Sunday 30 June 2019

LAPORAN STUDI KASUS DEMAM TIFOID DAN TONSILOFARINGITIS AKUT PADA ANAK-ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch 1.
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan1.
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik1.

1.2     Tonsilofaringitis
Tonsilofaringitis akut faringitis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak. Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insiden faringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia dibawah 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.
Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu, diperlukan strategi untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat membedakan pasien-pasien yang membutuhkan terapi antibiotik dan mencegah serta meminimalisir penggunaan medikamentosa yang tidak perlu2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Demam Tifoid
2.1.1        Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limfa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch 1.
2.1.2        Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan1.
2.1.3        Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik 1.
2.1.4        Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfafatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal 1.
2.1.5        Manifestasi klinis
Pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik penderita serta lama sakit dirumahnya 1.
Semua pasien tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart  yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Banyak orangtua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delerium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apati sampai koma 1.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokkan. Pada kasus berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipofolemik sebagai akibat masukkan cairan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan barat, pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali 1.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ektremitas, dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke-7 sampai 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari demam tifoid. Bradikardi jarang dijumpai pada anak 1.


2.1.6        Diagnosis
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji Widal  slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 95%. Artinya hasil tes positif, 96% kasus benar sakit tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan 1.
2.1.7        Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapatdilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia1.
Kloramfenikol merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus minggu untuk osteomielits akut, dan 4 minggu untuk meningitis1.
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lenih lama.Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan kloramfenikol.Dosis yang dilanjutkan adalah TMP 10mg/kg/hari atau SMZ 50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.Pemebrian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolate yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak.Akhir-akhir ini cefixime oral 1—15mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukosit <2000 atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi1.
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma, dan shock, pemberian deksametason intraven (3mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal) dilanjukan dengan 1mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Disamping antibiotic yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.Demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi darah.Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foro abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis.Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai oenambahan antibiotic metronidazol dapat memperbaiki prognosis.Reseksi 10cm disetiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfuse trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yag dianggap cukup berat hingga menyebabkam perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah1.
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan probenecid 30mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan setelah pemebrian antibiotik (ampisilin 200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama1.
2.2    Tonsilofaringitis
2.2.1        Definisi
Faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorokan. Faringitis streptokokus  beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan nasofaring oleh SBHGA2.
2.2.2        Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3 tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella dan berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut2.
2.2.3        Patogenesis
Nasofaring dan orofaring ada;ah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.
Infeksi jarang terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya SBGH melekat pada sel-sel epitel. Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada kelompok ini.
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antaranya penyebab bakteri tersebut, SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dab D telah terbukti dapat menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan (foodhome) dan air (waterborne) yang terkontaminasi.
Saat ini faringitis difetri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini terutama terjadi pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah.  Bakteri ataupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula dan palatum mole. Perjalanan penyakit ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faringyang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil atau keduanya. Infeksi Streptokokus di tandai dengan invasi lokal serta toksin ekstraselular dan protase. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam2.
2.2.4        Manifestasi klinis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan dengabn awitan mendadak , disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh anak berusia diatas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut dan muntah.  Selain itu juga didapatkan demam yang mencapai suhu 40oC, beberapa jam kemudian terdapat nyeri tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjutivitas,  dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien ranitis juga dapat ditemukan anamnesia.
            Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus , yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan pembesaran tonsil.
            Faringitis streptococcus  sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
-          Awitan akut, disertai mual dan muntah
-          Faring hiperemia
-          Demam
-          Nyeri tenggorokan
-          Tonsil bengkak dengan eksudasi
-          Kelenjer getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
-          Ovula bengkak dan merah
-          Ekskoriasi hidung disertai lesi imperigo sekunder
-          Ruam skarlatina
-          Petekie palatum  mole
Akan tetapi penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis streptococcus , karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain. ,sedangkan bila dijumpai tanda dan gejala berikut ini , maka kemungkinan besar bukan faringitis streptococcus:
-          Usia dibawa 3 tahun
-          Awitan bertahap
-          Kelainan melibatkan  beberapa mukosa
-          Konjutivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
-          Menki, ronki diparu
-          Eksantem ulseratif
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris , mudah berdarah, dan bewarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meuas dari batas anterior tonsil hingga ke palatum mole dan atau ke ovula.
   Pada faringitis difteri akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus dipalatum mole dan dinding faring serta eksudat dipalatum dan tonsil , tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada faringitis streptococcus. Gejala yang muncul dapat menghilang dalam waktu 24 jam., berlangsung 4-10 hari, jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis yang baik2.

2.2.5        Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan labolatorium. Sulit untuk membedakan antara faringitis streptococcus dan faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan untuk penegakan adanya S.  Pyogenes. Untuk memaksimalkan akurasi, maka diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media agar darah domba 5%dan piringan basitrasin  diaplikasikan, kemudian tunggu selama 24 jam2 .
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk untuk mendeteksi antigen streptococcus grup A (rapid antigen detection test). Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini dapat digunakan sebagai pengganti kultur. Secara umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikiltur pada dua cawan agar  darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk S. Pyogenes. Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian antibiotik yang tidak perlu pada pasien faringitis2 .
2.2.6 Tatalaksana
Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian antibiotic sesuai indikasi.faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotic(selain difteri yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae).
Pemberian antibiotic tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan mempercepat waktu  penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), Pada anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam,dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza, karena insidenssindrom reye kerap terjadi2 .
2.2.7 Terapi antibiotic
Pemberian antibiotic pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil kultur positif pada pemeriksaan usapan tenggorokan. Akan tetapi, hingga saat ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis akut streptococcus, dan memberikan antibiotic karena khawatir dengan salah satu komplikasinya, berupa demam reumatik.
Antibiotic pilihan pada terapi faringits akut streptokokus grup A adalah penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU ( BB<30kg)dan 1.200.000 IU(BB<30 kg). Amoksilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena selain efeknya sama, amoksisilin juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari  dibagi 2 selama 6 hari,efektivitasnya sama dengan penisilim V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat diberikan eritromisin etilsuksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40 mg/KgBB/hari,dengan pemberian 2,3, atau 4 kali per hari selama 10 hari: atau dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB/Hari, selama 3 hari berturut-turut.antibiotik golongan sefalosforin generasi I dan II dapat juga memberikan efek yang sama,tetapi pemakainnya tidak dianjurkan,karena selain mahal risiko resistensinya juga lebih besar2 .
Kegagalan terapi adalah terdapatnya streptococcus persisten setelah terapi selesai. Hal ini terjadi pada 5-20%  populasi , dan lebih banyak pada populasi dengan pengobatan pada penisilin oral dibandingkan dengan suntik. Penyebabnya karena terdapat komplians yang kurang, infeksi ulang atau adanya flora normal yang memproduksi beta laktamase. Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan resiko tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi streptococcus yang berulang.
Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa perpustakaan menyarankan terapi kedua, dengan pilihan obat clindamisin 20-30 mg/kgBB/ hari selama 10 hari., amoksisilin –kluvanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari. Atau injeksi benzathine penicilin G intramuskular , dosis tunggal 600.000 IU (BB<30 kg) atau 1.200.000 IU (BB>30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapim kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan pasien carier, yang memiliki resiko ringan terkena demam reumatik . golongan tersebut tidak memerlukan terapi tambahan2 .

BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. Data Base Pasien
Nama                     : An. HI
No MR                  : 00062XXX
Umur                     : 4 tahun
Jenis Kelamin        : Perempuan
JL;Alamat             : JL. Kirab Remaja No.239 Tembok, Campago Ipuh,
Mandiangin,  Koto Sanayan, Kota Bukitinggi, Sumatera
Barat
Agama                   : Islam
Berat badan           : 16 kg
Tanggal masuk      : 06 Juli 2019
3.2.Anamnesa
Seorang pasien An. HI berjenis kelamin perempuan berumur 4 tahun masuk RSSN Bukittinggi pada tanggal 06 Juli 2019dengan keluhan utama demam 7 hari yang lalu.
3.2.1.      Riwayat penyakit sekarang
Seorang pasien dengan keluhan utama demam 7 hari yang lalu naik turun, pasien batuk berdahak, pasien mengalami mual dan muntah, nafsu makan pasien berkurang, pasien susah BAB dan BAK pasien normal, Pasien tidak mengalami mimisan, gusi pasien tidak berdarah , pasien tidak pilek dan pasien telah meminum obat amoxicilin sejak  hari pertama demam.
3.2.2.      Riwayat penyakit sebelumnya
Pada tanggal 1 Februari 2015 pasien mengalami demam sejak jumat malam, masih minum ASI, tidak pilek, tenggorokan tampak memerah, tidak muntah, BAB dan BAK normal. Dari diagnosa dokter diketahui bahwa pasien mengalami ISPA dan obstruksi febris.
3.3.Pemeriksaan Fisik
3.3.1.      Di IGD
-        Keadaan umum           : Sedang
-        Nadi                            :  96x/menit
-        Nafas                           :  20x/menit
-        Suhu                            : 39oC
-       Tingkat kesadaran       : Compos Mentis
-       GCS                            : E4M6V5= 15
3.3.2.      Di ruang rawat inap
Parameter
06-06-
2019
07-06-2019
08-06-2019
08-06-
2019
10-06-
2019
Kondisi Umum
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Kesadaran
Compos Mentis
Compos Mentis
Compos Mentis
Compos Mentis
Compos Mentis
Nadi
96 x/i
-
-
-
-
Nafas
20xmenit
20x/menit
-
-
-
Suhu (oC)
39 oC
36 oC
37 oC
36,3 oC
36,2 oC

3.4.Pemeriksaan Penunjang
-          DL
-          Tes Widal

3.5.Pemeriksaan Labolatorium
3.5.1.      Pemeriksaan Darah Lengkap
Hematology
Hasil
6-6-2019
Hasil
10-6-2019
Nilai normal
WBC
13,84 x 103 /µL
7,72 x 103 /µL
4,4-11,3 x 103 /µL
RBC
4,16 x 106/µL
4,07 106/µL
4,1-5,1x 106/µL
Hemoglobin
11,5 g/ dl
11,4 g/dl
12,0-14,5 g/dl
HCT
34,7 %
33,9 %
25-45 %
MCV
83,3 fl
83,2fl
80-96 fl
MCH
27,6 pg
28,0 pg
28-33 pg
MCHC
33,2 g/dl
33,7 g/dl
33-36 g/dl
PLT
328 x 103/uL

150 – 450 x 103/uL
RDW
11,8
11,8
11,5-14,5
Basofil
0,2%
0-1%
0-1%
Eusinofil
0,2%
3,0%
0-4%
Neutrofil
71,9%
30,4%
55-80%
Limfosit
21,6%
63,7%
22-44%
Monosit
4,3%
2,7%
0,7%
Salmonella typhi O
1/80
-
1/160
Salmonella typhi H
Negatif
-
1/160

3.5.2.      Pemeriksaan Urin Lengkap
Hematology
Hasil
(7-6-2019
Hasil
10-6-2019)
Nilai normal
Warna
Kuning
Kuning
Kuning
kejernihan
Jernih
Jernih
Jernih
Berat jenis
1,015
1,005-1,030
1,015
pH
6,5
4,6-8,0
6,5
Protein(albumin)
Trace
Negatif
Negatif
Glukosa
Negatif
Negatif
Negatif
Leukosit(esterase)
Negatif
Negatif
Negatif
Nitrit

Negatif
Negatif
Negatif
Keton

Positif (+2)
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Normal
Negatif
Negatif
Bilirubin
Negatife
Negatif
Negatif
Blood
Positif (+1)
Negatif
Negatif
Leukosit
2-4
Pr: 0-15
Negatif
Eritrosit
10-13
0-2
-
Epitel
(+1) gepeng
45
-
Kristal
Negatif
Negative
-
Silinder
Negatif
0-1
-

3.6.Diagnosa Kerja di IGD
-          Fibris 7 hari ex. Suspect fever tifoid
-          leukositosis
3.7. Terapi/Tindakan
3.7.1.      Di IGD (tanggal 6 Juli 2019)
-          IVFD KAEN IB + KCL 10 mg
-          Cefiksim sirup 2 x 80 mg cth
-          Paracetamol sirup 4x1 cth
-          Ambroxol 8 mg  dan Clorfeniramin maleate 1,6 mg S3ddp1
-          Domperidone sirup 3x1/2 sendok teh


3.7.2.      Diruang rawat inap ( dari tanggal 6 sampai 9 Juli 2019)
No
Nama Obat

Aturan Pakai
Rute
Waktu Pemberian

6-6-2019
7-6-2019
8-6-2019
9-6-2019
8
12
20
24
8
12
20
24
8
12
20
24
8
12
20
24
1.
IVFD Ka-En 1B + KCl 10 Meq
/12jam
Infus
2.
Abroxol 8 mg + CTM 1,6 mg

2 x 1

Intra Vena





3.
Cefixime syr 100mg/5ml

2 x 80 mg

Per Oral









4.
Paracetamol syr 120mg/5ml
4 x 1 1/2
Per Oral
               

5.
Domperidone 5mg/5ml
3x 1/2

Per Oral








3.7.3.      Obat yang dibawa pasien pulang
-          Cefixim sirup 2 x 80 mg
3.8.Follow Up Pemakaian Obat
Tanggal
Keterangan
06 Juli 2019 (12.20)


S
Demam tinggi sejak 7 hari, pasien mengalami batuk, pasien mual, pasien sulit menelan, nafsu makan pasien berkurang.

O
-          Kondisi umum: sakit sedang
-          Suhu: 39OC
-          Nadi: 96 x/menit
-          Nafas: 24 x/menit
-          Berat badan: 16 kg
-          Faring hiperemis T2-T2
-          Tidak Hiperemis coated tongue
-          Tidak ada NT epigastrik
-          Adanya bising usus
-          Mengalami hipertimpani
-          Leukosit 13.800/m3
-          Widal 1/80
A
Fibris 7 hari ex. Suspect demam tifoid
Mengalami tonsilofaringitis
Intake sulit
P
-          IVFD KAEN IB + KCL 10 μg/kolt 11 gittae /menit (makro)
-          Cefixim sirup 2 x 80 mg
-          Paracetamol sirup 4x1 1/2 cth
-          Domperidone sirup 3x1/2 sendok teh
-          Ambroxol 8 mg
-          Clorfeniramin maleate 1,6 mg
-          ML DSC 1300 Kkal
-          Cek urin
07 Juli 2019
S
Pasien tidak demam
Sakit menelan berkurang
Nafsu makan kurang

O
Faring, hipermis, tonsil : T2-T2 hipermis
Kesadaran umum : sedang
Suhu : 36oC
A
Tonsilofaringitis  disertai dengan intake sulit
P
-
08 Juli 2019
S
Demam mulai turun, nafsu makan bertambah, masih kurang BAB sejak 6 hari
O
-          Kesadaran umum: sedang
-          Suhu : 37oC
-          Faring hipermis berkurang
-          T2-T2 hipermis
-          Ada NT epigastric
-          Mengalami scibala
A
Perbaikan obstipasi
P
Terapi diteruskan
-          Ditambah dulcolac pediatri
-          Senin cek ulang DL+ Widal + ML
09 Juli 2019
S
Ibu menyatakan demam anak sudah mulai menurun.
O
Pasien tampak letih, diet habis setengah porsi
A
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
P
-          Kontrol Tanda Vital
-          Anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
-          Motivasi pasien untuk menghabiskan diet
-          Anjurkan pasien makan selagi hangat
10 Juli 2019
S
Sudah tidak demam
0
-          Kesadaran umum: sedang
-          Suhu : 36,2 oC
A
Perbaikan
P
Dilanjutkan  resep pulang
















BAB IV
DISKUSI
4.1 Analisa Drug Related Problem
No.
Drug Therapy Problem
Chck List
Rekomendasi
1
Terapi obat yang tidak diperlukan
-


Terdapat terapi tanpa indikasi medis
-
Semua indikasi medis sudah diberikan terapi
- Infus Kaen IB + KCl  diberikan (untuk membantu menyalurkan atau mengganti cairan dan elektrolit)
- Ambroxol 8 mg & CTM 1,6 mg untuk mengobati batuk dan sebagai antihistamin.
- Paracetamol sirup untuk menurunkan suhu tubuh
-   Domperidone sirup ( meredakan mual dan muntah)
-   Cefixime sirup sebagai antibiotic untuk menghambat invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.

Pasien mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan
-
Pasien mendapatkan terapi sesuai dengan kondisi yang diperlukan
Pasien masih memungkinkan menjalani terapi non farmakologi
Masih bisa menjalani terapi non farmakologi dengan cara istirahat yang banyak, banyak minum air putih,
Terdapat duplikasi terapi
-
Tidak terdapat duplikasi terapi
Pasien mendapat penanganan terhadap efek samping yang seharusnya dapat dicegah
-
Pasien tidak merasakan adanya efek samping sehingga tidak ada permasalahan
2
Kesalahan obat



Bentuk sediaan tidak tepat
-
Sediaan sudah tepat karena pasien dapat menelan dengan baik

Terdapat kontra indikasi
-
Tidak terdapat kontaindikasi

Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan oleh obat
-
Kondisi pasien dapat disembuhkan dengan obat karena semakin hari keadaan pasien makin membaik

Obat tidak diindikasikan untuk kondisi pasien
-
Semua obat sesuai dengan kondisi pasien

Terdapat obat lain yang lebih efektif
-
Obat yang diberikan kepada pasien sudah efesien
3
Dosis tidak tepat



Dosis terlalu rendah
-
Sudah tepat dosis :
-          Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-          Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-          Domperidone sirup (3x ½  Cth)
-          Cefixime sirup (2x80mgsehari)

Dosis terlalu tinggi
-
Sudah tepat dosis :
-          Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-          Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-          Domperidone sirup (3x ½  Cth)
-          Cefixime sirup (2x80mgsehari)

Frekuensi penggunaan tidak tepat
-
Frekuensi penggunaan sudah tepat :
-          Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-          Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-          Domperidone sirup (3x ½  Cth)
-          Cefixime sirup (2x80mg sehari)

Penyimpanan tidak tepat
-
 Penyimpanan sudah tepat karena disimpan pada suhu kamar



Administrasi obat tidak tepat
-
Administrasi obat sudah tepat

Terdapat interaksi obat
-
Tidak ada permasalahan tentang interaksi obat pada tereapi obat yang diberikan kepada pasien
4
Reaksi yang tidak diinginkan



Obat tidak aman untuk pasien
-
Obat aman untuk pasien karena pasien tidak ada mengeluhkan tentang reaksi alergi ataupun adanya efek yang tidak diinginkan

Terjadi reaksi alergi
-
Tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh tubuh pasien

Terjadi interaksi obat
-
Tidak ada permasalahan tentang interaksi obat pada terapi obaty ang diberikan kepada pasien

Dosis obat dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
-
Tidak ada obat yang dinaikkan ataupun diturunkan dosisnya

Muncul efek yang tidak diinginkan
-
Tidak ada muncul efek yang tidak diinginkan jadi tidak ada permasalahan

Administrasi obat yang tidak tepat
-
Administrasi obat sudah tepat
5
Ketidak sesuaian kepatuhan pasien



Obat tidak tersedia
-
Semua obat tersedia di apotek rawat inap

Pasien tidak mampu menyediakan obat
-
Pasien mampu untuk menyediakan semua obat

Pasien tidak bisa menelan atau menggunakan obat
-
Pasien masih bisa menelan obat dengan baik

Pasien tidak mengerti intruksi penggunaan obat
-
Keluarga sudah mengerti dengan cara penggunaan obat dan diibantu dengan bantuan keluarga pasien.

Pasein tidak patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat

Pasien patuh dalam menggunakan obat setiap diberikan obat oleh TTK (siang dan malam hari) atau perawat (pagi hari)
6
Pasien membutuhkan terapi tambahan



Terdapat kondisi yang tidak diterapi
-
Semua kondisi pasien telah diberikan terapi obat

Pasien membutuhkan obat lain yang sinergis
-
Pasien sudah mendapatkan obat yang sinergis

Pasein membutuhkan terapi profilaksis
-
Pasien telah mendapatkan terapi profilaksis

