Friday 2 October 2020

SPEKTROFOTOMETER UV-VIS

SPEKTROFOTOMETER UV-VIS

Spektrofotometer UV-Vis merupakan instrumen yang paling sering digunakan di laboratorium kimia analisis, salah satunya untuk menentukan konsentrasi suatu senyawa tunggal maupun campuran (Rohman, 2007).

1.      Prinsip Spektrofotometer UV-Vis

Prinsip kerja dari spektrofotometer UV-Vis adalah adanya interaksi antara radiasi pada rentang panjang gelombang 200-800 nm yang dilewatkan terhadap suatu senyawa. Elektron-elektron pada ikatan di dalam molekul menjadi tereksitasi sehingga menempati keadaan kuantum yang lebih tinggi dan dalam proses menyerap sejumlah energi yang melewati larutan tersebut. Semakin longgar elektron tersebut ditahan di dalam ikatan molekul, maka semakin panjang gelombang (energi lebih rendah) radiasi yang diserap (Watson, 2005).

Suatu spektrofotometer UV-Vis bekerja pada daerah panjang gelombang sekitar 200 nm (pada ultra-violet dekat) sampai sekitar 800 nm (pada infra-merah sangat dekat).

Tabel 1. Spektrum tampak dan warna-warna komplementer

Panjang Gelombang (nm)

Warna

Warna Komplementer

400-435

Violet

Kuning-hijau

435-480

Biru

Kuning

480-490

Hijau-biru

Orange

490-500

Biru-hijau

Merah

500-560

Hijau

Ungu

560-580

Kuning-hijau

Violet

580-595

Kuning

Biru

595-610

Orange

Hijau-biru

610-750

Merah

Biru-hijau

(Sumber : Underwood, A.L dan R.A. Day, 1986)       

Prinsip kerja cahaya yang terabsorbsi pada spektrofotometer UV-Vis digambarkan sebagai berikut.

   

Gambar: Prinsip kerja cahaya yang terabsorpsi

Po = Pa + Pt + Pr

Dimana:

Po = intensitas sinar yang masuk

Pa = intensitas sinar yang diabsorbsi

Pr = intensitas sinar yang dipantulkan

Pt = intensitas sinar yang diteruskan

Ketika panjang gelombang cahaya melalui larutan kimia yang diujikan, sebagian cahaya tersebut akan diabsorbsi oleh larutan. Berdasarkan hukum Lambert Beer’s (1852), secara kuantitatif absorbsi ini dinyatakan sebagai berikut :

       Log I0  /  IT =  ε .  L . C

Dimana:

I0 = Intensitas cahaya sebelum melewati sampel

IT = Intensitas cahaya setelah melewati sampel

ε =  Koefisien ekstingsi, konstanta yang tergantung dari senyawa substansi dan

                   panjang gelombang yang digunakan untuk análisis

L = Panjang atau jarak cahaya yang melewati sampel

C = Konsentrasi dari larutan yang dianalisa

2.      Instrumen Spektrofotometer UV-Vis

Alat spektrofotometer UV-Vis terdapat dua macam yaitu single beam dan double beam dimana perbedaan antara keduanya adalah pada tempat sampel dan standar. Untuk single beam, tempat sampel dan standar digunakan bergantian, sedangkan untuk double beam sampel dan standar memiliki tempat masing- masing, sehingga dalam pengukuranya dilakukan secara bersama (Underwood, 2002) .


Gambar. Diagram yang menunjukkan spektrofotometer single beem (A) dan dauble beem (B)

Adapun bagian-bagian dari alat spektrofotometer UV-Vis menurut Underwood (2002) adalah :

a.       Sumber Cahaya

Sumber cahaya yang biasa digunakan dalam spektrofotometer UV-Vis adalah lampu hidrogen atau lampu deuterium. Kebaikan lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai panjang gelombang.

b.      Monokromator

Alatnya dapat berupa prisma atau grating. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan celah. Ada dua tipe prisma yaitu susunan cornu dan susunan littrow. Secara umum tipe cornu menggunakan sudut 60°, sedangkan tipe littrow menggunakan prisma dimana pada sisinya tegak lurus dengan arah sinar yang berlapis alumunium serta mempunyai sudut optik 30°.

c.       Sel Absorpsi

Pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder juga dapat digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang bertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa dan gelas hasil leburan serta seragam keseluruhannya.

d.      Detektor

Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang.

3.      Senyawa Yang Dapat Dianalisis dengan Spektrofotometer  UV-Vis

Senyawa yang dapat dianalisis dengan Spektrofotometer  UV-Vis menurut Noor (2010) yaitu:

1.      Bahan mempunyai gugus kromofor (UV)

2.      Bahan tidak mempunyai gugus kromofor tapi berwarna (Visible)

3.      Bahan tidak mempunyai gugus kromofor tidak bewarna ditambahkan pereaksi warna (visible)

4.      Bahan tidak mempunyai gugus kromofor dibuat turunannya yang mempunyai gugus kromofor (UV)

4.      Pelarut Pada Spektrofotometri UV-Vis

Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri UV adalah etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol absolut komersial harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan ialah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter (Harborne, 1987).

SUMBER:

Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Balajar.

Underwood,A.L and R.A Day, Jr. 1986. Analisa Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga

Underwood. A.L dan R.A Day, Jr. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi. Keenam. Jakarta: Erlangga

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Edisi II. Penerjemah: Padmawinata K dan Soediro. I. Bandung: ITB Press

 


KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

Gambar: Penampakan Hasil KLT

Menurut Rohman (2007), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik.

Keuntungan KLT antara lain hanya dibutuhkan sampel dalam jumlah sedikit, peralatan yang dibutuhkan sederhana, prosesnya cepat, dan ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak (Rohman, 2007).

Prinsip KLT yaitu terjadinya perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gritter R. J. et al, 1991).

a.       Fase Diam KLT

Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis totalnya 0,1 - 0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang baik dan bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985).

Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya, sehingga silika gel G Merck menurut spesifikasi Stahl yang diperkenalkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).

b.      Fase Gerak KLT

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) ( Rohman, 2007).

Menurut Rohman (2007), fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Sedangkan menurut Harborne (1987), pemilihan eluen sebaiknya dimulai dari pelarut organik yang non polar seperti heksana dan peningkatan kepolaran dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya 

c.       Penotolan Sampel

Larutan sampel yang akan diaplikasikan hendaknya berisi antara 0,1 - 10 mg kation per cm3 dan dapat bersifat netral dan asam encer sekitar 1 μl larutan, lalu ditotolkan dengan sebuah spuit mikro atau mikropipet didekat salah satu ujung lempeng kromatografi (sekitar 1,5-2,0 cm dari pinggir lempeng) dan kemudian dibiarkan kering diudara (Pudjaatmaka, 1994).

d.      Pengembangan

Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan ialah 100 mm disamping pengembangan sederhana, yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke atas. Pengembangan ganda dapat juga digunakan untuk memperbaiki efek pemisahan yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas beturut- turut pada pengembangan dua kali. Lapisan KLT harus dalam keadaan kering diantara kedua pengembangan tersebut, ini dilakukan dengan membiarkan pelat diudara selama 5-10 menit (Stahl, 1985).

e.       Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi (Rohman, 2007).

Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al, 1991; Stahl, 1985).

f.       Identifikasi dan Nilai Rf  

Dalam mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor). Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak titik pusat bercak dari titik awal dengan jarak garis depan pelarut dari titik awal. Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Sastrohamidjojo 1991).

Nilai Rf sangat ditentukan oleh kelancaran pergerakan bercak dalam KLT. Adapun faktor yang mempengaruhi pergerakan bercak menurut Sastrohamidjojo (1991) adalah:

a.       Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan

b.      Sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya

c.       Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap

d.      Pelarut dan derajat kemurniannya

e.       Derajat kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi

f.       Teknik percobaan

g.      Jumlah sampel yang digunakan

h.      Suhu

i.        Kesetimbangan

Penggunaan kromatografi lapis tipis secara umum adalah untuk tujuan (Stahl , 1985; Gritter, 1991):

1.      Kualitatif

Dilakukan dengan cara membandingkan bercak yang didapat dengan senyawa pembanding. Jika komponen yang terpisah sama dengan zat pembanding, maka Rf zat pembanding lebih kurang sama dengan zat yang diperiksa.

2.      Kuantitatif

Yaitu penetapan visual dari ukuran bercak dibanding senyawa pembanding (ketepatan rendah) atau dengan metoda spektrofotometri atau melalui penggerokan, pengelusian dan metode spektroskopi. Pemakaian kuantitatif untuk menunjukkan banyaknya masing-masing komponen campuran relatif terhadap komponen lain atau mutlak jika digunakan pembanding dan kalibrasi yang sesuai.

3.      Preparatif

Yaitu untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah memadai (mg sampai gram) dalam keadaan murni untuk kebutuhan lain.

 Sumber:

Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Balajar.

Gritter, R. J., J. M. Bobbit, and A. E. Schwarting. 1991.  Pengantar Kromatografi Edisi 2, Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB Press

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah : Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Edisi II. Penerjemah: Padmawinata K dan Soediro. I. Bandung: ITB Press

Pudjaatmaka, Hadiyana. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif. Anorganik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Sastrohamidjojo, H. 1991. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty Press.

 

 

 

OBAT TRADISIONAL

OBAT TRADISIONAL

 

      Menurut Permenkes RI (2012) yang dimaksud obat tradisional adalah bahan  atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

      Berdasarkan keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, Obat tradisional dikelompokkan menjadi 3 yaitu Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka (BPOM, 2004).

1.      Jamu

            Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM, 2004).

Gambar 1. logo jamu


Kelompok jamu harus mencatumkan logo dan tulisan ‘ JAMU” dicetak dengan  warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “ JAMU”. Logo berupa ranting daun dan terletak dalam lingkaran dicetak dengan warna hijau diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo, ditempatkan pada bagian atas disebelah kiri wadah / pembungkus / brosur.

Jamu harus memenuhi kriteria:

a.       Aman, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b.      Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.

c.       Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

(BPOM, 2004).

 

2.      Obat Herbal Terstandar

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi (BPOM, 2004).

Gambar 2. logo Obat Herbal Terstandar

Kelompok obat hebal terstandar harus mencatumkan logo dan tulisan “OBAT HERBAL TERSTANDAR” dicetak dengan warna hitam diatas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “ OBAT HERBAL TERSTANDAR” . logo berupa jari-jari daun tiga pasang terletak dalam lingkaran dicetak dengan warna hijau diatas warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo, ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri  wadah/pembungkus/brosur.

Obat herbal terstandar harus memenuhi kriteria:

a.       Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b.      Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik.

c.       Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

d.      Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

(BPOM, 2004).

 

3.      Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi (BPOM, 2004).

Gambar 3. Logo Fitofarmaka 

Kelompok fitofarmaka harus mencatumkan logo dan tulisan “FITOFARMAKA” dicetak dengan warna hitam diatas dasar arna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan tulisan “ FITOFARMAKA” logo berupa jari-jari daun yang kemudian membentuk bintang terletak dalam ingkaran dicetak dengan warna hijau diatas dasar putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo, ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri wadah/pembungkus/brosur.

Fitofarmaka harus memenuhi  kriteria:

a.       aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan

b.      klaim khasiat harus dilakukan berdasarkan uji klinik.

c.       Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.

d.      Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

(BPOM, 2004).

 

Sumber:

1.      BPOM. 2004. Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta:DEPKES RI

 Permenkes RI. 2012. Industri Dan Usaha Obat Tradisional. (http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/permen-kesehatan-nomor-006-tahun-2012-tentang-industri-dan-usaha-obat-tradisional.pdf., diakses pada 20 November 2017)