Tuesday, 2 April 2019

MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT; DRUG UTILITY EVALUATION (DUE)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1              LATAR BELAKANG
Salah satu faktor penentu keberhasilan pelayanan kefarmasian, dan secara umum pelayanan kesehatan, adalah penggunaan obat yang rasional. WHO memberikan definisi sebagai berikut: pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan kliniknya, pada dosis yang tepat secara individual, waktu pemakaian terukur, dan terjangkau harganya oleh pasien yang bersangkutan (Quick et al, 1997).
Secara biomedik, hal itu ditentukan oleh kriteria tepat obat, tepat indikasi, obat sesuai mengenai khasiat, aman, cocok buat pasien yang bersangkutan, murah, tepat dosis, tepat cara pakai, waktu pemakaian, tepat pasien, tepat dispensing (termasuk pemberian informasi dan konseling), dan pasien patuh dan terikat pada tindakan yang dilakukan untuk kepentingannya (Quick et al, 1997).
Parameter lain yang menyebutkan bahwa penelitian tentang penggunaan obat didasarkan pada 3 macam indikator, yang salah satu indikator tersebut mempersyaratkan tentang persentase penggunaan antibiotika, penulisan obat generik, dan kesesuaian dengan formularium rumah sakit/nasional.
Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang dokter harus memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisiko kimia obat yang diberikan. Oleh karena itu dokter memainkan peranan penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam melaksanakan pengobatan melalui pemberian obat.
Kejadian penulisan resep yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu penelitian oleh Oviave (1989) yaitu 74,3 % disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey mengenai polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insiden efek samping, karena adanya kemungkinan interaksi obat.
Yang dimaksud dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia (obat lain atau makanan) di dalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi kerja obat. Dapat terjadi peningkatan kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak menimbullkan efek. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh yaitu interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter karena kurangnya pengetahuan dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, selain itu kurangnya pengetahuan dokter mengenai farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik) suatu obat dapat mengakibatkan tidak rasionalnya penulisan resep jika ditinjau dari interaksi obat yang terjadi. Mengingat bahwa masalah penulisan resep yang tidak rasional ini dapat merugikan dan berbahaya bagi pasien.
Penggunan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan akan dapat menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung dengan tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan mutu yang baik. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan adanya pemberian pengobatan yang belum didasarkan pada pedoman terapi yang telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan diagnosa yang tepat, info yang sering bias yang berakibat peresepan obat-obat yang tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan pengobatan, adanya tekanan dari pasien untuk meresepkan obat-obat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta sistem perencanaan obat yang lemah.
Salah satu cara untuk melakukan evaluasi penerapan Penggunaan Obat Rasional (POR) adalah dengan cara pemantauan dan evaluasi. Monitoring yang terus menerus akan menghasilkan ketersediaan obat yang sesuai dengan kebutuhan sehingga mencapai penggunaan obat yang rasional. Pemantauan penggunaan obat dapat digunakan untuk melihat mutu pelayanan kesehatan. Dengan pemantauan ini maka dapat dideteksi adanya kemungkinan penggunaan obat yang berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing), majemuk (multiple prescribing) maupun tidak tepat (incorrect prescribing).Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat secara teratur dapat mendukung perencanaan obat sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai Penggunaan Obat Rasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DRUG UTILITY EVALUATION (DUE)
Evaluasi penggunaan obat (Drug Use Evaluation) adalah alat jaminan mutu, yang memantau dan mengevaluasi penanganan obat terhadap kriteria/ standar yang disetujui dan jika diperlukan, menganjurkan sebuah perubahan dalam praktek untuk meningkatkan kualitas, keamanan, dan efektivitas biaya peresepan. Proses itu dapat dilaksanakan secara retrospektif, prospektif, atau secara bersamaan. DUE biasanya digunakan sebagai alat diarea yang praktek peresepannya tidak sesuai dengan kadar yang disetujui. Studi DUE memastikan apakah obat digunakan dengan tepat, aman, dan efektif untuk memperbaiki status kesehatan pasien (Palumbo dan Ober, 1995).

Langkah-langkah untuk melaksanakan siklus DUE adalah sebagai berikut :
1.        Pilih suata obat atau lingkup terapeutik untuk DUE
2.        Sepakati tujuan, kriteria terukur dan standar yang digunakan untuk area target, jika hal ini belum diatur
3.         Buat rancangan contoh lembaran pengumpulan data dan panduan.
4.        Kumpulkan data resep untuk mengevaluasi praktek yang sedang dilakukan terhadap standar
5.        Analisis data tersebut
6.        Evaluasi praktek terhadap standar
7.        Putuskan interfensi apa yang perlu diperkenalkan untuk meningkatkan kepatuhan penulis resep terhadap kriteria yang disetujui dan rencana kerja
8.        Berikan edukasi kepada staf dan perkenalkan praktek untuk membenarkan peresepan yang tidak sesuai
9.        Evaluasi pengaruh DUE
10.    Beritahukan hasil yang diperoleh
Untuk memastikan program DUE yang efektif, pendekatan multi disiplin harus dilakukan. Dokter dan apoteker harus menyepakati kriteria data peresepan yang tepat harus dikumpulkan. Harus ada evaluasi yang kritis terhadap data dan suatu metoda yang dapat diterima untuk mengoreksi setiap kekurangan setiap peresepan.

Obat-obat  yang cocok untuk studi DUE obat adalah sebagai berikut :
1.             Obat-obat yang sering digunakan untuk memastikan peresepan yang efektif biaya
2.             Obat yang mahal atau volume penggunaannya tinggi
3.             Berpotensi tinggi menyebabkan toksisitas atau ADR
4.             Tambahan bentuk sediaan yang diusulkan
5.             Indeks terapeutik sempit
6.             Tambahan bentuk sediaan yang diusulkan
7.             Digunakan  pada  populasi pasien  yang memiliki kemungkinan resiko ADR                                                     yang  tinggi
8.             Telah dimasukan dalam kebijakan terapeutik (misalnya kebijakan antibiotik)
9.             Obat yang dapat meningkatkan kualitas hidup atau pelayan pasien.
10.         Area dengan praktik peresepan tidak mengikuti standar.
11.         Untuk membenarkan penggunaan sumber daya.
12.         Obat yang sangat efektif bila digunakan dengan rute tertentu.

Keuntungan / Manfaat DUE :
1.             Menegaskan kualitas peresepan yang tepat,  yang berkenaan dengan keamanan, kemanjuran, dan biaya kepada organisasi.
2.             Keuntungan  keuangan  dengan  penurunan penggunaan obat yang tidak tepat.
3.             Kualitas  layanan  farmasi klinis yang  meningkat,  yang  berkenaan  dengan menargetkan aktivitas farmasi klinis dan keuntungan edukasi.
4.             Komponen esensial dari audit klinis.
5.             Meningkatkan kredibilitas laporan pengeluaran obat.
6.             Mendukung perkembangan ,  implementasi,  dan   pemantauan   bentuk sediaan obat

Evaluasi penggunaan obat merupakan jaminan mutu resmi dan terstruktur yang dilaksanakan terus menerus yang ditujukan untuk menjamin obat yang tepat, aman, dan efektif (Mulyani, 2005).

Tahap pelaksanaan evaluasi penggunaan obat sebagai kegiatan jaminan mutu adalah sebagai berikut :
·      Penetapan penanggung jawab umumnya adalah panitia farmasi dan terapi.
·      Menilai pola penggunaan semua obat
·      Menentukan obat-obat khusus dan golongan obat untuk di pantau dan dievaluasi.
·      Pengembangan kriteria pengembangan obat
·      Mengumpulkan dan mengorganisasikan data yang diperoleh dari berbagai sumber meliputi rekaman medik, profil pengobatan penderita, permintaan obat non formularium, formulir permintaan obat, hasil laporan laboratorium, rekaman pemberian obat atau kartu obat, rekaman reaksi obat yang merugikan, laporan peristiwa tertentu.
·      Mengevaluasi penggunaan obat yang dibandingkan dengan kriteria
·      Mengadakan tindakan perbaikan untuk solusi masalah dan perbaikan penggunaan obat
·      Menilai efektivitas tindakan perbaikan dan dokumentasi perbaikan
·      Mengkomunikasikan hasil yang diperoleh kepada organisasi atau pihak yang berkepentingan.