ü  Perhitungan Dosis
Ø  Paracetamol Sirup (120mg/5ml)1
Dosis Lazim paracetamol : 10 mg-15mg/kgBB
Berat badan pasien 16 kg. Jadi dosis untuk anak berat badan 16 kg adalah :
·         10 mg-15 mg/kgBB X 16 kg = 160 mg-240 mg (1xP)
-          Dosis sehari : 160 mg-240 mg x 4 kali = 640 mg- 960 mg
-          Untuk 1 kali pakai = 7,5ml/5ml x 120 mg = 180 mg (aman)
-          Untuk dosis sehari = 180 mg x 4 kali = 720 (aman)
Paracetamol yang diterima pasien masih aman dan berada di rentang dosis anak dengan berat badan 16 kg
Ø  Domperidon sirup (5mg/5ml)3
Dosis Lazim domperidon untuk anak – anak 0,25 – 0,5 mg/kgBB
Berat badan anak 16 kg
Perhitungan : Berat Badan x Dosis Lazim
                     = 16 kg x ( 0,25 – 0,5 ) mg/kgBB
                     = 4 mg – 8 mg
-          Untuk 1 kali pakai = 2,5ml/5ml x 5 mg = 2,5 mg (aman)
-          Untuk sehari pakai = 2,5 x 3 kali = 7,5 mg (aman)
Dosis domperidon sirup yang diberikan dokter berdasarkan perhitungan dosis lazim domperidon aman untuk pasien.
Ø  Cefixime sirup (100mg/5ml)1
-          Pasien diberikan cefixime sirup 2 x 80 mg
Jadi, 80mg/100mg x 5 ml = 4 ml/kali
Dosis Lazim Cefixime untuk anak – anak 1 - 15 mg/kgBB
Berat badan anak 16 kg
Perhitungan : Berat Badan x Dosis Lazim
                     = 16 kg x (1 - 15) mg/kgBB
                     = 16 mg – 240 mg
-          Untuk 1 kali pakai = 4ml/4ml x 80 mg = 80 mg (aman)
-          Untuk sehari pakai = 80 x 2 kali = 160 mg (aman)
Dosis cefixime sirup yang diberikan dokter berdasarkan perhitungan dosis lazim masih masuk dalam rentang sehingga cefixime sirup aman untuk pasien.
Ø  CTM (-/40mg)4
-          Pasien diberikan CTM 1,6 mg
Umur anak 4 tahun
-          Untuk sehari pakai = 4/4+12 x 40 mg = 10 mg (aman)
-          Dalam % 1xh = 4,8 mg/10 mg x 100% = 48%  (aman)
Ø  Ambroxol (1,2mg-1,6mg/hari)5
-       Pasien diberikan ambroxol 8 mg mg
Umur anak 4 tahun
-       Dosis lazim untuk anak (1,2-1,6 mg) / kgBB / hari
-       (1,2 mg- 1,6 mg)/ kgBB X 16 Kg = 19,2 mg -25,6 mg
-       1x P = 8 mg
-       1hp = 8 mg X 3
      = 24 mg
-       % 1hp = 24 mg/25,6 mg X 100% = 93,75 % (aman)
Dosis yang diberikan untuk CTM dan Ambroxol aman dan sudah tepat
4.2 Pembahasan
Seorang pasien anak-anak berumur 4 tahun masuk Rumah Sakit Stroke melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada tanggal  06 juni 2019 pukul 08:00 WIB. Pasien masuk dengan keluhan utama  Demam tinggi onset ± 7 harinaik turun sebelum masuk rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapat keadaan umum pasien sedang, glasgow Coma Scale (GCS)  E4 M6 V5, Kesadaran Compos Mentis, frekuensi Nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 39° C. Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 06 juni 2019 diperoleh hasil WBC 13,84 x 103/µL (normal 4,4-11,3 x 103/µL), RBC 4,16 x 106/µL (normal 4,1-5,1x 106/µL), Hgb 11,5 g/dL (normal 12,0-14,5 g/dL), dan PLT 328 x 103/uL (normal 150- 450 x 103/ µL), Hct 34,7% (normal 25-45%).
Terapi yang diberikan kepada pasien di IGD adalah IVFD Kaen IB + KCl, Cefixime sirup 2 x 80 mg,  paracetamol sirup 4x 11/2  Cth, ambroxol 8 mg dan CTM 1,6 mg S3ddp1, domperidone sirup 3x ½ Cth. Tujuan dari penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk menurunkan demam, menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi, memperpendek jalannya penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah untuk tidak terjadinya kekambuhan kembali.
Pada tanggal 06 Juni 2019 kemudian pasien dipindahkan ke ruang anak IRNA A dan didiagnosa demam tifoid dan tonsilofaringitis, untuk terapi demam tifoid diberikan terapi Infus Kaen IB + KCl  diberikan untuk membantu menyalurkan atau mengganti cairan dan elektrolit, Ambroxol 8 mg & CTM 1,6 mg 93 kali sehari satu bungkus) untuk mengobati batuk dan sebagai antihistamin, Paracetamol sirup untuk menurunkan suhu tubuh, Domperidone sirup  meredakan mual dan muntah, Cefixime sirup sebagai antibiotik untuk menghambat invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.
Untuk pengobatan tonsilofaringitis diberikan paracetamol sirup untuk mengurangi rasa nyeri dan diberikan cefixime sirup sebagai terapi antibiotic pada tonsilofaringitis. Sehingga cefixime sirup dapat digunakan sebagai terapi antibiotic demam tifoid dan tonsilofaringitis karena demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhi yang merupakan bakteri gram negative dan tonsilofaringitis biasanya disebabkan oleh streptococcus yang merupakan gram negative sehingga bisa digunakan golongan sefalosforin generasi III yaitu cefixime untuk mengobati berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
 Pada tanggal 08 Juni 2019 pasien mengeluh susah BAB sehingga diberikan Dulcolax pediatric untuk memperlancar BAB pasien atau sebagai pencahar. Setelah 4 hari pasien dirawat di IRNA A ruangananak, pasien diperbolehkan pulang dengan kondisi perbaikan. Pasien diberi obat pulang Cefixime sirup I 80 mg 2 x sehari  peroral.
Semua terapi obat yang diberikan kepada pasien sudah sesuai dengan indikasi medis pasien, tidak ada terjadinya interaksi antara obat dan tidak adanya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan sehingga terapi obat aman digunakan untuk pasien.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1       Kesimpulan
      Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan labor, Diagnosa utama demam tifoid dan diagnose sekunder menderita tonsilofaringitis dan intaks sulit. Tujuan dari penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk menurunkan demam, menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi, memperpendek jalannya penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah untuk tidak terjadinya kekambuhan kembali.
      Terapi yang diberikan dapat mengatasi tonsilofaringitis dan demam tifoid pasien dan mengatasi serta mencegah mual dan muntah pada pasien.
      Pada pasien yang diamati tidak terjadi reaksi yang tidak diinginkan atau efek samping yang disebabkan oleh penggunaan obat.
5.2 Saran
Disarankan pasien menjaga pola makan, istirahat atau mengurangi aktivitas (perbanyak istirahat), memperbanyak minum air putih, menjaga lingkungan sekitar tetap bersih.

BAB VI
EDUKASI

1.      Menjelaskan pada keluarga pasien cara pemakaian obat dan aturan pemakaiannya.
2.      Bila lupa minum obat, minum sesegera mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis berikutnya, kembali kejadwal semula dosis jangan di double.
3.      Menjelaskan pada pasien bahwa menyimpan obat pada tempat yang sejuk, kering dan terlindung dari cahaya matahari
4.      Istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak aktifitas
5.      Banyak minum air putih dan konsumsi sayur dan buah.
6.      Menjaga suhu tubuh
7.      Lingkungan sekitar rumah pasien harus dibersihkan agar penyebaran penyakit dapat terkontrol
8.      Banyak beribadah dan berdoa.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Soedarmo,Poorwo, Sumarmo. S. 2008. Demam tifoid: Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed II. Jakarta :Badan Penerbit IDAI. Halaman 338-344
2.        Rahajoe, Nastiti, N.dkk. 2008. Tonsilofaringitis Akut : Buku Ajar Respiologi anak. Ed. 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Halaman 288-239
3.        Anonim.. 2018/2019. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 18. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer. Halaman 8.
4.        Farmakope Indonesia. 1979. Ed III, Dapartemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
5.        Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th. The Pharmaceutical, Press, London.

Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Penatalaksanaannya

DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Dengue adalah virus penyakit yang ditularkan dari nyamuk Aedes Spp, nyamuk yang paling cepat berkembang di dunia. Ini telah menyebabkan hampoir 390 juta orang terinfeksi setiap tahunnya. Beberapa jenis nyamuk menularkan atau menyebarkan virus dengue ( Indrayani. 2018).

EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi dibeberapa negara lain di Asia Tenggara, diantaranya Hanoi (1958), Malayasia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengan tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimatan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada 1993 DBD telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah Thailand. Sejak 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan daerah Karibia ( Soedarmo, dkk. 2008).

ETIOLOGI
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviradae, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Kempat jenis serotipe virus dengue dapat dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat ( Soedarmo, dkk. 2008).

PATOFISIOLOGI
a.      Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan antara DD dengan DBd ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, tromobositopenia, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 lodine labeled human albumin  sebagaiindikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan penakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vascular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan terdapatnya edema ( Soedarmo, dkk. 2008).
      Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma.Pada masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit.Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastic.Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.Gambaran mikroskop electron biopsy kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vascular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar.Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamine atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia ( Soedarmo, dkk. 2008).
b.      Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD.Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok.Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotope membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa, dan hati.Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui, namun beberapa factor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinyaa perdarahan pada DBD ( Soedarmo, dkk. 2008).
c.       Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP).Penelitian lebih lanjut factor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas factor VII, menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan factor VIII. Hal ini diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisi.Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas á½±-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen ( Soedarmo, dkk. 2008).
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa (1) pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian, (3) Pendarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh factor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan factor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh factor DIC, terutama pada kasus syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik, (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang ( Soedarmo, dkk. 2008).
d.      Sistem Komplemen
Penelitiansistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan kadar C3, C3 proaktivator, C4, dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun tidak. Terdapat hubunganpositif antara kadar serum komplemen dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil penelitian radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik.Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1) 3.
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD ialah (1) ditemukannya kadar histamine yang meningkat dalam urin 24jam, (2) adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan derajat berat penyakit ( Soedarmo, dkk. 2008).
e.       Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat peningkatan limfosit atopic yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%).Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru (LPB).Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari demam keenam.Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue.Namun, antara hari kedua sampai dengan harri kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok.Berdasarkan uji diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%.Nilai titik potong itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non-dengue.Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran antara limfosit-B dan limfosit-T.definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.Kromosom inti kasar dan kadang-kadang didalam ini terdapat nucleoli.Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik.Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru ( Soedarmo, dkk. 2008).

PATOGENESIS
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologus infection hypothesis atau the sequential infection yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan- 5 tahun ( Soedarmo, dkk. 2008).
a.    Hipotesis Peningkatan Imunologis
Antibody yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibody yaitu (1) Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaann ini berdasarkan adanya virion determinant specificity ( Soedarmo, dkk. 2008).

MANIFESTASI KLINIS
                 Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demm tinggi, perarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah.Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dan DD tialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diastesis hemoragik ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar, dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena.Petekia haus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam.Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh.Epitaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatsi. Perdarahan lain, seperti pedarahan subkonjungtiva kadang-kadang ditemukan.pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki ( Soedarmo, dkk. 2008).
            Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari sakit ke 3-7.Hal ini dapat diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis.Pada sebagian besar kasus dtemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut.Anak tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalm fase syok.Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok ( Soedarmo, dkk. 2008).
     Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat, kecil sampai tidak dapat teraba.Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah.Syok harus segera diobati, apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat, tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolic, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat denga  prognosis buruk. Sebaliknya engan pengobatan yang tepat segra terjadi masa penyembuhan dengan cepat.Pasien membaik dalam 2-3 hari.Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik ( Soedarmo, dkk. 2008).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi.Jumlah trombosit <100.000 ditemukan anatar hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan meskipun tidak sehebat dalam kedaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah hipoproteinemia. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolic. Jumlah leukosit bervariasi antara leucopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat sementara ( Soedarmo, dkk. 2008).

DIAGNOSIS
Patokan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium ( Soedarmo, dkk. 2008).
·         Klinis : demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari, manifestasi pendarahan minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk pendarahan lain, pembesaran hati, syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), tekanan menurun, disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
·         Laboratorium : trombositopenia (<100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari nilai hematokrit >20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen ( Pudjiadi, dkk. 2009).
Menurut Pedoman Pelayanan Medis5diagnosis demam dengue dapat dilakukan sebagai berikut :
a.    Ananesis :
-   Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
-   Disertai lesu, tidak mau makan dan muntah
-   Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
-   Diare kadang – kadang dapat ditemukan
-  Perdarahan yang paling sering dijumpai adalahperdarahan kulit dan mimisan.
b.    Pemeriksaan fisis :
-  Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,  nyeri kepala,  nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis, nyeri dibawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD dan DBD.
-  Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
-  Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma, hipofolemia, dan syok.
-  Perembesan plasma menyebabkan ekstravasasi cairan kedalam rongga pleura dan rongga peritonial selama 24-48 jam.
-  Fase kritis hari ke 3-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
-  Perdarahan dapat berupa petekie, epistaksis, melena, atau hematoria.
c.    Tanda – tanda Syok
-  Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis.
-  Nafas cepat, nadi teraba lembut, kadang-kadang tidak teraba.
-  Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
-  Akral dingin, capilary refill menurun.
-  Deuresis menurun sampai anoria
d.   Pemeriksaan Penunjang
-  Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit, dan hitung jenis, hemokrit, trombosit. Pada asupan darah perifer juga dapat dinilai limfosit darah biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD.
-  Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase konvalesens.
-  Pemeriksaan radiologi (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis):
-       Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
-       Kelainan radiologi dilatasi pembuluh darah baru terutama di daerah hilus kanan, hemithoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan dari kiri, dan efusi pluera.
-       USG : efusipluera, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan vesica urinaria ( Sukandar, dkk. 2008).
Menurut WHO (1975) derajat penyakit DBD terbagi dalam 4 derajat3
Derajat
Gejala
Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positif.
Derajat II
Derajat I disertai perdarahn spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
Derajat III
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemut, tekanan nadi menurun atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah.
Derajat IV
Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.

TATALAKSANA
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/ gejalanya tidak spesisifk, oleh karena itu masyarakat diharapkan untuk waspada jika melihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan gejala awal perjalanan penyakit DBD .tanda/ gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, teus-menerus badan lemah, dan anak tampak lesu. Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok, muntah terus-menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak hitam, maka pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan). Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet : apabila uji tourniquet positif lanjutkan dengan pemeriksaan trombosit, apabila trombosit <100.000 pasien diawat untuk observasi. Apabila uji tourniquet postif dengan jumlah trombosit >100.000 atau normal atau uji tourniquet negative, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun.Nilai gejala klinis dan lakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap kali selama anak masih demam. Bila terjadi penurunan kadar Hb dan atau peningkatan kadar Ht, segera rawat. Bila klinis menunjukkan tanda-tanda syok seperti anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, muntah, lemah, dianjurkan segera dibawa berobat ke dokter atau ke puskesmas, dan rumah sakit.

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD deajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan dibawah.Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/ hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, the manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik diberikan bila suhu >38,5oC.pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infuse NaCl 0,9% : Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai dengan berat badan. Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setaip 6-12 jam.Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui pmbesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan berhubungan dengan perdarahan saluran cernaa. Dieresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratories, anak dapat dipulangkan: tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infuse cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan (Soedarmo, dkk. 2008).


Pada DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus-menerus selama <7hari tanpa sebab yang luas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit <100.000 dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/Nacl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ Nacl 0,9% 6-7 mL/kgBB/jam (Soedarmo, dkk. 2008).
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin (Soedarmo, dkk. 2008).
(1)     Segera beri infus kristaloid 20ml/kgBB secepatnya, dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derjat IV, nadi tidak teraba dan tensi tidak terukur), diberikan ringer laktat 20mL/kgBB bersama koloid. Observasi tensi dan nadi tidap 15 menit hematokrit dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
(2)     Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum dilanjutkan20mL/kgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 1—20mL/kgBB, maksimal 30mL/kgBB. Obsevasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dan gula darah.



Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien, serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama, kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari table berikut3 :
Berat Badan (kg)
Jumlah Cairan (mL)
10
100 per kg BB
10-20
1000+ 50 x kg (diatas 10kg)
>20
1500+ 50 x kg (diatas 20kg)

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/ lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000 dan cenderung menigkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (Soedarmo, dkk. 2008).

SUMBER:

Indrayani A Yoeyoen, Tri Wahyudi, 2018, InfoDATIN: Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kemenkes RI, Halaman 1
Pudjiadi Antonius H. dkk. 2009. Infeksi Virus Dengue: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. Halaman141-149
Soedarmo, P. S.dkk. 2008.Infeksi Virus Dengue. Dalam : S P Soedarmo, H Gama, R S Hadinegoro: Buku Ajar Infeksi dan Pediatri. Jakarta: Balai Penerbit: IDAI. Halaman 155-179, 338-345