tuberkulosis organ-rgan lainnya,
misalnya peritonitis TB, TB ginjal
Pemeriksaan Penunjang23
a. Uji Tuberkulin
tuberkulin
adalah komponen protein kuman TB yang memunyai sifat antigenik yang kuat. Jika
disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB (telah
ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas seluler
terhadap TB), maka akan terjadi reaksi reaksi berupa indurasi ini terjadi
karena vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel
imflamasi daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak
dapat menentukan tingkat aktivitas dan beratnya proses penyakit.
Uji
tuberkulin merupkan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi
hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada
anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang
tersedia di indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberkulin unit) buatan stenens serum institute Denmark, dan PPD (Purified protein derivative) dari
Biofarma.
Uji
tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikan 0,1 mL PPD RT-23 2TU atau
PPD S 5TU, secara intrakutan dibagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan
48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang
timbul bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk
menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pilpen, kemuadian diameter
transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya
dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya
dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaprkan sebagai negatif. Selain ukuran
indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika
ditemukan vesikel hingga bula.
Secara
umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥ 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan
oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) atau
infeksi M. Atipik. Bacille Calmette Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M.
bovis yang dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi
tuberkulin menjadi positif, tidk sekuat infeksi alamia. Pengaruh BCG terhadap
reaksi positif tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang dengan
berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah
penyuntikan.
Pada
anak balita yang telah medapatkan BCG, diameter indurasi 10-15 mm dinyatakan
uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi
masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥ 15
mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca
hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat
diabaikan.
Apabila
diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 mm
dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis
(trauma dan lain-lain). Keadaan alergi atau reaksi silang dengan M. atipik.
Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk
menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan
penyuntikan dilakukan di lokal yang lain, minimal berjarak 2 cm.
Pada
keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromasis), maka
cut-off-point hasil positif yang dignakan adalah ≥ 5 mm. keadaan
imunokompromasis ini dapat dijumpai pada apsien dengan gizi buruk, infeksi HIV,
keganasan, morbili, pertusis, varisela atau pasien-pasien yang menerima
imunosupresan jangka panjang (≥ 2 minggu). pada anak yang melami kontak erat
dengan pasien TB deawas aktif disertai BTA positif, juga digunakan batas ≥ 5
mm. uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah
imunisasi morbili, maesles, mumps, rubella (MMR), dan varisela, karena dapat
terjadi anergi ( negatif palasu karena terganggunya reaksi tuberkulin).
Pada
reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu
tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga
ulkus di tempat suntikan. Juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis,
limfadnopati regional, konjungtivitis fliknularis, bahkan efusi pleura, yang
dapat disertai demam, walaupun jarang terjadi.
Tuberkulosis
pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu
dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di
daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya
negatif dapat diulang setiap tahun.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai
pada tiga keadaan sebagai berikut :
1. Infeksi
TB alamiah
·
Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB
laten)
·
Infeksi TB dan sakit TB
·
TB yang telah sembuh
2. Imunisasi
BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi
mikobakterium atipik
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai
pada tiga keadaan berikut :
1. Tidak
ada infeksi TB
2. Dalam
mana inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan
penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan, sehingga tubuh tidak memberikan
reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa
keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan
steroid jangka panjang, sitostastika, penyakit morbili, pertusis, varisela,
influena, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup.
Yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi oleh virus influena, bukan batuk
pilek-panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus dan disebut sebagai
selesma ( common cold).
Satu hal yang perlu
dicermati saat pembacaan uji tuberkulin adalah kemungkinan uji tuberkulin
positif palsu. Uji tuberkulin positif palsu dapat juga ditemukan pada keadaan
penyuntikan salah dan interpretasi salah, demikian juga negatif palsu,
disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik sehingga potensinya menurun.
Tabel
6.
Sebab-Sebab Hasil Positif Palsu Dan Negatif Palsu Uji Tuberkulin Mantoux
Positif
palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dapat mycobacterium
atipik
|
Negatif
palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan
salah
Intepretasi tidak betul
Menderita TB luas dan berat
Disertai infeksi vrus ( campak,
rubella, cacar air, influenza, HIV)
Imunoinkompetensi seluler, termasuk
pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet ( matahari,
solaria)
Defisiensi permisosa
Uremia
|
Untuk mempermudah
pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit TB, klasifkikasi TB yang dibuat
oleh American Thoracic Society (ATS)
dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika agaknya dapat
membantu :
Tabel
7.
Klasifikasi Individu Berdasarkan Status Tuberkulosisnya
Kelas
|
Pajanan (kontak dengan asien TB aktif)
|
Infeksi (uji tuberkulin positif)
|
Sakit ( uji tuberkulin, klinis, dan
penunjang positif)
|
0
|
-
|
-
|
-
|
1
|
+
|
-
|
-
|
2
|
+
|
+
|
-
|
3
|
+
|
+
|
+
|
Penegakkan Diagnosis23
Diagnosis kerja
TB anak dibuat berdasarkan adnya kontak terutama dengan pasien TB dewasa
aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran
sugestif pada foto toraks. Meskipun
demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga
analisis yang seksama terhada semua data klinis sangat diperlukan. Diagnosis
pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan
langsung ( direct smear), dan/atau
biakan yang merupakan pemeriksan baku emas (gold
standard), atau gambaran PA TB. Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit
didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman pada daerah parenkim yang jauh
dari bronkus, sehingga hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
mikrobiologisnya positif/ditemukan kuman TB. Diagnosis tidk dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis saja, atau pemeriksaan penunjang
tunggal misalnya hanya dari pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisis
kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan
diagnosis.
Kesulitan
megakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat pedoman
diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik, misalnya pedoman yang
dibuat oleh WHO, Steregen dan jones, dan UKK Respirologi PP IDAI.
WHO
(Organisasi Kesehatan Dunis) membuat kriteria untuk membuat diagnosis TB pada
anak :
Tabel
13.
Petunjuk WHO Untuk Diagnosis TB Anak
a.
Dicurigai tuberkulosis
1. Anak
sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis pasti
2. Anak
dengan :
·
Keadaan klinis tidak membaik
setelah menderita campak atau batuk rejan
·
Berat badan menurun, batuk dan
mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit
pernapasan
|
b.
Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis
ditambah :
·
Uji tuberkulin positif (10 mm
atau lebih )
·
Foto rontgen aru sugestif
tuberkulosis
·
Pemeriksaan histologis biopsi
sugestif tuberkulosis
·
Respon yang baik pada pengobatan
dengan OAT
|
c.
Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan
hasil tuberkulosis pada pemeriksaan lansung atau biakan identifikasi Mycobacterium tuberkulosis pada
karakteristik biakan
|
Kriteria WHO ini telah
dievaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan hasil baik. Penilaian
pada 258 anak dengan “ mungkin tuberkulosis” sesuai kriteria WHO, maka setelah
diikuti lebh lanjut 109 (42%) menjadi “pasti tuberkulosis” dengan biakan
positif, 86 (33%) diagnosisnya tetap “ mungkin tuberkulosis” sedangkan 63 (24%)
bukan tuberkulosis. Diantara 109 anak dengan biakan positi, 11 anak foto
rontgen perutnya normal.
Untuk
kerja koordinasi resirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur diagnosis TB anak
yang di muat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB yang diterbitkan
oleh Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam alur diagnosis tersebut, 10
butir krite3ria diagnosis TB anak. Bila terpenuhu tiga atau lebih, anak sudah
dapat didignosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaanya di lapangan, alur
diagnosis tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada anak.
Hal-hal
yang mencurigai TB :
1.
Mempunyai sejarah kontak erat dengan pasien TB
dengan BTA (+)
2.
Uji tuberkulin yang positif (> 10 mm)
3.
Gambaran foto rontgen sugestif TB
4.
Terdapat reaksi kemerahan yang cepat ( dalam 3-7
hari) setelah imunisasi dengan BCG
5.
Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6.
Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab
yang jelas
7.
Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas atau
berat badan kurang baik yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan
penanganan gizi ( failure to thrive)
8.
Gejala-gejala klinis sepesifik (pada kelenjer
limfe, otak tulang dll)
9.
Skofulodema
10. Konjungtivitis
fliktenularis
|
Tabel
8. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter
|
0
|
1
|
2
|
3
|
Kontak TB
|
Tidak jelas
|
-
|
Laporan keluarga (BTA negatif atau
tidak jelas
|
BTA (+)
|
Uji Tuberkulin
|
Negatif
|
-
|
-
|
Positif (≥ 10 mm, atau ≥ 5 mm pada
keadaan immunosupresi
|
Berat badan/keadan gizi
|
-
|
BB/TB < 90% atau BB/U < 80%
|
Kilinis gizi atau BB/TB < 70% atau
BB/U < 60%
|
|
Demam yang tidak diketahui penyebabnya
|
-
|
≥ 2 minggu
|
-
|
|
Batuk kronik
|
-
|
≥ 3 minggu
|
-
|
|
Pembesaran kelenjer limfe koli,
aksila, inguinal
|
-
|
≥ 1 cm, jumlah ≥ , tidak nyeri
|
-
|
|
Pembengkakan tulang/sendi panggul,
lutut, falang
|
-
|
Ada pembengkakan
|
-
|
|
Foto toraks
|
Normal/kelainan tidak jelas
|
Gambaran sugestif TB
|
-
|
Catatan
:
·
Diagnosis
degan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
·
Bila
dijumpai gambaran milier atau skrofulodema, langsung didiagnosis TB
·
Berat
badan dinilai saat pasien datang (moment
opname)
·
Demam
dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku
·
Foto
toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
·
Gambaran
sugestif TB, berupa : pembesaran kelenjer hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrasi konsolidasi segmental/lobar, klasifikasi dengan infiltrasi,
atelektasi, tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena
diperlakukan secara khusus
·
Mengingat
pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya
disediakan tuberkulin ditempat pelayanan kesehatan
·
Pada
anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤7 hari) harus
dievaluasi dengan sitem skoring TB anak. BCG bukan merupakan alat diagnstik
·
Diagnosis
kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor ≥6 (skor maksimal 13).
2.3.8
Tatalaksana26
Tatalaksana
TB anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian
medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu,
penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila sudah ditemukan
sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Uapaya perbaikan kesehatan
lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian
medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau
kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan obat secara teratur dalam
jangka waktu yang cukup lama. Pengawasan terhada jadwal pemberian obat,
keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya
-
Obat
TB Yang Digunakan23
Obat TB utama (first line) saat ini adalan rifamfisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan strepstomisin (S).
Rifamfisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan
pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line) adalah para-aminosalicylic
acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin,
gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamicin, amikacin, dan capreomicyn yang digunakan jika terjadi MDR.
a.
Isoniazid
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang
biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/ hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan
dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet
100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/ 5 mL. Sediaan dalam bentuk
sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaanya.
Konsentrasi puncak didalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam,
dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui
asetilasi di hati. Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya
melakukan asetilasi, yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi
cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-Amerika dan Asia daripada orang
kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang
dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi daripada dewasa.
Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawat darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak
membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu
hepatktoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya
terjadi pada pasien dewasa dengan frekwensi yang meningkat dengan bertambahnya
usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniaid mengalami
peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan
pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. 3-10% pasien akan
mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi
hepatotoksisitas yang bermakna secara klinis sangat jarang terjadi. Hal
tersebut lebih mungkin terjadi pada remaja atau anak dengan TB yang berat.
Idelanya, perlu pemantauan kadar transminase pada 2 bulan pertama, tetapi
karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak
rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala tanda klinis. Hepatotoksisitas akan
meningkat apabila isniaid diberikan bersama dengan rfafisin dan pirainamid.
Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau fenitoin juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya hepatotoksisitas. Pemberian isoniaid tidak
dianjutkan bila kadar trasminase serum naik lebih dari lima kali harga normal,
atau tiga kali disertai ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa
mual, muntah dan nyeri perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhiisi kompetitif
karena metabolisme piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling
sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Kadar piridoksin
berkurang pada anak yang menggunakan isoniaid, tetapi manifestasi klinisnya
jarang sehingga tidak perlu pemberian piridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja
dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan ASI, memerlukan piridoksin
tambahan. Piridoksin diberikan 20-50 mg
satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
b.
Rifamfisin
Rifamfisin bersifat bakterisid pada intrasel, dapat
memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorma yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifamfisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong ( 1 jam sebelum mkan), dn kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifamfisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kgBB/ hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersama dengan isoniaid, dosis
rifamfisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Seperti halnya isoniazid, rifamfisin di distribusikan secara luas ke jaringan
dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi rifamfisin ke dalam CSS lebih baik
pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami peradangan dari pada keadaan
normal. Ekskresi rifamfisin terutama terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang
efektif juga dapat ditemuan di ginjal dan urin.
Efek samping rifamfisin lebih sering terjadi daripda
isonizid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna
urin, ludah, keringat sputum dan air mata, menjadi warna orange kemerahan.
Selait itu, efek samping rifamfisin adalah gangguan gastrointenstinal (muntah
dan mual)< dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai
dengan peningkatan kadar transaminase serum yang hepatoksisitas, yang dapat
diperkecil denfan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10
mg/kgBB/hari. Rifamfisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat
menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinterakasi
dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofilin,
koloramfenicol, kortikosteroid dan sodium warfarin. Rifamfisin umumnya tersedia
dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk
digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat
dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum
bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul malabsorbsi.
c.
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid
berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya
pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada saluran cerna.
Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 mikrogram/mL dlam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asama, yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan
pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10% orang deawasa yang diberikan pirazinamid
mengalami efek samping berupa artrlgia, artritis, atau gout akibat
hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang
terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi
saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid
tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus
dan diberikan bersama dengan makanan.
d.
Etambutol
Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena
potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik,
tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan
terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah
timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak
5 mikrogram dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg
dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik
pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Ekskresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna.
Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama
adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali
penggunaanya dihndari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan
dosis 15-25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien
yang dipantau hingga 10 tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir
mengenai pelaksanan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan
dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat
dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obatan lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.
e.
Streptomicin
Streptomicin bersifat bakterisid dan
bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral,
sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini,
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi pengobatannya penting
pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan
secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar
puncak 40-50 mikrogram/ ML dalam waktu 1-2 jam.
Streptomicin sangat baik melewati
selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura,
dan diekresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB
berat. Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta,
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena
dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli
berat.
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat
menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak. Farmakokinetik OAT pada anak
berbeda dengan orang dewasa. Toleransi anak terhadap dosis per kgBB lebih
tinggi. Saat ini terdapat beberapa perbedaan dosis OAT di dalam kepustakaan.
Oleh karena itu, UKK respirologi PP IDAI telah menyepakati pedoaman dosis OAT dengan
mempertimbangkan toleransi anak terhadap dosis, dan tidak hanya sekedar
ekstrapolasi dosis untu pasien dewasa. Secara dosis dan efek samping OAT dapat
dilihat pada tabel :
Tabel
15. Obat Antituberkulosis Yang Biasanya Dipakai Dan Dosisnya
Nama obat
|
Dosis harian (mg/kgBB/hari
|
Dosis maksimal (mg/kgBB/hari)
|
Efek samping
|
Isoniazid
|
5-15*
|
300
|
Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas
|
Rifampisin**
|
10-20
|
600
|
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna orange
kemerahan
|
Pirazinamid
|
15-30
|
2000
|
Toksisitas hati, artralgia, gastrointestinal
|
Etambutol
|
15-20
|
1250
|
Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta
warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hiersensitivitas,
gastrointestinal
|
Streptomisin
|
15-40
|
1000
|
Ototoksik, nefrotoksik
|
*bila isoniazid dikombinasikan
dengan rifamfisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB hari
** rifamfisin tidak boleh diracik
dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavaibilitas
rifamfisin
Rifamfisin diabsorbsi dengan baik
melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan)
-
Panduan
Obat TB
Pengobatan
TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif ( 2 bulan pertama) dan sisanya
sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat
pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada
fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemunginan terjadinya relaps.
Beda
dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga
kali demam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan
menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.
Saat ini paduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
paduan rifamfisi, isoniazid dan
pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifamfisin, isoniazid, dan pirazinamid,
sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifamfisin dan isoniazid.
Pada
keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,
meningitis TB, TB sistem skeletal dan lain-lain, pada afse intensif dberika
minimal 4 macam obat (rifamfisin, isoniazid, etambutol dan streptomisin). Pada
fase lanjutan dieberikan rifamfisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus
TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkila, dan peritonotis TB, diberikan kortikorsterois (prednison) dengan
dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan
tappering off selama 1-2 minggu.
Tabel
9.
Dosis Kombinasi Pada Tuberkulosis Anak
Berat
Badan (kg)
|
2
bulan RHZ (75/50/150 mg)
|
4
bulan (RH 75/50 mg)
|
5-9
|
1
tablet
|
1
tablet
|
10-14
|
2
tablet
|
2
tablet
|
15-19
|
3
tablet
|
3
tablet
|
20-32
|
4
tablet
|
4
tablet
|
Catatan
:
·
Bila BB ≥ 33 kg, dosis disesuaikan
·
Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke
RS
·
Obat tidak boleh diberikan setengah
dosis tablet
·
Perhitungan pemberian tablet di atas
sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB.
Tabel
10
Dosis Kombinasi Tetap Berdasarkan WHO
Berat Badan
|
Fase Inisial (2 Bulan)
|
Fase Lanjutan (4 Bulan )
|
Kisaran Dosis
|
<7
|
1
|
1
|
R:
9-20 mg, H: 4-10 mg, Z : 21-50 mg
|
8-9
|
1,5
|
1,5
|
R:
8-9 mg, H: 5-5,6 mg, Z : 19-22 mg
|
10-14
|
2
|
2
|
R:
11-12 mg, H: 4,3-6 mg, Z: 21-30
|
15-19
|
3
|
3
|
R:
9,4-12 mg, H: 4,3-6 mh Z: 16-30
|
20-24
|
4
|
4
|
R:
10-12, H: 5-6 mg, Z: 25-30 mg
|
25-29
|
5
|
5
|
R:
10,3-12 mg, H: 5-6 mg, Z: 15-30 mg
|
Catatan
:
R
: Rifamfisin
H
: Isoniazid
Z
: Pirazinamid
Pengawasan Efek Samping
Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan
TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil mengalami efek
samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek samping harus
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium tidak harus dilakukan secara rutin. Petugas
kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan menerangkan
kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera melaporkannya
kepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien tentang
gejala yang dialaminya. Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi
efek samping mayor dan minor (lihat tabel 5.3). Jika timbul efek samping minor,
maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-kadang dosis
perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik. Jika timbul efek
samping berat (mayor), maka pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek
samping mayor harus ditangani pada pusat pelayanan khusus.27
Tabel 11 Efek Samping Obat
Tuberkulosis dan Penanganannya27
Efek
Samping
|
Kemungkinan
Penyebab
|
Penanganan
|
Minor
Teruskan obat, Periksa
|
||
Anoreksia, mual, sakit perut
|
Rifampisin
|
Berikan obat pada malam hari sesudah
makanan yang lain
|
Nyeri sendi
|
Pirazinamid
|
Aspirin
|
Rasa panas di kaki
|
INH
|
Piridoksin 100 mg/hari
|
Urin kemerahan
|
Rifampisin
|
Terangkan kepada pasien
|
Mayor
Hentikan Obat Penyebab
|
||
Gatal-gatal, kemerahan di kulit
|
Tiasetazon
|
Hentikan obat yang bersangkutan
|
Ketulian
|
Streptomisin
|
Hentikan streptomisin ganti
dengan etambutol
|
Pusing, vertigo, nistagmus
|
Streptomisin
|
Hentikan streptomisin ganti
dengan etambutol
|
Ikterus (tanpa sebab lain)
|
Berbagai anti ТВ
|
Hentikan anti ТВ
|
Muntah, bingung (kecurigaan,
gagal hati)
|
Berbagai anti TB
|
Hentikan obat, segera periksa fungsi
hati dan waktu protrombin
|
Gangguan penglihatarn
|
Etambutol
|
Hentikan etambutol
|
Syok, Purpura, gagal ginjal akut
|
Rifampisin
|
Hentikan rifampisin
|
-
Evaluasi
Efek Samping Pengobatan23
Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping.
Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifamfisin
adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta
demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas
jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10
mg/kgBB/hari dan dosis rifamfisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam
kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-piruvat Transminase (SGPT)
hingga ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥3 kali batas atas normal (40 U/I) disertai
dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta
peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapa pun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea dan muntah.
Putus Obat23
Pasien dikatakan
putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu. Sikap
selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien
datang kembali, sudah beberapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat
telah terputus. Pasien tersebut perlu di rujuk untuk penanganan selanjutnya.
Multi-drug Resistence (MDR) 23
Kejadian MDR-TB
sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin
dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui
bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB
akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yag
resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila penegndalian TB tidak benar,
prevalens MDR-TB mencapai 5,5% sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan
menerapkan strategi direcly observed
treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja. Daftar
OAT lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada tabel :
Tabel
12.
Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua untuk MDR-TB
Nama obat
|
Dosis harian (mg/kgBB/hari)
|
Dosis maksimal (mg/kgBB/hari)
|
Efek samping
|
Ethionamide atau prothionamide
|
15-20
|
1000
|
Muntah, gangguan gastrointestinal*
sakit sendi
|
Fluoroquinolones**
Ofloxacin
Levofloxacin
Moxifloxacin
Gatifloxacin
Ciprofloxacin
|
15-20
7,5-10
7,5-10
7,5-10
20-30
|
800
-
-
-
1500
|
|
Aminoglycosides
Kanamycin
Amikasin
Caproemisin
|
15-30
15-22,5
15-30
|
1000
1000
1000
|
Ototoksisitas, toksisitas hati
|
Cycloserin terizodone
|
10-20
|
1000
|
Gangguan psikis, gangguan neurologis
|
Para-aminosalicylic acid
|
150
|
12000
|
Muntah, gangguan gastrointestinal
|
*dapat di tanggulangi dengan dosis
terbagi
** meskipun belum disetujui untuk anak
tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping
1.
Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI). 2009.
PedomanPelayanan Medis,. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Direktur Jendral
3. Global
Health Science. 2017. Hubungan Pola Makan Dengan Kejadian gastritis Pada
Remaja. ISSN
4.
Adnyana, I., Andrajati, R., Setiadi, A.
P., Sigit, J. I., Sukandar, E. Y. 2008. ISO
Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbit4an : Jakarta
5.
Price., Sylvia, A. 2005.
Patofisiologi Konsep Klins Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta
6.
Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama, Jakarta
7.
World Health
Organization.2005. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit,. Jakarta
: Badan Penerbit World Health Organization