Tanggung jawab apoteker dalam pelaksanaan evaluasi obat adalah :
·      Mengadakan koordinasi kegiatan bekerja sama staf medik
·      Menyiapkan kriteria atau standar penggunaan obat bekerja sama dengan staf medik dan staf profesional lain
·      Mengkaji order obat yang dibandingkan dengan kriteria atau standar penggunaan obat dan berkonsultasi dengan dokter penulis resep jika diperlukan.
·      Mengumpulkan data kuantitatif penggunaan obat mencakup jumlah obat, biaya pengobatan, pola penulisan resep dan jenis penderita
·      Menginterpretasikan dan melaporkan temuan evaluasi kepada PFT (Panitia Farmasi dan Terapi), staf jaminan  mutu dan unsur pimpinan rumah sakit serta staf profesional lain untuk merekomendasikan perubahan dalam kebijakan dan prosedur penggunaan obat.
·      Berpartisipasi dalam program pendidikan sebagai tindak lanjut dari hasil temuan evaluasi.

Evaluasi penggunaan obat ditinjau dari aspek :
·      Tepat indikasi,
·      Tepat obat,
·      Tepat pasien,
·      Tepat dosis dan
·      Frekuensi pemberian

Pemantauan  merupakan  proses  kegiatan  untuk  melakukan  identifikasi masalah  dan  pengukuran  besarnya  masalah,  dan  penilaian  terhadap keberhasilan  dalam  penggunaan  obat  rasional.  Pemantauan  merupakan metode  yang  digunakan  untuk  keperluan  pengawasan/pengendalian  serta bimbingan  dan  pembinaan.  Melakukan  pemantauan  penggunaan  obat mempunyai dua komponen aktif, yaitu :
1.    Pengawasan  dan  pengendalian  terhadap  mutu  penggunaan  obat, pencatatan, serta pelaporannya.
2.    Membina  dan  membimbing  pelaksana  pengobatan  agar  senantiasa meningkatkan  kemampuan  dan  keterampilan  mereka  dalam  rangka  pemakaian  obat  yang  rasional,  serta  membantu  memecahkan  permasalahan yang dihadapi dilapangan.
Salah  satu  cara  untuk  melakukan  evaluasi  penerapan  Penggunaan  Obat Rasional  adalah  dengan  cara   pemantauan  dan  evaluasi.  Monitoring yang  terus menerus akan menghasilkan ketersediaan obat  yang  sesuai dengan kebutuhan sehingga mencapai penggunaan obat  yang rasional .


Sasaran Evaluasi pengunaan Obat secara umum adalah sebagai berikut :
1.             Mengadakan Pengkajian penggunaan obat yang efisien dan terus menerus
2.             Meningkatkan pengembangan standar penggunaan terapi obat
3.             Mengidentifikasi bidang yang perlu untuk materi edukasi berkelanjutan
4.             Meningkatkan kemitraan antarpribadi professional pelayanan kesehatan
5.             Menyempurnakan pelayanan pasien yang diberikan
6.             Mengurangi resiko tuntutan hukum pada rumah sakit
7.             Mengurangi biaya rumah sakit dan perawatan pasien sebagai akibat dosis akurat, efek samping yang lebih sedikit, dan waktu hospitalisasi yang lebih singkat.

Untuk solusi permasalahan yang dihadapi sangatlah penting, unsur-unsur dasar berikut yang harus diperhatikan  :
1.             Kriteria / standar penggunaan obat, dalam penggunaan obat harus yang dapat diukur (standar) yang menguraikan penggunan obat yang tepat.
2.             Mengidentifikasi masalah penting dan yang mungkin, memantau dan menganalisis  penggunaan obat secara terus menerus, direncanakan secara sistematik untuk mengidentifikasi masalah nyata atau masalah yang mungkin. Secara ideal, kegiatan ini sebaiknya diadakan secara prospektif
3.             Menetapkan prioritas untuk menginvestigasi dan solusi masalah.
4.             Mengkaji secara objektif, penyebab, dan lingkup masalah dengan menggunakan kriteria yang absah secara klinik
5.             Solusi masalah.
6.             Mencanangkan dan menerapkan tindakan untuk memperbaiki atau meniadakan masalah.
7.             Memantau solusi masalah dan keefektifan.
8.             Mendokumentasi serta melaporkan secara terjadwal temuan, rekomendasi, tindakan yang diambil, dan hasilnya. Tindakan yang diambil dapat berupa pengaturan atau edukasi yang cocok dengan keadaan dan kebijakan rumah sakit.


  Keberhasilan terapi obat tergantung pada :
ü   Kemampuan dokter mendiagnosis masalah kesehatan utama, memilih dosis yang tepat, bentuk sediaan dan rute administrasi yang tepat, mengidentifikasi kemungkinan efek samping dan interaksi obat, dan mencegah terapi duplikasi.
ü   Kemampuan farmasis menyiapkan obat dan perawat memberikan obat pada pasien.

Program Drug Utility Evaluation dibagi menjadi 4 fase :
FASE 1 : PERENCANAAN
Langkah 1       :  Membentuk komite DUE.
Langkah 2       :  Menulis kebijakan dan prosedur
Langkah  3      : Menentukan semua bagian atau departemen di RS dimana obat digunakan (termasuk gawat darurat, ICU, bagian bedah, radiologi, dll).
Langkah 4.      :Identifikasi obat-obat yang berpeluang dimasukkan dalam program.
Langkah 5       : Penilaian sumber daya yang tersedia untuk penetapan kriteria, 
pengumpulan dan evaluasi data, dan pemilihan obat yang dimasukkan dalam program.
Langkah  6      : Untuk masing-masing obat, ditentukan aspek (indikasi, dosis,   bentuk sediaan,dll) penggunaan obat yang dimonitor atau dievaluasi.
Langkah 7       :Pemilihan kriteria dan penentuan ambang batas.
Langkah 8       :Pemastian metodologi untuk pengumpulan dan evaluasi data, serta
penyusunan jadwal..
Langkah 9       :Edukasi staf RS tentang program DUE dan kriteria yang sudah
ditentukan.




FASE 2: PENGUMPULAN DATA DAN EVALUASI
Langkah 10     :Pengumpulan data.
Langkah 11     :Evaluasi data dan penentuan apakah ada masalah penggunaan obat

FASE 3: INTERVENTION
Langkah 12     :Diseminasi hasil pada staf RS.
Langkah 13     :Jika ditemukan masalah penggunaan obat, dirancang dan  diterapkan suatu intervensi.
Langkah 14     :Dilakukan pengumpulan data lagi untuk menentukan apakah       penggunaan obat telah membaik setelah dilakukan intervensi.
Langkah 15     :Diseminasi hasil re-evaluasi.

FASE 4: EVALUASI PROGRAM
Langkah 16     :Evaluasi semua aktivitas program DUE pada akhir tahun evaluasi,   dan merencanakan aktivitas untuk tahun berikutnya.

Manfaat Pemantauan Dan Evaluasi
·                Bagi dokter/pelaku pengobatan
Pemantauan  penggunaan  obat  dapat  digunakan  untuk  melihat  mutu  pelayanan  kesehatan.  Dengan  pemantauan  ini  maka  dapat  dideteksi  adanya  kemungkinan  penggunaan  obat  yang  berlebih  (over  prescribing),  kurang (under  prescribing),  majemuk  (multiple  prescribing)  maupun  tidak  tepat incorrect prescribing).
·                Dari segi perencanaan obat
Pemantauan  dan  evaluasi  penggunaan  obat  secara  teratur  dapat mendukung  perencanaan  obat  sesuai  dengan  kebutuhan  untuk  mencapai Penggunaan Obat Rasional.





Cara Pemantauan Dan Evaluasi Penggunaan Obat
Pemantauan  penggunaan  obat  dapat  dilakukan  secara  langsung  maupun tidak langsung.
1.             Pemantauan Secara Langsung
Dilakukan  dengan  mengamati  proses  pengobatan  mulai  dari anamnesis,  pemeriksaan, peresepan,  hingga  penyerahan  obat  ke  pasien. Pemantauan dengan cara  ini  dapat dilakukan secara  berkala pada waktu yang  tidak  diberitahukan  sebelumnya,  sehingga  diperoleh gambaran  nyata  mengenai  praktik  pemakaian  obat  yang  berlangsung pada saat itu.
Komponen Pemantauan Penggunaan Obat
Pemantauan dilakukan terhadap :
a.         Kecocokan antara gejala/tanda-tanda (symptoms/signs), diagnosis dan  jenis pengobatan yang diberikan,
b.        Kesesuaian  antara  pengobatan  yang  diberikan  dengan  pedoman   pengobatan yang ada,
c.         Pemakaian  obat  tanpa  indikasi  yang  jelas  (misalnya  antibiotik untuk ISPA non pneumonia),
d.        Praktek  polifarmasi  untuk  keadaan  yang  sebenarnya  cukup  hanya      diberikan satu atau 2 jenis obat,
e.         Ketepatan indikasi, Ketepatan  jenis,  jumlah,  cara  dan  lama  pemberian  (didasarkan pada pedoman pengobatan yang ada).
f.         Kesesuaian  obat  dengan  kondisi  pasien 

2.             Pemantauan secara tidak langsung
Pemantauan secara tidak langsung dapat dilakukan melalui :
a.       Dari kartu status pasien :
Kecocokan dan ketepatan antara :
ü  Gejala  dan  tanda  yang  ditemukan  selama  anamnesis  dan pemeriksaan, dengan
ü  Diagnosis yang dibuat dalam kartu status penderita, serta
ü  Pengobatan  (terapi)  yang  diberikan  (termasuk  jenis,  jumlah,  dan cara pemberian obat).
b.      Dari buku register pasien :
ü  Jumlah kasus yang pengobatannya tidak sesuai dengan standar
ü  Over prescribing dari antibiotik dan pemakaian suntikan.

Kegiatan Pemantauan Dan Evaluasi
            Pemantauan dan evaluasi meliputi:
1.      Pencatatan dan Pelaporan
Adapun  cara  pencatatan  dan  pelaporan  yang  baku  adalah  sebagai berikut :
·         Status pasien
a.  Kolom anamnesis/pemeriksaan :
Diisi  keterangan  yang  bersifat  patognomonik  untuk  kondisi  yang di jumpai (baik keluhan, gejala klinik, dan hasil pemeriksaan).
b.  Kolom diagnosis :
Diisi  dengan  jelas  diagnosisnya  secara  lengkap.  Kalau  ada  2  diagnosis, tuliskan keduanya, misalnya bronkitis dengan diare.
c.  Kolom terapi
     Diisi dengan obat  yang diberikan.
     Kelengkapan  dengan  kesederhanaan  ini  memungkinkan
     Pemantauan terhadap kecocokan antara kolom anamnesis, 
     kolom diagnosis, dan kolom terapi.
·         Register harian
Isilah  setiap  ruangan  yang  terdapat  dalam  tiap  kolom  buku  register yang  ada  dengan  lengkap,  mulai  dari  tanggal  kunjungan,  nomer  kartu status,  nama  pasien,  alamat,  jenis  kelamin,  umur,  diagnosis,  pengobatan yang  diberikan,  dan  keterangan  lainnya  seperti,  apakah  program (misalnya malaria) atau pemeriksaan rutin.



2.  Monitoring dan Evaluasi Indikator Peresepan
Empat  indikator  peresepan  yang  akan  dinilai  dalam  pemantauan  dan evaluasi penggunaan obat yang rasional adalah :
a.  Rata-rata jumlah obat per pasien.
b.  Persentase penggunaan antibiotik.
c.  Persentase penggunaan injeksi.
d.  Persentase penggunaan obat generik.

3.  Pengumpulan Data Peresepan
            Pengumpulan  data  peresepan  dilakukan  oleh  petugas Puskesmas/Pustu,  1  kasus  setiap  hari  untuk  diagnosis  yang  telah ditetapkan  di  tingkat  Kabupaten/Kota  dengan  menggunakan  Formulir Indikator  Peresepan.  Pengumpulan  data  yang  dilakukan  setiap  hari  akan memudahkan  pengisian  dan  tidak  menimbulkan  beban  dibandingkan dengan pengisian yang ditunda sampai satu minggu atau satu bulan. Pengisian  kolom  1  s/d  9  digunakan  untuk  keperluan  monitoring, sedangkan  kolom  10  s/d  13  yang  menilai  kesesuaian  peresepan  dengan pedoman pengobatan, digunakan  pada saat supervisi oleh supervisor dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kasus yang  dimasukkan  ke  dalam  kolom  Formulir  Monitoring Indikator Peresepan  adalah  pasien  yang  berobat  ke  Puskesmas/Pustu  dengan diagnosis tunggal :
•  ISPA non pneumonia (batuk-pilek).
•  Diare akut non spesifik.
•  Penyakit sistem otot  dan jaringan (myalgia).
Dasar pemilihan ketiga diagnosis adalah :
a)  Termasuk 10 penyakit terbanyak.
b)  Diagnosis  dapat  ditegakkan  oleh  petugas  tanpa  memerlukan
     pemeriksaan penunjang;
c)  Pedoman terapi untuk ketiga diagnosis jelas;
d)  Tidak memerlukan antibiotika/injeksi;
e)  Selama  ini  ketiganya  dianggap  potensial  untuk  diterapi     
    secara  tidak rasional.
Cara Pengisian Formulir Monitoring Indikator Peresepan
ü  Pasien  diambil  dari  register  harian,  1  kasus  per  hari  untuk  setiap diagnosis  terpilih.  Dengan  demikian  dalam  1  bulan  diharapkan terkumpul sekitar 25 kasus per diagnosis terpilih.
ü  Bila  pada  hari  tersebut  tidak  ada  pasien  dengan  diagnosis  tersebut, kolom  dikosongkan,  dan  diisi  dengan  diagnosis  yang  sama,  yang diambil pada hari-hari berikutnya.
ü  Untuk  masing-masing  diagnosis  tersebut,  diambil  pasien  dengan urutan pertama  pada  hari  pencatatan.  Diagnosis diambil  yang  tunggal, tidak ganda atau yang disertai penyakit/keluhan lain.
ü  Puyer dan obat kombinasi ditulis rincian jenis obatnya.
ü   Jenis obat termasuk obat minum, injeksi, dan obat luar .
ü  Imunisasi tidak dimasukkan dalam kategori injeksi.
ü  Istilah antibiotik termasuk kemoterapi dan anti amoeba.
ü  Kolom  “kesesuaian  dengan  pedoman”  dikosongkan.  Kolom   ini  akan diisi oleh pembina pada saat kunjungan  supervisi     (diambil  10  sampel  peresepan  secara  acak  untuk diskusi).
4.  Pemantauan Obat Generik (OG)
Berdasarkan Permenkes Nomor.HK.02.02/MenKes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik Di Fasilitas  Pelayanan Kesehatan Pemerintah, dan Kepmenkes Nomor .  HK.03.01/MenKes/159/I/2010 tentang  Pedoman  Pembinaan  Dan  Pengawasan  Penggunaan  Obat Generik  Di  Fasilitas  Pelayanan  Kesehatan  Pemerintah,  pemantauan pelaksanaan  obat  generik  di  Puskesmas  dan  jaringannya  dilaksanakan sebagai berikut :
a)      Puskesmas  dan  jaringannya  serta  sarana  pelayanan  kesehatan lainnya  melaporkan  penulisan  resep  dan  penyediaan  obat  generik  ke Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK).
b)      IFK  merekapitulasi  hasil  pemantauan  Puskesmas  dan  melaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
c)      Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan rekap IFK kepada Dinas  Kesehatan dan  Alat  Kesehatan  melalui  mekanisme  dan  sistem pelaporan yang berlaku di Provinsi.
d)     Dinas  Kesehatan  Provinsi  melaporkan  rekap  Dinas  Kesehatan Kab/Kota  kepada  Menteri  melalui  Direktorat  Jenderal  Bina  Kesehatan Masyarakat  dengan  tembusan  kepada  Direktorat  Jenderal  Bina Kefarmasian 

2.2.       MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)
Efek samping adalah efek obat yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse drug reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.
Beberapa contoh efek samping misalnya:
·         Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik).
·         Hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan).
·         Osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama).
·         Hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat -withdrawal syndrome).
·         Fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik).

A.                Efek Samping Obat
Ø  Efek samping yang dapat diperkirakan
Disebabkan karena efek farmakologik yang berlebihan. Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik, sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu seperti pada anak, usia lanjut, dan kehamilan.
Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar. Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut).
Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan:
v  Gejala penghentian obat. Gejala penghentian obat (gejala putus obat, withdrawalsyndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya: agitasi ekstrem, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol, krisis addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid, hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin, gejala putus obat karena narkotika.
v  Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien meerlukan dosis yang makin lama makin besar (sebagai contoh berkurangnya respons penderita epilepsi terhadap fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan.
v   Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama yaitu efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan.

B.                 Faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat
Faktor yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat meliputi:
1.      Faktor bukan obat. Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain, adalah:
a.       Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b.       Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2.      Faktor obat
a.       Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek    
samping.
b.      Pemilihan obat.
c.       Cara penggunaan obat.
d.      Interaksi antar obat.

C.      Upaya Pencegahan Dan Penanganan Efek Samping Obat
Upaya pencegahan agar kejadian efek samping dapat ditekan serendah mungkin,selalu dianjurkan untuk melakukan hal berikut.
1.      Selalu harus ditelusur riwayat rinci mengenai pemakaian obat oleh pasien pada waktu sebelum pemeriksaan, baik obat yang diperoleh melalui resep dokter maupun dari pengobatan sendiri.
2.       Gunakan obat hanya bila ada indikasi jelas, dan bila tidak ada alternatif nonfarmakoterapi.
3.      Hindari pengobatan dengan berbagai jenis obat dan kombinasi sekaligus.
4.      Berikan perhatian khusus terhadap dosis dan respons pengobatan pada: anak dan bayi, usia lanjut, dan pasien-pasien yang juga menderita gangguan ginjal, hepar dan jantung.
Pada bayi dan anak, gejala dini efek samping sering kali sulit dideteksi karena kurangnya kemampuan komunikasi, misalnya untuk gangguan pendengaran.
5.      Perlu ditelaah terus apakah pengobatan harus diteruskan, dan segera hentikan obat bila dirasa tidak perlu lagi.
6.       Bila dalam pengobatan ditemukan keluhan atau gejala penyakit baru, atau penyakitnya memberat, selalu ditelaah lebih dahulu, apakah perubahan tersebut karena perjalanan penyakit, komplikasi, kondisi pasien memburuk, atau justru karena efek samping obat.
Pedoman penanganan efek samping obat, yang timbul serta kemungkinan mekanisme terjadinya, dapat direncanakan sendiri, misalnya seperti berikut ini:
·         Segera hentikan semua obat bila diketahui atau dicurigai terjadi efek samping. Telaah bentuk dan kemungkinan mekanismenya. Bila efek samping dicurigai sebagai akibat efek farmakologi yang terlalu besar, maka setelah gejala menghilang dan kondisi pasien pulih pengobatan dapat dimulai lagi secara hati-hati, dimulai dengan dosis kecil.
·         Bila efek samping dicurigai sebagai reaksi alergi atau idiosinkratik, obat harus diganti dan obat semula sama sekali tidak boleh dipakai lagi. Biasanya reaksi alergi/idiosinkratik akan lebih berat dan fatal pada kontak berikutnya. Bila sebelumnya digunakan berbagai jenis obat, dan belum pasti obat yang mana penyebabnya, maka pengobatan dimulai lagi secara satu-persatu.
·         Upaya penanganan klinik tergantung bentuk efek samping dan kondisi penderita. Pada bentuk-bentuk efek samping tertentu diperlukan penanganan dan pengobatan yang spesifik. Misalnya untuk syok anafilaksi diperlukan pemberian adrenalin dan obat serta tindakan lain untuk mengatasi syok. Contoh lain misalnya pada keadaan alergi, diperlukan penghentian obat yang dicurigai, pemberian antihistamin atau kortikosteroid (bila diperlukan).

2.1  PEMAKAIAN OBAT YANG TIDAK RASIONAL
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi.Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan optimal dan rasional.Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing).
Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut:
v  Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan
Beberapa kebiasaan peresepan yang tidak rasional akan mempengaruhi mutu pengobatan dan pelayanan secara langsung atau tidak langsung. Secara luas juga dampak negatifnya terhadap upaya penurunan mortalitas dan morbiditas penyakit-penyakit tertentu.
v  Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan
Pemakaian obat-obatan tanpa indikasi yang jelas, untuk kondisi-kondisi yang sebetulnya tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosanpembiayaan dan merupakan salah satu bentuk ketidakrasionalan.
v  Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat
Kemungkinan risiko efek samping obat dapat diperbesar oleh pemakaian obat yang tidak tepat.Ini dapat dilihat secara individual pada masing-masing pasien atau secara epidemiologik dalam populasi. Pemakaian obat yang berlebihan baik dalam jenis (multiple prescribing) maupun dosis (over prescribing) jelas akan meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Pemakaian antibiotika secara berlebihan juga dikaitkan dengan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik
A.    Ciri Pemakaian Obat Yang Tidak Rasional
ü  Pemakaian obat dimana sebenarnya indikasi pemakaiannya secara medik tidak ada atau samar-samar.
ü  Pemilihan obat yang keliru untuk indikasi penyakit tertentu.
ü  Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian yang tidak sesuai.
ü  Pemakaian jenis obat dengan potensi toksisitas atau efek samping lebih besar padahal obat lain yang sama kemanfaatannya (efficacy) dengan potensi efek samping lebih kecil juga ada.
ü  Pemakaian obat-obat mahal padahal alternatif yang lebih murah dengan kemanfaatan dan keamanan yang sama tersedia.
ü  Tidak memberikan pengobatan yang sudah diketahui dan diterima kemanfaatannya dan keamanannya (established efficacy and safety).
ü  Memberikan pengobatan dengan obat-obat yang kemanfaatan dan keamanannya masih diragukan.
ü  Pemakaian obat yang semata-mata didasarkan pada pengalaman individual tanpa mengacu kepada sumber-sumber informasi ilmiah yang layak, atau hanya didasarkan pada sumber-sumber informasi yang tidak dapat dipastikan kebenarannya.
ü  Pemakaian obat yang didasarkan pada insting dan intuisi tanpa melihat fakta dan kebenaran ilmiah yang lazim. Ini misalnya terlihat pada dokter-dokter yang mengklaim mempunyai cara-cara inkonvensional dalam pengobatan.
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, tetapi paling tidak akan mencakup hal-hal berikut:
Ø  Ketepatan indikasi
Ø  Ketepatan pemilihan obat
Ø  Ketepatan cara pemakaian dan dosis obat
Ø  Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien/dan tindak lanjut efek pengobatan.
Ø  Ketepatan harga
Ø  Waspada terhadap efek samping obat

BAB III
KESIMPULAN
Banyak bukti menunjukkan bahwa sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah,dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah  farmakovigilans). Sehingga, kegiatan ini menjadi salah satu komponen penting dalam system regulasi obat, praktik klinik dan kesehatan masyarakat secara umum. Pengawalan atau pemantauan aspek keamanan suatu obat harus secara terus menerus dilakukan untuk mengevaluasi konsistensi profil keamanannya. Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan manfaat dan keamanan yang samar-samar atau obat-obat yang mahal pada alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia. Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni: cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyani, Y., 2005, Evaluasi Penggunaan Obat Pada Penderita Gangguan Fungsi Ginjal, Usia Lanjut, Hipertensi dan Diabetes Melitus di bagian Ilmu Penyakit Dalam Perjan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Quick, J.P., Rankin, J.R., Laing, R.O., O’Cornor, R.W., 1997, Managing Drug Supply, the selection, procurement, distribution and use of pharmaceutical, second edition, Kumarin Press, Conecticus, USA
Rusli. 2016. Farmasi rumah sakit dan klinik. Pusdik SDM Kesehatan : Kementerian kesehatan republic indonesia

No comments: