BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Demam Tifoid
Demam
tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan
invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari
hati, limfa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch 1.
Demam
tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara
berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di
Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang
lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan1.
Salmonella typhi
sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik1.
1.2
Tonsilofaringitis
Tonsilofaringitis
akut faringitis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada anak.
Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi
atau derajat beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak berusia di
bawah 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai
puncaknya pada usia 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insiden faringitis
streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang pada usia dibawah 3 tahun
dan sebanding antara laki-laki dan perempuan.
Faringitis
dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu, diperlukan strategi
untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat membedakan pasien-pasien
yang membutuhkan terapi antibiotik dan mencegah serta meminimalisir penggunaan
medikamentosa yang tidak perlu2
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Demam
Tifoid
2.1.1
Definisi
Demam
tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai dengan panas berkepanjangan, ditopang
dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan
invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari
hati, limfa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch 1.
2.1.2
Epidemiologi
Demam
tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting diberbagai negara
berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum
klinisnya sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/ tahun di
Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang
lebih sama juga di laporkan dari Amerika Selatan1.
2.1.3
Etiologi
Salmonella
typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai
flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R
yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik 1.
2.1.4
Patogenesis
Patogenesis
demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu
(1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s
patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfafatikus
mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial, (3)
bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin
yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal 1.
2.1.5
Manifestasi
klinis
Pada
anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara
10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis
ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus
dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi
dan imunologik penderita serta lama sakit dirumahnya 1.
Semua
pasien tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian
antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap setiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan
bertahan tinggi dan pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis,
kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan
lunak, maka demam akan menetap. Banyak orangtua pasien demam tifoid melaporkan
bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada
saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem
saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delerium atau obtundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apati sampai koma 1.
Gejala
sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokkan. Pada kasus
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit
berat. Bahkan dapat dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok
hipofolemik sebagai akibat masukkan cairan makanan. Gejala gastrointestinal
pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare,
obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.
Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan barat, pada anak
Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali 1.
Rose
spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm,
seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ektremitas, dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam
ini muncul pada hari ke-7 sampai 10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis
banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap
sebagai bagian dari demam tifoid. Bradikardi jarang dijumpai pada anak 1.
2.1.6
Diagnosis
Uji
serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40
dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 95%. Artinya hasil
tes positif, 96% kasus benar sakit tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan 1.
2.1.7
Tatalaksana
Sebagian
besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,
elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit
dapatdilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama
karena pada dasarnya patogenesis infeksi salmonella typhi berhubungan dengan
keadaan bakteriemia1.
Kloramfenikol
merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang
diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14
hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus minggu untuk
osteomielits akut, dan 4 minggu untuk meningitis1.
Ampisilin
memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 kali pemberian peroral memberikan hasil yang setara dengan
kloramfenikol walaupun penurunan demam lenih lama.Kombinasi trimethoprim
sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan
kloramfenikol.Dosis yang dilanjutkan adalah TMP 10mg/kg/hari atau SMZ
50mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.Pemebrian sefalosporin generasi ketiga
seperti seftriakson 100mg/kg/hari dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari)
selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis
efektif pada isolate yang rentan. Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan
untuk anak.Akhir-akhir ini cefixime oral 1—15mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat
diberikan sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukosit <2000 atau
dijumpai resistensi terhadap S.typhi1.
Pada
demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma, dan shock,
pemberian deksametason intraven (3mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis
awal) dilanjukan dengan 1mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.Disamping antibiotic
yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.Demam
tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan tranfusi
darah.Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum
dan udara bebas pada foro abdomen dapat membantu menegakkan
diagnosis.Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai
oenambahan antibiotic metronidazol dapat memperbaiki prognosis.Reseksi 10cm
disetiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup.
Transfuse trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yag dianggap
cukup berat hingga menyebabkam perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang
masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah1.
Ampisilin (atau
amoksisilin) dosis 40mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah dengan
probenecid 30mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila
terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil,
kolesistektomi dianjurkan setelah pemebrian antibiotik (ampisilin
200mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari, setelah kolesistektomi
dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30
hari. Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus
demam tifoid serangan pertama1.
2.2
Tonsilofaringitis
2.2.1
Definisi
Faringitis
akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termasuk
tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis
merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di
sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang
terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian
faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis dan
tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan
keluhan nyeri tenggorokan. Faringitis streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi
akut orofaring dan nasofaring oleh SBHGA2.
2.2.2
Etiologi
Berbagai bakteri dan
virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai manifestasi
tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi
terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤ 3 tahun (prasekolah).
Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus,
Rhinovirus dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab
faringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi
disertai dengan gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan
limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella dan
berbagai virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut2.
2.2.3
Patogenesis
Nasofaring
dan orofaring ada;ah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa
nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi
seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga
penularan melalui makanan.
Infeksi
jarang terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun, mungkin karena kurang kuatnya
SBGH melekat pada sel-sel epitel. Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan
organisme beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi
SBHGA lebih jarang pada kelompok ini.
Faringitis
akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antaranya penyebab bakteri tersebut,
SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dab D telah terbukti
dapat menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan
(foodhome) dan air (waterborne) yang terkontaminasi.
Saat
ini faringitis difetri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini terutama
terjadi pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari kelompok sosial
ekonomi rendah. Bakteri ataupun virus
dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon
peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat
sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula dan
palatum mole. Perjalanan penyakit ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di
faringyang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring,
tonsil atau keduanya. Infeksi Streptokokus di tandai dengan invasi lokal serta
toksin ekstraselular dan protase. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang
pendek, yaitu 24-72 jam2.
2.2.4
Manifestasi
klinis
Gejala faringitis yang
khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokan dengabn awitan
mendadak , disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya dikeluhkan oleh
anak berusia diatas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang
mencapai suhu 40oC, beberapa jam kemudian terdapat nyeri
tenggorokan. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjutivitas, dan diare biasanya disebabkan oleh virus.
Kontak dengan pasien ranitis juga dapat ditemukan anamnesia.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua
pasien tonsilofaringitis akut streptococcus menunjukkan tanda infeksi
streptococcus , yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai dengan
pembesaran tonsil.
Faringitis
streptococcus sangat mungkin jika
dijumpai gejala dan tanda berikut:
-
Awitan akut, disertai mual dan muntah
-
Faring hiperemia
-
Demam
-
Nyeri tenggorokan
-
Tonsil bengkak dengan eksudasi
-
Kelenjer getah bening leher anterior
bengkak dan nyeri
-
Ovula bengkak dan merah
-
Ekskoriasi hidung disertai lesi imperigo
sekunder
-
Ruam skarlatina
-
Petekie palatum mole
Akan tetapi penemuan
tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis streptococcus , karena dapat
juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain. ,sedangkan bila dijumpai
tanda dan gejala berikut ini , maka kemungkinan besar bukan faringitis
streptococcus:
-
Usia dibawa 3 tahun
-
Awitan bertahap
-
Kelainan melibatkan beberapa mukosa
-
Konjutivitis, diare, batuk, pilek, suara
serak
-
Menki, ronki diparu
-
Eksantem ulseratif
Tanda khas
faringitis difteri adalah membran asimetris , mudah berdarah, dan bewarna
kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meuas dari batas anterior tonsil
hingga ke palatum mole dan atau ke ovula.
Pada faringitis difteri akibat virus, dapat
juga ditemukan ulkus dipalatum mole dan dinding faring serta eksudat dipalatum
dan tonsil , tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada faringitis
streptococcus. Gejala yang muncul dapat menghilang dalam waktu 24 jam.,
berlangsung 4-10 hari, jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis
yang baik2.
2.2.5
Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
labolatorium. Sulit untuk membedakan antara faringitis streptococcus dan
faringitis virus hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas
penegakan diagnosis faringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan
kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil
diperlukan untuk penegakan adanya S.
Pyogenes. Untuk memaksimalkan akurasi, maka diambil apusan dari dinding
faring posterior dan regio tonsil, lalu diinokulasikan pada media agar darah
domba 5%dan piringan basitrasin
diaplikasikan, kemudian tunggu selama 24 jam2 .
Pada saat ini terdapat
metode yang cepat untuk untuk mendeteksi antigen streptococcus grup A (rapid
antigen detection test). Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat
diketahui dalam 10 menit, sehingga metode ini dapat digunakan sebagai pengganti
kultur. Secara umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok
seharusnya dikiltur pada dua cawan agar
darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk S. Pyogenes.
Pemeriksaan kultur dapat membantu mengurangi pemberian antibiotik yang tidak perlu
pada pasien faringitis2
.
2.2.6 Tatalaksana
Usaha untuk membedakan
faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian antibiotic sesuai
indikasi.faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang
memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotic(selain
difteri yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae).
Pemberian antibiotic
tidak diperlukan pada faringitis virus,
karena
tidak akan mempercepat waktu penyembuhan
atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan pemberian cairan sesuai merupakan
terapi suportif yang dapat diberikan. Selain itu,
pemberian
gargles (obat kumur) dan
lozenges (obat hisap),
Pada
anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih
atau demam,dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza, karena insidenssindrom reye kerap
terjadi2 .
2.2.7
Terapi antibiotic
Pemberian antibiotic
pada faringitis harus berdasarkan pada gejala klinis dan hasil kultur positif
pada pemeriksaan usapan tenggorokan. Akan tetapi, hingga saat ini masih
terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis akut. Salah satu penyebabnya adalah
terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis akut streptococcus, dan
memberikan antibiotic karena khawatir dengan salah satu komplikasinya, berupa
demam reumatik.
Antibiotic
pilihan pada terapi faringits akut streptokokus grup A adalah penisilin V oral
15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin penisilin G IM
dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU ( BB<30kg)dan 1.200.000 IU(BB<30
kg). Amoksilin dapat digunakan sebagai
pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil, karena
selain efeknya sama, amoksisilin
juga memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari,efektivitasnya sama
dengan penisilim V oral selama 10 hari. Untuk anak yang alergi penisilin dapat
diberikan eritromisin etilsuksinat 40 mg/kgBB/hari, eritromisin estolat 20-40
mg/KgBB/hari,dengan pemberian 2,3, atau 4 kali per hari selama 10 hari: atau
dapat juga diberikan makrolid baru misalnya azitromisin dengan dosis tunggal 10
mg/kgBB/Hari, selama 3 hari berturut-turut.antibiotik golongan sefalosforin
generasi I dan II dapat juga memberikan efek yang sama,tetapi pemakainnya tidak
dianjurkan,karena selain mahal risiko resistensinya juga lebih besar2 .
Kegagalan
terapi adalah terdapatnya streptococcus persisten setelah terapi selesai. Hal
ini terjadi pada 5-20% populasi , dan
lebih banyak pada populasi dengan pengobatan pada penisilin oral dibandingkan
dengan suntik. Penyebabnya karena terdapat komplians yang kurang, infeksi ulang
atau adanya flora normal yang memproduksi beta laktamase. Kultur ulang apusan
tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan resiko tinggi, misalnya pada
pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi streptococcus yang berulang.
Apabila
hasil kultur kembali positif, beberapa perpustakaan menyarankan terapi kedua, dengan
pilihan obat clindamisin 20-30 mg/kgBB/ hari selama 10 hari., amoksisilin
–kluvanat 40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari. Atau injeksi
benzathine penicilin G intramuskular , dosis tunggal 600.000 IU (BB<30 kg)
atau 1.200.000 IU (BB>30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapim kedua kultur
tetap positif, kemungkinan pasien merupakan pasien carier, yang memiliki resiko
ringan terkena demam reumatik . golongan tersebut tidak memerlukan terapi
tambahan2 .
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1.
Data Base Pasien
Nama : An. HI
No MR :
00062XXX
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
JL;Alamat : JL. Kirab Remaja No.239 Tembok,
Campago Ipuh,
Mandiangin, Koto Sanayan, Kota Bukitinggi, Sumatera
Barat
Agama : Islam
Berat badan : 16 kg
Tanggal masuk : 06 Juli 2019
3.2.Anamnesa
Seorang pasien An. HI berjenis kelamin perempuan berumur 4 tahun masuk
RSSN Bukittinggi pada tanggal 06 Juli 2019dengan keluhan utama demam 7 hari yang lalu.
3.2.1. Riwayat
penyakit sekarang
Seorang pasien dengan
keluhan utama demam 7 hari yang lalu naik turun, pasien batuk berdahak, pasien mengalami mual dan muntah, nafsu makan pasien berkurang, pasien susah BAB dan BAK pasien normal, Pasien tidak
mengalami mimisan, gusi pasien tidak berdarah , pasien tidak pilek dan pasien telah meminum obat amoxicilin sejak hari pertama demam.
3.2.2. Riwayat
penyakit sebelumnya
Pada tanggal 1
Februari 2015 pasien mengalami demam sejak jumat malam, masih minum ASI, tidak
pilek, tenggorokan tampak memerah, tidak muntah, BAB dan BAK normal. Dari
diagnosa dokter diketahui bahwa pasien mengalami ISPA dan obstruksi febris.
3.3.Pemeriksaan
Fisik
3.3.1. Di
IGD
-
Keadaan
umum : Sedang
-
Nadi : 96x/menit
-
Nafas : 20x/menit
-
Suhu : 39oC
-
Tingkat
kesadaran : Compos Mentis
-
GCS : E4M6V5=
15
3.3.2. Di
ruang rawat inap
Parameter
|
06-06-
2019
|
07-06-2019
|
08-06-2019
|
08-06-
2019
|
10-06-
2019
|
Kondisi Umum
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Sedang
|
Kesadaran
|
Compos Mentis
|
Compos Mentis
|
Compos Mentis
|
Compos Mentis
|
Compos Mentis
|
Nadi
|
96 x/i
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Nafas
|
20xmenit
|
20x/menit
|
-
|
-
|
-
|
Suhu (oC)
|
39 oC
|
36 oC
|
37 oC
|
36,3 oC
|
36,2 oC
|
3.4.Pemeriksaan
Penunjang
-
DL
-
Tes
Widal
3.5.Pemeriksaan
Labolatorium
3.5.1.
Pemeriksaan Darah Lengkap
Hematology
|
Hasil
6-6-2019
|
Hasil
10-6-2019
|
Nilai normal
|
WBC
|
13,84 x 103
/µL
|
7,72
x 103 /µL
|
4,4-11,3
x 103 /µL
|
RBC
|
4,16 x 106/µL
|
4,07
106/µL
|
4,1-5,1x
106/µL
|
Hemoglobin
|
11,5 g/ dl
|
11,4 g/dl
|
12,0-14,5 g/dl
|
HCT
|
34,7 %
|
33,9
%
|
25-45
%
|
MCV
|
83,3 fl
|
83,2fl
|
80-96
fl
|
MCH
|
27,6 pg
|
28,0
pg
|
28-33
pg
|
MCHC
|
33,2 g/dl
|
33,7
g/dl
|
33-36
g/dl
|
PLT
|
328 x 103/uL
|
150
– 450 x 103/uL
|
|
RDW
|
11,8
|
11,8
|
11,5-14,5
|
Basofil
|
0,2%
|
0-1%
|
0-1%
|
Eusinofil
|
0,2%
|
3,0%
|
0-4%
|
Neutrofil
|
71,9%
|
30,4%
|
55-80%
|
Limfosit
|
21,6%
|
63,7%
|
22-44%
|
Monosit
|
4,3%
|
2,7%
|
0,7%
|
Salmonella typhi O
|
1/80
|
-
|
1/160
|
Salmonella typhi H
|
Negatif
|
-
|
1/160
|
3.5.2.
Pemeriksaan Urin Lengkap
Hematology
|
Hasil
(7-6-2019
|
Hasil
10-6-2019)
|
Nilai normal
|
Warna
|
Kuning
|
Kuning
|
Kuning
|
kejernihan
|
Jernih
|
Jernih
|
Jernih
|
Berat jenis
|
1,015
|
1,005-1,030
|
1,015
|
pH
|
6,5
|
4,6-8,0
|
6,5
|
Protein(albumin)
|
Trace
|
Negatif
|
Negatif
|
Glukosa
|
Negatif
|
Negatif
|
Negatif
|
Leukosit(esterase)
|
Negatif
|
Negatif
|
Negatif
|
Nitrit
|
Negatif
|
Negatif
|
Negatif
|
Keton
|
Positif (+2)
|
Negatif
|
Negatif
|
Urobilinogen
|
Normal
|
Negatif
|
Negatif
|
Bilirubin
|
Negatife
|
Negatif
|
Negatif
|
Blood
|
Positif (+1)
|
Negatif
|
Negatif
|
Leukosit
|
2-4
|
Pr:
0-15
|
Negatif
|
Eritrosit
|
10-13
|
0-2
|
-
|
Epitel
|
(+1) gepeng
|
45
|
-
|
Kristal
|
Negatif
|
Negative
|
-
|
Silinder
|
Negatif
|
0-1
|
-
|
3.6.Diagnosa
Kerja di IGD
-
Fibris
7 hari ex. Suspect fever tifoid
-
leukositosis
3.7.
Terapi/Tindakan
3.7.1.
Di IGD (tanggal 6 Juli 2019)
-
IVFD
KAEN IB + KCL 10 mg
-
Cefiksim
sirup 2 x 80 mg cth
-
Paracetamol
sirup 4x1 cth
-
Ambroxol
8 mg dan Clorfeniramin maleate 1,6 mg S3ddp1
-
Domperidone
sirup 3x1/2 sendok teh
3.7.2.
Diruang rawat inap ( dari tanggal 6 sampai 9
Juli 2019)
No
|
Nama Obat
|
Aturan Pakai
|
Rute
|
Waktu Pemberian
|
||||||||||||||||
6-6-2019
|
7-6-2019
|
8-6-2019
|
9-6-2019
|
|||||||||||||||||
8
|
12
|
20
|
24
|
8
|
12
|
20
|
24
|
8
|
12
|
20
|
24
|
8
|
12
|
20
|
24
|
|||||
1.
|
IVFD Ka-En
1B + KCl 10 Meq
|
/12jam
|
Infus
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|||||||||||||
2.
|
Abroxol 8
mg + CTM 1,6 mg
|
2 x 1
|
Intra Vena
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||||||
3.
|
Cefixime
syr 100mg/5ml
|
2 x 80 mg
|
Per Oral
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||||||||||
4.
|
Paracetamol
syr 120mg/5ml
|
4 x 1 1/2
|
Per Oral
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|||
5.
|
Domperidone
5mg/5ml
|
3x 1/2
|
Per Oral
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||||||||
3.7.3.
Obat yang dibawa pasien pulang
-
Cefixim
sirup 2 x 80 mg
3.8.Follow
Up Pemakaian Obat
Tanggal
|
Keterangan
|
|
06 Juli 2019 (12.20)
|
S
|
Demam tinggi sejak 7 hari, pasien mengalami
batuk, pasien mual, pasien sulit menelan, nafsu makan pasien berkurang.
|
O
|
-
Kondisi umum:
sakit sedang
-
Suhu: 39OC
-
Nadi: 96 x/menit
-
Nafas: 24 x/menit
-
Berat badan: 16
kg
-
Faring hiperemis T2-T2
-
Tidak Hiperemis
coated tongue
-
Tidak ada NT
epigastrik
-
Adanya bising
usus
-
Mengalami
hipertimpani
-
Leukosit 13.800/m3
-
Widal 1/80
|
|
A
|
Fibris 7 hari ex. Suspect demam tifoid
Mengalami tonsilofaringitis
Intake sulit
|
|
P
|
-
IVFD KAEN IB +
KCL 10 μg/kolt 11 gittae /menit (makro)
-
Cefixim sirup 2 x
80 mg
-
Paracetamol sirup
4x1 1/2 cth
-
Domperidone sirup
3x1/2 sendok teh
-
Ambroxol 8 mg
-
Clorfeniramin
maleate 1,6 mg
-
ML DSC 1300 Kkal
-
Cek urin
|
|
07
Juli 2019
|
S
|
Pasien tidak demam
Sakit menelan berkurang
Nafsu makan kurang
|
O
|
Faring, hipermis, tonsil : T2-T2 hipermis
Kesadaran umum : sedang
Suhu : 36oC
|
|
A
|
Tonsilofaringitis disertai dengan intake sulit
|
|
P
|
-
|
|
08
Juli 2019
|
S
|
Demam mulai turun, nafsu makan bertambah,
masih kurang BAB sejak 6 hari
|
O
|
-
Kesadaran umum: sedang
-
Suhu : 37oC
-
Faring hipermis
berkurang
-
T2-T2 hipermis
-
Ada NT epigastric
-
Mengalami scibala
|
|
A
|
Perbaikan obstipasi
|
|
P
|
Terapi diteruskan
-
Ditambah dulcolac
pediatri
-
Senin cek ulang
DL+ Widal + ML
|
|
09
Juli 2019
|
S
|
Ibu menyatakan demam anak sudah mulai menurun.
|
O
|
Pasien tampak letih, diet habis setengah
porsi
|
|
A
|
Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
|
P
|
-
Kontrol Tanda
Vital
-
Anjurkan pasien
makan sedikit tapi sering
-
Motivasi pasien
untuk menghabiskan diet
-
Anjurkan pasien
makan selagi hangat
|
|
10
Juli 2019
|
S
|
Sudah tidak demam
|
0
|
-
Kesadaran umum:
sedang
-
Suhu : 36,2 oC
|
|
A
|
Perbaikan
|
|
P
|
Dilanjutkan
resep pulang
|
BAB IV
DISKUSI
4.1
Analisa Drug Related Problem
No.
|
Drug Therapy
Problem
|
Chck List
|
Rekomendasi
|
1
|
Terapi obat
yang tidak diperlukan
|
-
|
|
Terdapat
terapi tanpa indikasi medis
|
-
|
Semua
indikasi medis sudah diberikan terapi
- Infus Kaen IB + KCl diberikan
(untuk membantu menyalurkan atau mengganti cairan dan elektrolit)
-
Ambroxol 8 mg & CTM 1,6 mg untuk mengobati batuk dan sebagai antihistamin.
- Paracetamol sirup untuk
menurunkan suhu tubuh
-
Domperidone sirup ( meredakan mual dan muntah)
-
Cefixime sirup sebagai antibiotic untuk menghambat
invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.
|
|
Pasien
mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan
|
-
|
Pasien
mendapatkan terapi sesuai dengan kondisi yang diperlukan
|
|
Pasien masih
memungkinkan menjalani terapi non farmakologi
|
√
|
Masih bisa
menjalani terapi non farmakologi dengan cara istirahat yang banyak, banyak
minum air putih,
|
|
Terdapat duplikasi
terapi
|
-
|
Tidak terdapat
duplikasi terapi
|
|
Pasien
mendapat penanganan terhadap efek samping yang seharusnya dapat dicegah
|
-
|
Pasien tidak
merasakan adanya efek samping sehingga tidak ada permasalahan
|
|
2
|
Kesalahan obat
|
||
Bentuk sediaan
tidak tepat
|
-
|
Sediaan sudah
tepat karena pasien dapat menelan dengan baik
|
|
Terdapat
kontra indikasi
|
-
|
Tidak terdapat
kontaindikasi
|
|
Kondisi pasien
tidak dapat disembuhkan oleh obat
|
-
|
Kondisi pasien
dapat disembuhkan dengan obat karena semakin hari keadaan pasien makin
membaik
|
|
Obat tidak
diindikasikan untuk kondisi pasien
|
-
|
Semua obat
sesuai dengan kondisi pasien
|
|
Terdapat obat
lain yang lebih efektif
|
-
|
Obat yang
diberikan kepada pasien sudah efesien
|
|
3
|
Dosis tidak tepat
|
||
Dosis terlalu
rendah
|
-
|
Sudah tepat
dosis :
-
Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-
Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-
Domperidone sirup (3x ½ Cth)
-
Cefixime sirup (2x80mgsehari)
|
|
Dosis terlalu
tinggi
|
-
|
Sudah tepat
dosis :
-
Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-
Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-
Domperidone sirup (3x ½ Cth)
-
Cefixime sirup (2x80mgsehari)
|
|
Frekuensi
penggunaan tidak tepat
|
-
|
Frekuensi
penggunaan sudah tepat :
-
Paracetamol sirup (4x1½ Cth)
-
Ambroxol & CTM ( S3ddp1)
-
Domperidone sirup (3x ½ Cth)
-
Cefixime sirup (2x80mg sehari)
|
|
Penyimpanan
tidak tepat
|
-
|
Penyimpanan sudah tepat karena disimpan pada
suhu kamar
|
|
Administrasi
obat tidak tepat
|
-
|
Administrasi
obat sudah tepat
|
|
Terdapat
interaksi obat
|
-
|
Tidak ada
permasalahan tentang interaksi obat pada tereapi obat yang diberikan kepada
pasien
|
|
4
|
Reaksi yang tidak diinginkan
|
||
Obat tidak
aman untuk pasien
|
-
|
Obat aman
untuk pasien karena pasien tidak ada mengeluhkan tentang reaksi alergi
ataupun adanya efek yang tidak diinginkan
|
|
Terjadi reaksi
alergi
|
-
|
Tidak terdapat
reaksi alergi yang ditunjukkan oleh tubuh pasien
|
|
Terjadi
interaksi obat
|
-
|
Tidak ada
permasalahan tentang interaksi obat pada terapi obaty ang diberikan kepada
pasien
|
|
Dosis obat
dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
|
-
|
Tidak ada obat
yang dinaikkan ataupun diturunkan dosisnya
|
|
Muncul efek
yang tidak diinginkan
|
-
|
Tidak ada
muncul efek yang tidak diinginkan jadi tidak ada permasalahan
|
|
Administrasi
obat yang tidak tepat
|
-
|
Administrasi
obat sudah tepat
|
|
5
|
Ketidak sesuaian kepatuhan pasien
|
||
Obat tidak
tersedia
|
-
|
Semua obat
tersedia di apotek rawat inap
|
|
Pasien tidak
mampu menyediakan obat
|
-
|
Pasien mampu
untuk menyediakan semua obat
|
|
Pasien tidak
bisa menelan atau menggunakan obat
|
-
|
Pasien masih
bisa menelan obat dengan baik
|
|
Pasien tidak
mengerti intruksi penggunaan obat
|
-
|
Keluarga sudah
mengerti dengan cara penggunaan obat dan diibantu dengan bantuan keluarga
pasien.
|
|
Pasein tidak
patuh atau memilih untuk tidak menggunakan obat
|
Pasien patuh
dalam menggunakan obat setiap diberikan obat oleh TTK (siang dan malam hari)
atau perawat (pagi hari)
|
||
6
|
Pasien membutuhkan terapi tambahan
|
||
Terdapat
kondisi yang tidak diterapi
|
-
|
Semua kondisi
pasien telah diberikan terapi obat
|
|
Pasien
membutuhkan obat lain yang sinergis
|
-
|
Pasien sudah
mendapatkan obat yang sinergis
|
|
Pasein
membutuhkan terapi profilaksis
|
-
|
Pasien telah
mendapatkan terapi profilaksis
|
ü Perhitungan Dosis
Ø Paracetamol Sirup (120mg/5ml)1
Dosis
Lazim paracetamol : 10 mg-15mg/kgBB
Berat
badan pasien 16 kg. Jadi dosis untuk anak berat badan 16 kg adalah :
·
10 mg-15 mg/kgBB X 16 kg = 160 mg-240 mg
(1xP)
-
Dosis sehari : 160 mg-240 mg x 4 kali = 640
mg- 960 mg
-
Untuk 1 kali pakai = 7,5ml/5ml x 120 mg
= 180 mg (aman)
-
Untuk dosis sehari = 180 mg x 4 kali =
720 (aman)
Paracetamol
yang diterima pasien masih aman dan berada di rentang dosis anak dengan berat
badan 16 kg
Ø Domperidon sirup (5mg/5ml)3
Dosis Lazim domperidon
untuk anak – anak 0,25 – 0,5 mg/kgBB
Berat badan anak 16 kg
Perhitungan : Berat
Badan x Dosis Lazim
= 16 kg x
( 0,25 – 0,5 ) mg/kgBB
= 4 mg – 8
mg
-
Untuk 1 kali pakai = 2,5ml/5ml x 5 mg =
2,5 mg (aman)
-
Untuk sehari pakai = 2,5 x 3 kali = 7,5
mg (aman)
Dosis domperidon sirup
yang diberikan dokter berdasarkan perhitungan dosis lazim domperidon aman untuk
pasien.
Ø Cefixime sirup (100mg/5ml)1
-
Pasien diberikan cefixime sirup 2 x 80
mg
Jadi,
80mg/100mg x 5 ml = 4 ml/kali
Dosis Lazim Cefixime
untuk anak – anak 1 - 15 mg/kgBB
Berat badan anak 16 kg
Perhitungan : Berat
Badan x Dosis Lazim
= 16 kg x
(1 - 15) mg/kgBB
= 16 mg –
240 mg
-
Untuk 1 kali pakai = 4ml/4ml x 80 mg =
80 mg (aman)
-
Untuk sehari pakai = 80 x 2 kali = 160
mg (aman)
Dosis
cefixime sirup yang diberikan dokter berdasarkan perhitungan dosis lazim masih
masuk dalam rentang sehingga cefixime sirup aman untuk pasien.
Ø CTM (-/40mg)4
-
Pasien diberikan CTM 1,6 mg
Umur
anak 4 tahun
-
Untuk sehari pakai = 4/4+12 x 40 mg = 10
mg (aman)
-
Dalam % 1xh = 4,8 mg/10 mg x 100% =
48% (aman)
Ø Ambroxol (1,2mg-1,6mg/hari)5
-
Pasien diberikan ambroxol 8 mg mg
Umur
anak 4 tahun
-
Dosis lazim untuk anak (1,2-1,6 mg) /
kgBB / hari
-
(1,2 mg- 1,6 mg)/ kgBB X 16 Kg = 19,2 mg
-25,6 mg
-
1x P = 8 mg
-
1hp = 8 mg X 3
= 24 mg
-
% 1hp = 24 mg/25,6 mg X 100% = 93,75 % (aman)
Dosis yang diberikan
untuk CTM dan Ambroxol aman dan sudah tepat
4.2
Pembahasan
Seorang pasien anak-anak berumur 4 tahun
masuk Rumah Sakit Stroke melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada
tanggal 06 juni 2019 pukul 08:00 WIB. Pasien masuk dengan keluhan
utama Demam tinggi onset ± 7 harinaik
turun sebelum masuk rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan fisik umum didapat
keadaan umum pasien sedang, glasgow Coma Scale (GCS) E4 M6 V5, Kesadaran Compos Mentis, frekuensi
Nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, suhu 39° C. Hasil pemeriksaan
laboratorium pada tanggal 06 juni 2019 diperoleh hasil WBC 13,84 x 103/µL
(normal 4,4-11,3 x 103/µL), RBC 4,16 x 106/µL (normal 4,1-5,1x 106/µL),
Hgb 11,5 g/dL (normal 12,0-14,5 g/dL), dan PLT 328 x 103/uL (normal
150- 450 x 103/ µL), Hct 34,7% (normal 25-45%).
Terapi yang diberikan kepada pasien di IGD adalah
IVFD Kaen IB + KCl, Cefixime sirup 2 x 80 mg,
paracetamol sirup 4x 11/2 Cth,
ambroxol 8 mg dan CTM 1,6 mg S3ddp1, domperidone sirup 3x
½ Cth. Tujuan
dari penatalaksanaan pada demam tifoid adalah untuk menurunkan demam,
menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi,
memperpendek jalannya penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah
untuk tidak terjadinya kekambuhan kembali.
Pada
tanggal 06 Juni 2019 kemudian pasien dipindahkan ke ruang anak IRNA A dan didiagnosa demam tifoid dan tonsilofaringitis,
untuk terapi demam tifoid
diberikan terapi Infus
Kaen IB + KCl
diberikan untuk membantu menyalurkan atau mengganti cairan dan
elektrolit, Ambroxol 8 mg & CTM 1,6 mg 93 kali sehari satu
bungkus) untuk mengobati batuk dan sebagai antihistamin,
Paracetamol
sirup untuk menurunkan suhu tubuh, Domperidone sirup
meredakan mual dan muntah, Cefixime sirup sebagai antibiotik untuk menghambat
invasi bakteri Salmonella typhi tifoidnya.
Untuk pengobatan
tonsilofaringitis diberikan paracetamol sirup untuk mengurangi rasa nyeri dan
diberikan cefixime sirup sebagai terapi antibiotic pada tonsilofaringitis.
Sehingga cefixime sirup dapat digunakan sebagai terapi antibiotic demam tifoid
dan tonsilofaringitis karena demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhi yang
merupakan bakteri gram negative dan tonsilofaringitis biasanya disebabkan oleh
streptococcus yang merupakan gram negative sehingga bisa digunakan golongan
sefalosforin generasi III yaitu cefixime untuk mengobati berbagai infeksi yang
disebabkan oleh bakteri.
Pada tanggal 08 Juni
2019 pasien mengeluh susah BAB sehingga diberikan Dulcolax pediatric untuk
memperlancar BAB pasien atau sebagai pencahar. Setelah 4
hari pasien dirawat di IRNA A ruangananak, pasien diperbolehkan pulang dengan kondisi
perbaikan. Pasien diberi obat pulang Cefixime sirup I 80 mg 2 x sehari
peroral.
Semua terapi obat yang diberikan kepada pasien
sudah sesuai dengan indikasi medis pasien, tidak ada terjadinya interaksi
antara obat dan tidak adanya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
sehingga terapi obat aman digunakan untuk pasien.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
• Berdasarkan
kasus di atas dapat disimpulkan bahwa dari data anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan labor, Diagnosa utama demam tifoid dan diagnose sekunder menderita
tonsilofaringitis dan intaks sulit. Tujuan dari penatalaksanaan pada demam
tifoid adalah untuk menurunkan demam, menghentikan invasi bakteri Salmonella Typhi, memperpendek jalannya penyakit,
mencegah terjadinya komplikasi, serta mencegah untuk tidak terjadinya
kekambuhan kembali.
• Terapi
yang diberikan dapat mengatasi tonsilofaringitis dan demam tifoid pasien dan
mengatasi serta mencegah mual dan muntah pada pasien.
• Pada
pasien yang diamati tidak terjadi reaksi yang tidak diinginkan atau efek
samping yang disebabkan oleh penggunaan obat.
5.2
Saran
Disarankan pasien menjaga pola makan,
istirahat atau mengurangi aktivitas (perbanyak istirahat), memperbanyak minum air putih, menjaga lingkungan
sekitar tetap bersih.
BAB
VI
EDUKASI
1.
Menjelaskan pada keluarga pasien cara
pemakaian obat dan aturan pemakaiannya.
2.
Bila lupa minum obat, minum sesegera
mungkin, tetapi bila dekat waktu dosis berikutnya, kembali kejadwal semula
dosis jangan di double.
3.
Menjelaskan pada pasien bahwa menyimpan
obat pada tempat yang sejuk, kering dan terlindung dari cahaya matahari
4.
Istirahat yang cukup dan jangan terlalu
banyak aktifitas
5.
Banyak minum air putih dan konsumsi
sayur dan buah.
6.
Menjaga suhu tubuh
7.
Lingkungan sekitar rumah pasien harus
dibersihkan agar penyebaran penyakit dapat terkontrol
8.
Banyak beribadah dan berdoa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soedarmo,Poorwo,
Sumarmo. S. 2008. Demam tifoid: Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed II. Jakarta :Badan Penerbit IDAI. Halaman 338-344
2.
Rahajoe,
Nastiti, N.dkk. 2008. Tonsilofaringitis Akut : Buku Ajar Respiologi anak. Ed.
1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Halaman 288-239
3.
Anonim.. 2018/2019. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 18. Jakarta : Bhuana Ilmu
Populer. Halaman 8.
4.
Farmakope Indonesia. 1979. Ed III, Dapartemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
5.
Sweetman, S et al. 2009. Martindale 36th.
The Pharmaceutical, Press, London.
No comments:
Post a Comment