KROMATOGRAFI
LAPIS TIPIS (KLT)
Gambar: Penampakan Hasil KLT
Menurut
Rohman (2007), Kromatografi
Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1983.
KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan
elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang
seragam (uniform) pada permukaan
bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat
plastik.
Keuntungan
KLT antara lain hanya dibutuhkan sampel dalam jumlah sedikit, peralatan yang
dibutuhkan sederhana, prosesnya cepat, dan ketepatan penentuan kadar akan lebih
baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak (Rohman, 2007).
Prinsip
KLT yaitu terjadinya perpindahan analit pada fase diam karena pengaruh fase
gerak. Proses ini biasa disebut elusi. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel
fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik
kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya (Gritter R. J. et al,
1991).
a. Fase
Diam KLT
Lapisan dibuat
dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT yang dihasilkan oleh
berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar 200 atau 100 mm. Untuk
analisis totalnya 0,1 - 0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum digunakan, lapisan
disimpan dalam lingkungan yang baik dan bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985).
Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Silika gel ini menghasilkan perbedaan dalam efek pemisahan yang tergantung kepada cara pembuatannya, sehingga silika gel G Merck menurut spesifikasi Stahl yang diperkenalkan tahun 1958, telah diterima sebagai bahan standar. Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, 1985).
b. Fase
Gerak KLT
Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang
akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan
secara menaik (ascending), atau
karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) ( Rohman, 2007).
Menurut Rohman (2007), fase gerak pada KLT dapat
dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang
diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah campuran 2
pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Sedangkan
menurut Harborne (1987), pemilihan eluen sebaiknya dimulai dari pelarut organik yang
non polar seperti heksana dan peningkatan kepolaran
dengan etil asetat atau pelarut yang lebih
polar lainnya
c. Penotolan
Sampel
Larutan sampel yang akan diaplikasikan hendaknya berisi
antara 0,1 - 10 mg kation per cm3 dan dapat bersifat netral dan asam
encer sekitar 1 μl larutan, lalu ditotolkan dengan sebuah spuit mikro atau
mikropipet didekat salah satu ujung lempeng kromatografi (sekitar 1,5-2,0 cm
dari pinggir lempeng) dan kemudian dibiarkan kering diudara (Pudjaatmaka, 1994).
d. Pengembangan
Pengembangan ialah proses pemisahan campuran
cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak
pengembangan normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan ialah 100 mm
disamping pengembangan sederhana, yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke
atas. Pengembangan ganda dapat juga digunakan untuk memperbaiki efek pemisahan
yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas beturut- turut pada pengembangan dua
kali. Lapisan KLT harus dalam keadaan kering diantara kedua pengembangan
tersebut, ini dilakukan dengan membiarkan pelat diudara selama 5-10 menit (Stahl, 1985).
e. Deteksi
Bercak
Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak
yang tidak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika,
maupun biologi (Rohman, 2007).
Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling
sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa
senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar
ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika
dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot
dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa
pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al, 1991; Stahl,
1985).
f. Identifikasi
dan Nilai Rf
Dalam mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi
sangat lazim menggunakan harga Rf (Retordation
Factor). Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak titik pusat
bercak dari titik awal dengan jarak garis depan pelarut dari titik awal. Harga
Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Sastrohamidjojo 1991).
Nilai Rf sangat ditentukan oleh kelancaran
pergerakan bercak dalam KLT. Adapun faktor yang mempengaruhi pergerakan bercak
menurut Sastrohamidjojo (1991) adalah:
a. Struktur
kimia dari senyawa yang dipisahkan
b. Sifat
dari penjerap dan derajat aktivitasnya
c. Tebal
dan kerataan dari lapisan penjerap
d. Pelarut
dan derajat kemurniannya
e. Derajat
kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi
f. Teknik
percobaan
g. Jumlah
sampel yang digunakan
h. Suhu
i.
Kesetimbangan
Penggunaan kromatografi
lapis tipis secara umum adalah untuk tujuan (Stahl , 1985; Gritter, 1991):
1. Kualitatif
Dilakukan dengan cara membandingkan bercak yang
didapat dengan senyawa pembanding. Jika komponen yang terpisah sama dengan zat
pembanding, maka Rf zat pembanding lebih kurang sama dengan zat yang diperiksa.
2. Kuantitatif
Yaitu penetapan visual dari ukuran bercak dibanding
senyawa pembanding (ketepatan rendah) atau dengan metoda spektrofotometri atau
melalui penggerokan, pengelusian dan metode spektroskopi. Pemakaian kuantitatif
untuk menunjukkan banyaknya masing-masing komponen campuran relatif terhadap
komponen lain atau mutlak jika digunakan pembanding dan kalibrasi yang sesuai.
3. Preparatif
Yaitu untuk memperoleh komponen campuran dalam
jumlah memadai (mg sampai gram) dalam keadaan murni untuk kebutuhan lain.
Rohman, Abdul. (2007). Kimia
Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Balajar.
Gritter, R. J., J. M. Bobbit, and A. E.
Schwarting. 1991. Pengantar
Kromatografi Edisi 2, Terjemahan Kosasih Padmawinata. Bandung:
ITB Press
Stahl, E. (1985). Analisis
Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah : Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Edisi II. Penerjemah:
Padmawinata K dan Soediro. I. Bandung: ITB Press
Pudjaatmaka, Hadiyana. 1994.
Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif. Anorganik. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Sastrohamidjojo, H. 1991. Kromatografi. Yogyakarta: Liberty Press.
No comments:
Post a Comment