Friday, 2 October 2020

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT)

Gambar: Penampakan Hasil KLT

Menurut Rohman (2007), Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik.

Keuntungan KLT antara lain hanya dibutuhkan sampel dalam jumlah sedikit, peralatan yang dibutuhkan sederhana, prosesnya cepat, dan ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak (Rohman, 2007).

Prinsip KLT yaitu terjadinya perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gritter R. J. et al, 1991).

a.       Fase Diam KLT

Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk analisis totalnya 0,1 - 0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang baik dan bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985).

Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya, sehingga silika gel G Merck menurut spesifikasi Stahl yang diperkenalkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).

b.      Fase Gerak KLT

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) ( Rohman, 2007).

Menurut Rohman (2007), fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Sedangkan menurut Harborne (1987), pemilihan eluen sebaiknya dimulai dari pelarut organik yang non polar seperti heksana dan peningkatan kepolaran dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya 

c.       Penotolan Sampel

Larutan sampel yang akan diaplikasikan hendaknya berisi antara 0,1 - 10 mg kation per cm3 dan dapat bersifat netral dan asam encer sekitar 1 μl larutan, lalu ditotolkan dengan sebuah spuit mikro atau mikropipet didekat salah satu ujung lempeng kromatografi (sekitar 1,5-2,0 cm dari pinggir lempeng) dan kemudian dibiarkan kering diudara (Pudjaatmaka, 1994).

d.      Pengembangan

Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembangan normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan ialah 100 mm disamping pengembangan sederhana, yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke atas. Pengembangan ganda dapat juga digunakan untuk memperbaiki efek pemisahan yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas beturut- turut pada pengembangan dua kali. Lapisan KLT harus dalam keadaan kering diantara kedua pengembangan tersebut, ini dilakukan dengan membiarkan pelat diudara selama 5-10 menit (Stahl, 1985).

e.       Deteksi Bercak

Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi (Rohman, 2007).

Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al, 1991; Stahl, 1985).

f.       Identifikasi dan Nilai Rf  

Dalam mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation Factor). Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak titik pusat bercak dari titik awal dengan jarak garis depan pelarut dari titik awal. Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Sastrohamidjojo 1991).

Nilai Rf sangat ditentukan oleh kelancaran pergerakan bercak dalam KLT. Adapun faktor yang mempengaruhi pergerakan bercak menurut Sastrohamidjojo (1991) adalah:

a.       Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan

b.      Sifat dari penjerap dan derajat aktivitasnya

c.       Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap

d.      Pelarut dan derajat kemurniannya

e.       Derajat kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi

f.       Teknik percobaan

g.      Jumlah sampel yang digunakan

h.      Suhu

i.        Kesetimbangan

Penggunaan kromatografi lapis tipis secara umum adalah untuk tujuan (Stahl , 1985; Gritter, 1991):

1.      Kualitatif

Dilakukan dengan cara membandingkan bercak yang didapat dengan senyawa pembanding. Jika komponen yang terpisah sama dengan zat pembanding, maka Rf zat pembanding lebih kurang sama dengan zat yang diperiksa.

2.      Kuantitatif

Yaitu penetapan visual dari ukuran bercak dibanding senyawa pembanding (ketepatan rendah) atau dengan metoda spektrofotometri atau melalui penggerokan, pengelusian dan metode spektroskopi. Pemakaian kuantitatif untuk menunjukkan banyaknya masing-masing komponen campuran relatif terhadap komponen lain atau mutlak jika digunakan pembanding dan kalibrasi yang sesuai.

3.      Preparatif

Yaitu untuk memperoleh komponen campuran dalam jumlah memadai (mg sampai gram) dalam keadaan murni untuk kebutuhan lain.

 Sumber:

Rohman, Abdul. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Balajar.

Gritter, R. J., J. M. Bobbit, and A. E. Schwarting. 1991.  Pengantar Kromatografi Edisi 2, Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB Press

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah : Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Edisi II. Penerjemah: Padmawinata K dan Soediro. I. Bandung: ITB Press

Pudjaatmaka, Hadiyana. 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif. Anorganik. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Sastrohamidjojo, H. 1991. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty Press.

 

 

 

No comments: