Tuesday 2 April 2019

MAKALAH FARMASI RUMAH SAKIT; PEGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL (RATIONAL DRUG USE)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Penggunaan obat yang rasional didefinisikan sebagai suatu kondisi jika pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, baik dilihat dari regimen dosis yang sesuai, lama pengobatan yang cukup dan biaya pengobatan yang lebih rendah. Peresepan obat yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yang efektif dan efisien (Mundariningsih et al., 2007). Jika pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan definisi penggunaan obat yang rasional tersebut maka telah terjadi ketidakrasionalan penggunaan obat. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak morbiditas dan mortalitas yang serius terutama pada pasien anak dengan infeksi dan pasien dengan penyakit kronis (WHO, 2002), dan pada skala besar secara signifikan meningkatkan kejadian efek samping serta tingginya biaya pengobatan (Quick et al., 1997).
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai studi dan temuan telah menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan optimal dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan obat pada umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat, penggunaan obat (khususnya adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau biayanya (Vance dan Millington, 1986).



           
1.2         Rumusan Masalah
1. Apa kriteria penggunaan obat dikatakan rasional?
2. Apa ciri-ciri penggunaan obat dikatakan tidak rasional?
3. Bagaimana dampak jika terjadi penggunaan obat tidak rasional?
4. Bagaimana upaya meminimalkan penggunaan obat yang tidak rasional?
5. Apa indikator penggunaan obat yang rasional?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1       Penggunaan Obat Yang Rasional
                  Penggunaan obat secara rasional (POR) atau rational use of medicine (RUM)  merupakan suatu kampanye yang disebarkan keseluruh dunia juga di Indonesia. WHO menjelaskan bahwa definisi penggunaan obat yang rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai. POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.
                  Penggunaan obat yang dapat dianalisa adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien. Berikut ini kriteria suatu obat dikatakan rasional menurut Peraturan Kementerian Kesehatan tahun 2011 adalah:
1.      Tepat diagnosis
            Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pngobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. Contohnya pada pasien diare yang disebabkan amoebiasis maka akan diberikan metronidazol. Jika dalam proses penegakan diagnosisnya, penyebabnya bukan amoebiasis maka terapai tidak akan menggunakan metronidazol.
            Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, apoteker mempunyai peras sebagai second opinion utnuk pasien yang telah memiliki soft diagnosis.
2.      Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa dokter. Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3.      Tepat pemilihan obat
            Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapt ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain ini, obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang digunakan pasien juga seharusnya seminimal mungkin.
4.      Tepat dosis
            Dosis obat digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang mempengaruhi kadar obat didalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan kondisi pasien dasi segi usia, bobot badan, maupun kelainan tertentu.
5.      Tepat cara pemberian
            Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet paracetamol dapt diganti dengan sirup.
6.      Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harusdiminum dengan interval setiap 8 jam.
7.      Tepat lama pemberian
            Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pembarian yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya penggunaan antibiotik amoksisilin 500 mg dalam penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama tiga-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus tepat.
8.      Waspada terhadap efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukanalergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluhdarah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurangdari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.
9.      Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:
1.      Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
2.      Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
3.      Jenis sediaan obat terlalu beragam
4.      Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
5.      Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang  cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
6.      Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu.
10.  Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin
Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis.
11.  Tepat informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh: peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderitaberwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderitakemungkinan besar akan menghentikan minum obatkarena menduga obat tersebut menyebabkan kencingdisertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
12.  Tepat tindak lanjut (follow-up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yangdiharapkan.
13.  Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.
14.  Tepat pasien
            Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat.
15.  Tepat harga
            Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal.

2.2       Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:
1.      Peresepan berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.Contoh:
1.      Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus)
2.       Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.
3.      Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit tersebut.
4.      Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek yang tidak diinginkan seperti:
a)      Interaksi
b)      Efek Samping
c)      Intoksikasi
2.      Peresepan kurang (underprescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini. Contoh :
a.       Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
b.      Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
c.       Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.
3.      Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh: Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
a.       Amoksisilin
b.      Parasetamol
c.       Gliseril guaiakolat
d.      Deksametason
e.       CTM
f.       Dan Luminal.
4.      Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yangdiberikan kepada pasien, dan sebagainya. Contoh :
a.      Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin & ofl oksasin) untuk anak.
b.      Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol yang lebih aman.
Contoh lain ketidak rasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari hari:
a.       Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh:
Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
b.      Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh:
Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
c.       Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh:
Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yangbenar adalah diberikan 1 kaplet tiap 8 jam.
d.      Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat lain dengan manfaat yang sama tetapi jauhlebih aman tersedia.
Contoh:
Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit tenggorok atau sakit menelan padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman dan efficacious.
e.       Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh:
Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relatif mahal padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih murah tersedia.
f.       Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
Contoh:
Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru dapat merugikan pasien.
g.      Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh:
Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasayang selanjutnya akan mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang sama.

2.3       Dampak Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Beberapa dampak dari  penggunaan obat yang tidak rasional adalah sebagai berikut:
1.   Dampak pada mutu pengobatan dan pelayanan
Salah satu dampak penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan mortalitas penyakit. Sebagai contoh, penderita diare akut non spesifik umumnya mendapatkan antibiotika dan injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih dianjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa anak yang bersangkutan.
2.   Dampak terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien. Disini termasuk pula peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga lebih terjangkau telah tersedia.
3.   Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek lain yang tidak diharapkan
Dampak lain dari ketidakrasionalan penggunaan obat adalahbmeningkatkan resiko terjadinya efek samping serta efek lainyang tidak diharapkan, baikuntuk pasien maupun masyarakat.Beberapa data berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak rasional:
a.       Resiko terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat pada penggunaan injeksi yang tidak legeartis, (misalnya 1 jarum suntik digunakan untuk lebih dari satu pasien).
b.      Kebiasaan memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko terjadinya syok anafilaksis.
c.       Resiko terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan makin banyaknya jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata pada usia lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1 di antara 6 penderita usia lanjut yang dirawat di rumah sakit.
d.      Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu akibat dari pemakaian antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang (underprescribing), maupun pemberian pada kondisi yang bukan merupakan indikasi (misalnya infeksi yang disebabkan oleh virus).
4.   Dampak terhadap mutu ketersediaan obat
Sebagian besar dokter masih cenderung meresepkan antibiotikvauntuk keluhan batuk dan pilek. Akibatnya kebutuhan antibiotikavmenjadi sangat tinggi, padahal diketahui bahwa sebagian besar batuk pilek disebabkan oleh virus dan antibiotika tidak diperlukan. Dari praktek pengobatan tersebut tidaklah mengherankan apabila yang umumnya dikeluhkan oleh Puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik. Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi bakteri, antibiotik yang dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan utama obat pilihan (drug of choice) dari infeksi tersebut.
Disini terdapat 2 masalah utama:
a.       Seolah-olah mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi adalah antibiotik telah dibagi rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan.
b.      Dengan mengganti jenis antibiotik akan berdampak pada tidak sembuhnya pasien (karena antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum antibakteri untuk penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi metronidazol). Atau penyakit menjadi lebih parah dan pasien kemudian meninggal. Ketidakrasionalan pemberian obat oleh dokter juga sering memberi pengaruh buruk bagi pasien maupun masyarakat. Pengaruh buruk ini dapat berupa ketergantungan terhadap intervensi obat maupun persepsi yang keliru terhadap pengobatan.
5.   Dampak injeksi
Pemberian substitusi terapi pada diare. Dengan memasyarakatnya penanganan diare di rumah tangga, petugas kesehatan seolah dihinggapi keengganan (keraguan) untuk tetap memberikan Oralit tanpa disertaiobat lain pada pasien dengan diare akut non spesifik. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila sebagian besar penderita diare akut non spesifik masih saja mendapat injeksi maupun antibiotik, yang sebenarnya tidak diperlukan. Sementara Oralit yang menjadi terapi utama justru sering tidak diberikan.

2.4       Upaya Untuk Mengatasi Masalah Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Untuk mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional diperlukan beberapa upaya perbaikan dan intervensi, baik di tingkat provider yaitu peresep (prescriber) dan penyerah obat (dispenser) dan pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem kebijakan obat nasional, anatara lain sebagai berikut:
1.      Upaya Pendidikan
ü  Pendidikan selama masa kuliah (pre-service)
ü  Sesudah menjalankan prkatek kepropesian (past-service)
ü  Pendidikan past-service antara lain :
Ø  Pendidikan berkelanjutan (contining-medical education)
Ø  Informasi pengobatan (academic based detailing)
Ø  Seminar-seminar, buletin dan lain-lain
ü  Sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi :
Ø  Materi cetak buletin, pedoman pengobatan
Ø  Pendidikan tatap muka (face to face education) : kuliahpenyegaran, seminar.
Ø  Media lain : televise, video dan lain-lain
2.       Upaya peningkatan pengelolaan (managerial strategies)
ü  Pengendalian kecukupan obat
Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap penggunaan dan permintaan obat olehunit pelayanan kesehatan dapat terpantau, sehingga kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik.
ü  Perbaikan sistem suplai
Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti bahwa di tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang paling dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau.
ü  Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat
Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing pusat pelayanan kesehatan, formulir formulir resep dengan jumlah R/ yang terbatas, dan sebagainya.
ü  Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumah-rumah Sakit
Komite Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.
ü  Informasi Harga
Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta pasien/masyarakat.
ü  Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan cost-sharing.
3.      Intervensi regulasi (regulatory strategies)
Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang mengikat secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap penyimpangan terhadap pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini sering dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan profesi. Padahal jika kita simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara maju pun sistem pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan. Hal ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional merupakan komponen terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan. Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasiobat bagi obat jadi yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan generik, dan lain-lain.
ü  Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
ü  Formularium Obat
ü  Upaya Informasi
Ø  Bagi dokter, intervensi informasi bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Mutu informasi yang tersedia hendaknya tetap dipelihara dengan cara menyeleksi secara ketat sumber informasi yang handal, tidak memihak/seimbang dan bebas dari pengaruh promosi industri farmasi.
Ø  Bagi apoteker, sebagai dispenser (penyerah obat),intervensi informasi bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memperoleh informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Dengan informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan cara menyimpan dan minum obat secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan.
Ø  Bagi pasien/masyarakat, intervensi informasi lebih ditujukan untuk mendidik agar memahami dengan benar setiap upaya pengobatan yang diberikan, karena keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh ketaatan pasien untuk menjalankan setiap upaya pengobatan yang diberikan oleh dokter. Dengan demikian, selama dokter dapat memberikan informasi yang benar kepada pasien, maka tidak mungkin pasien berniat mendikte dokter, apalagi memaksakan kehendak untuk mendapatkan jenis terapi tertentu. Informasi yang disampaikan kepada pasien antara lain:
 1. Informasi mengenai penyakit yang diderita.
 2. Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
 3. Informasi mengenai cara, frekuensi dan lama penggunaan obat.
 4. Kemungkinan resiko efek samping obat.
 5. Cara penanggulangan efek samping.
6. Apa yang harus dilakukan jika dalam periode waktu tertentu obat   belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.
7. Informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan selain pengobatan yang diberikan, seperti misalnya diet karbohidrat dan olahraga untuk penderitadiabetes, anjuran untuk banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya untuk penderita common cold.

2.5       Indikator Penggunaan Obat Yang Rasional
Indikator penggunaan obat yang rasional bertujuan untuk melakukan pengukuran terhadap capaian keberhasilan upaya dan intervensi dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Indikator inti
ü  Indikator peresepan
Ø  Rerata jumlah item dalam tiap resep.
Ø  Persentase peresepan dengan nama generik.
Ø  Persentase peresepan dengan antibiotik.
Ø  Persentase peresepan dengan suntikan.
Ø  Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar
Obat Esensial.
ü  Indikator Pelayanan
Ø  Rerata waktu konsultasi.
Ø  Rerata waktu penyerahan obat.
Ø  Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
Ø  Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
ü  Indikator Fasilitas
Ø  Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
Ø  Ketersediaan Daftar Obat Esensial.
Ø  Ketersediaan key drugs
2.      Indikator tambahan
ü  Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.
ü  Rerata biaya obat tiap peresepan.
ü  Persentase biaya untuk antibiotik.
ü  Persentase biaya untuk suntikan.
ü  Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
ü  Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang
diberikan.
ü  Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses
kepada informasi yang obyektif.

2.6              Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Yang Rasional
ü  Tujuan pemantauan penggunaan obat yang rasional
Adalah untuk menilai apakah kenyataan praktek penggunaan obat yang dilakukan telah sesuai dengan pedoman yang disepakati.
ü  Manfaat pemantuan penggunaan obat yang rasional
Yaitu dapat mendeteksi adanya kemungkinan pemakaian obat yang berlebih, atau kurang bahkan pemakaian obat yang boros serta dapat bermanfaat dalam perencanaan obat.
ü  Hal-hal yang perlu dipantau dalam penggunaan obat yang rasional
Ø  Kecocokan antara gejala (symstoms), diagnosis dan pengobatan yang diberikan.
Ø  Kesesuaian pengobatan yang diberikan dengan pengoabatan yang ada
Ø  Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas
Ø  Praktek polifarmasi
Ø  Ketepatan indikasi
Ø  Ketepatan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian
Ø  Kesesuain obat dengan kondii pasien
ü  Monitoring dan evaluasi
Ø  Indikator peresepan
Ada 4 parameter utama yang akan dinilai dalam monitoring dan evaluasi penggunaan obat yang rasional adalah:
·         Penggunaan standar pengobatan
·         Proeses pengobatan (penerapan SOP)
·         Ketepatan diagnostik
·         Ketepatan pemilihan intervensi pengobatan
Ø  Pengumpulan data peresepan
Ø  Cara pengisian
Ø  Pengolahan/penyajian data
Ø  Pengiriman laporan


BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Pemberian obat yang aman, bernutu dan bermanfaat adalah tujuan utama dalam pengobatan pasien. Untuk menjamin obat yang aman, bermutu dan bermanfaat maka penggunaan obat yang rasional merupakan bagian yang terpenting yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan terutama oleh tenaga farmasis.


DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Quick, J.D., Rankin, J.R, Laing, R.O., O’Connor.R.W. (1997). Managing Drug Supply. second edition. Boston: Kumarin Press.
Vance A.M., Millington W.R. (1986). Principle of Irrational Drug Therapy. International Journal of Health Sciences 16 (3), 355-361.

World Health Organization. (2002). Promoting Rational Use of Medicine: Core Components. Geneva: WHO Policy Perspective on Essential Drug.



No comments: