Wednesday, 27 February 2019

FORMULASI SEDIAAN OBAT SUSPENSI KERING CEFIKSIM TRIHIDRAT

TUGAS FORMULASI SEDIAAN OBAT
SUSPENSI KERING CEFIKSIM TRIHIDRAT


Oleh :
KELOMPOK 2


Putri Sefrianti              28 05 005
Fatma Zahra                28 05 006
Hartati Bawamenewi  28 05 007
Etika Nila Permata      28 05 008

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS
PADANG
2019


A.    Formula Awal
Dosis cefiksim trihidrat yang beredar dipasaran : 200 mg/5 ml. Berdasarkan hal ini, dibuat formula sebagai berikut:
Sefiksim trihidrat 0,04 g
Avicel RC-591  1,2%
Sukrosa  67%
Tween 80  0,1%
Natrium benzoat. 0,1%
Strawberry Essence 0,25%
Eritrosin   0,01%

B.     Alasan Pemilihan Bentuk Sediaan
1.      Bentuk sediaan
Bentuk sediaan yang dipilih adalah sispensi kering
2.      Pertimbangan farmasetik/biofarmasetik
-          Sefiksim trihidrat agak sukar larut dalam air sehingga dipilih bentuk sediaan dalam bentuk suspensi kering
-          Kenyamanan dan keefektifan dalam pemakaian atau penggunaan dibandingkan bentuk sediaan lain. Misalnya bentuk tablet hanya bisa digunakan oleh orang dewasa.
3.      Pertimbangan farmakokinetik
Penggunaan Sefiksim trihidrat peroral tidak diabsorbsi ke sirkulasi sistemik, penggunaan Sefiksim trihidrat ini bekerja secara langsung ditempat yang sakit atau bersifat lokal.
4.      Pertimbangan farmakodinamik
Memberikan efek yang langsung dan cepat karena bersifat lokal.

C.    Alasan pemilihan bahan
1.      Sefiksim trihidrat (Martindal, edisi 36)
Berfungsi sebagai zat berkhasiat. Cefiksim diklasifikasikan sebagai antibakteri generasi ketiga dan diberikan secara oral dalam pengobatan infeksi yang rentan termasuk gonore, otitis  media, faringitis, infeksi saluran pernafasan bawah, seperti bronkitis, dan infeksi saluran kemih.
2.      Avicel RC -591
Digunakan sebagai suspending agent, dapat meningkatkan viskositas sediaan Digunakan dalam kadar lebih dari 1,2% (Hope ed.6). Selain itu juga dapat digunakan sebagai pengikat yakni dalam rentang 5-20 % ( hope ed.6)
3.      Sukrosa
Digunakan sebagai pemanis yang dapat menutupi rasa tidak enak dari zat aktif, serta juga dapat meningkatkan viskositas dari pengencer padat saat suspensi direkonstitusi. Digunakan dalam kadar 67% ( hope ed. 6)
4.      Tween 80
Sebagai wetting agent non ionik yang kebanyakan kompatibel dengan eksipien kationik dan anionik dari obat. Biasanya digunakan dalam kadar kecil dari 0,1%. (hope ed.6). Dalam pembuatan suspensi penggunaan zat pembasah sangat berguna dalam penurunan tegangan antar muka partikel padat dan pembawa, sehingga dapat membantu zat padat terdispersi sempurna dalam larutan. Zat-zat hidrofilik dapat dengan mudah dibasahi oleh air atau cairan polar lainnya sehingga dapat meningkatkan viskositas suspensi air dengan besar. Sedangkan zat hidrofilik menolak air, tetapi dapat dibasahi oleh cairan non polar. Zat hidrofilik biasanya dapat digabung menjadi suspensi tanpa zat pembasah
5.      Natrium benzoat
Digunakan sebagai pengawet yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme dalam sediaan. Digunakan pada rentang kadar 0,01-1% ( hope ed.6). Syarat dari pengawet adalah:
-          Pengawet harus efektif terhadap mikroorganisme spekteum luas
-         Pengawet harus stabil secara fisika, kimia dan biologi selama masa berlaku produk tersebut.
-   Pengawet harus tidak toksik, mensensititasi, larut dengan memadai, dapat bercampur dengan komponen formulasi lain dan dapat diterima dari segi rasa dan bau pada konsentrasi yang digunakan
7.      Strowberry essens dan eritrosin
Digunakan sebagai peningkat estetika sediaan dan meningkatkan penerimaan pasien strowberry essens sebagai pemberi rasa dan eritrosin memberikan warna pink.

D.    Monografi Bahan Aktif Dan Bahan Tambahan
1.     
 Cefiximum / Asam Karboksilat Trihidrat / Sefiksim (C16H15N5O7S2,3H2O)

  Produk semisintetik yang berasal dari produk fermentasi. Mengandung 95,0 %  hingga 102,0 % zat anhidrat. Pemerian : serbuk putih atau hampir putih, sedikit higroskopis. Kelarutan : sedikit larut dalam air, larut dalam metanol, sedikit larut dalam etanol anhidrat, praktis tidak larut dalam etil asetat.
2.      Avicel
Avicel dikenal juga dengan nama Mikrokristalin Selulose. Serbuk berwarna putih, tidak berbau dan tidak larut dalam air. Terdiri dari selulose yang mengalami depolimerasi, yang dibuat dengan jalan menghidrolisa selulosa kayu yang murni dengan asam. Untuk penggunaan dalam bidang farmasi ada 2 macam:
a.       Yang dapat membentuk dispersi kolloid dalam air
b.      Yang tidak terdispersi dalam air
3. Sucrosum (Sukrosa)
          Sukrosa adalah gula yag diperoleh dari Saccharum officinarum LinnĂ© (Famillia Gramineae), Beta vulgaris LinnĂ© (Famillia Chenopodiaceae) dan sumber-sumber lain. Tidak mengandung bahan tambahan. Pemerian : hablur putih atau tidak berwarna; massa hablur atau berbentuk kubus, atau serbuk hablur putih; tidak berbau;rasa manis, stabil diudara. Larutannya netral terhadap lakmus. Kelarutan : sangat  mudah larut dalam air; lebih mudah larut dalam air mendidih; sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (FI IV, 762).
4. Polysorbatum-80 (Tween 80)
          Polysorbatum-80 adalah hasil kondensasi oleat dari sorbital dan anhidridanya dengan etilenoksida. Tiap molekul sorbital dan anhidridanya berkondensasi dengan lebih kurang 20 molekul etilenoksida. Pemerian : cairan kental seperti minyak; jernih, kuning : bau asam lemak, khas. Kelarutan : mudah larut dalam air,dalam etanol (95%) P, dalam etil asetat P dan dalam metanol P; sukor larut dalam parafin cair P dan dalam minyak biji kapas P .
5.      Natrium Benzoat (C7H5NaO2) BM 144,11
        Natrium Benzoat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C7H5NaO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian granul atau serbuk hablur, putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau; stabil di udara. Kelarutan Mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol dan lebih mudah larut dalam etanol 90%. Identifikasi Menunjukkan reaksi Natrium cara A dan B dan Benzoat seperti tertera pada uji identifikasi umum (FI V, 892).
6. Strawberry Essence (Handbook of pharmaceutical, 6).
Rumus molekul       : C16H19N3O4S
BM                         : 349,40
BJ                           : 1,49 G/cm3
pH                           : 5,3
Pemerian                 : cairan jernih berwarna merah
Kelarutan                : larut dalam air dan alkohol 90%
Kegunaan               : pewarna dan pewangi
Penyimpanan          : dalam wadah tertutup baik sejuk dan kering,
                                terhindar dari  cahaya matahari
7.      Eritrosin (Martindale, edisi 36).
Rumus molekul       : C20H614Nu2O5
BM                         : 897,9
Pemerian                 : serbuk halus berwarna merah
Kelarutan                : larut dalam air
Stabilitas                 : tidak stabil terhadap udara
Kegunaan               : bahan pewarna
Penyimpanan          : wadah kedap udara, tidak tembus cahaya

E. Perhitungan Dan Penimbangan Bahan


No
Nama Obat
Skala labolatorium
Skala pilot
Skala industri
Tiap ml
60 ml (1 botol)
125 botol (7,5 L)
60 L
(1000 botol)
480 L (8000 botol)
1
Cefiksim trihidrat
0,04 mg
0,04 mgx 60 = 2,4 g
300 g
2,4 kg
19,2 kg
2
Avicel RC-591
1,2%
1,2/100x 60 =
0,72 g
90 g
720 g
5,76  kg
3
Sukrosa
67%
67/100 x 60 = 40,2 g
5,025 kg
40,2 kg
321.,6 kg
4
Tween 80
0,1%
0,1/100 x 60 = 0,06 g
7,5 g
60 g
480 g
5
Natrium benzoat
0,1%
0,1/100 x 60 = 0,06 g
7,5 g
60 g
480 g
6
Strawberry essence
0,25%
0,25/100 x 60= 0,15 g
18,75 g
150 g
1,2 kg
7
Eritrosin
0,01%
0,01/100x 60 = 0,006 g
0,75 g
6 g
48     G 












F.     Cara Kerja
1.      Pemeriksaan mesin pencampur, pengayakan granul dan pengeringan
2.      Pemeriksaan kebersihan wadah
3.  Penggerusan Cefixime tryhidrat dalam wadah baja tahan karat sampai halus dengan menambah tween 80 (M1)
4.      Penggerusan Sukrosa sampai halus + Avicevl RC-591 + (M1) + Natrium Benzoat + eritrosin + strawberry essense di campurkan sampai homgen
5.      Diayak menggunakan mesh 20
6.      Selanjutnya dimasukkan ke dalam mesin pengering granul pada suhu 40-50°C
7.      Setelah kering diayak kembali menggunakan mesh 40
8.      Dimasukkan ke dalam wadah, diberi etiket dan brosur
9.      Dimasukkan ke dalam kotak

G.    Evaluasi
1.      Uji fisik
a.      Organoleptis (FI ed IV, 1995)
-          Persyaratan :
Pemeriksaan organoleptik yang dilakukan meliputi bau, warna, dan rasa dari sediaan suspense kering sehingga diketahui tampilan dari sediaan tersebut dari dalam keadaan baik.
-          Cara penetapan :
Dilakukan dengan cara melihat warna, mencium bau, dan merasakan rasa suspensi kering.
b.      Uji Kadar Air (ASEAN countries, 1993)
-          Persyaratan :
Kadar air untuk sediaan obat tidak lebih dari 10 %
-          Cara penetapan :
Dengan metode titrimetri :
Masukkan 35 mL air hingga 40 mL methanol atau pelarut lain yang sesui ke dalam labu titrasi, dan titrasi dengan pereaksi (kari fischer) sampai titik akhir secara elektrometrik atau visual untuk menetapkan kelembaban yang mungkin ada. Tambahkan segera larutan uji, campur dan titrasi dengan pereaksi sampai titik akhir secara elektrometrik atau visual. Hitung kadar air dalam zat uji dalam mg dengan rumus :
S X F
Dimana S = Volume dalam mL pereaksi dan  F = Faktor kesetaraan air dari pereaksi
c.       Uji Laju Alir (Lachman L, Lieberman HA, Kaning JL.1994)
-          Persyaratan :
Semakin besar nilai laju alir dari suspense kering maka laju alir akan semakin baik dan suspense kering tersebut semakin mudah dituang.
-          Cara penetapan :
Sebanyak 10 gram suspensi kering dimasukkan dalam corong pada alat uji dan diratakan. Waktu yang diperlukan seluruh granul untuk melalui corong tersebut dicatat. Laju alir dapat dinyatakan sebagai banyaknya gram serbuk yang melewati celah mesin per detik.
d.      Massa Jenis (FI ed IV, 1995)
-          Persyaratan : Æ¿ < 1,00 g/cm³
-          Cara penetapan :
Piknometer kosong yang bersih dan kering ditimbang (a). kemudian aquadest dimasukkan ke dalam piknometer dan ditimbang beratnya (b). piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Suspensi dimasukkan ke dalam piknometer, kemudian ditimbang beratnya (c). Massa jenis suspensi ditantukan menggunakan persamaan :
Ç· =
e.       Uji Distribusi Ukuran Pertikel (FI ed IV, 1995)
-          Persyaratan : pemeriksaan ikuran pertikel > 1-100 µ
-          Cara penetapan;
Sebanyak 20 gram suspensi kering ditimbang kemudian dimasukkan dan diratakan dalam ayakan bertingkat. Alat dioperasikan pada kecepatan 15 rpm selama 20 menit. Setiap granul yang tertahan pada masing-masing ayakan ditimbang dan dihitung persentasenya.
f.       Homogenitas (FI ed III, 1979)
-          Persyaratan :
suspensi yang homogen akan memperlihatkan jumlah/distribusi ukuran pertikel yang relative hamper sama (suspensi dikocok lebih dulu).
-          Cara penetapan;
Sampel diteteskan pada berbagai kaca objek lain sehingga terbentuk lapisan tipis. Partikel diamati secara visual.
g.      Volume sedimentasi (Lachman, 1994)
-          Persyaratan :
Bila F = 1 dinyatakan sebagai “ flocculation equilibrium”, merupakan sediaan yang baik. Demikian bila F mendekati 1.
Bila F > 1, terjadi “floc” sangat longgar dan halus sehingga volume akhir lebih besar dari volume awal, maka perlu ditambahkan zat tambahan.
-          Cara penetapan :
Sedimen dimasukkan ke dalam tabung sedimen yang berskala
Volume yang diisikan merupakan volume awal (VO)
Setelah beberapa waktu/hari, amati volume akhir dengan terjadinya volume sedimentasi, volume tersebut diukur (VO)
Hitung volume sedimentasi (F)
F =
Buat kurva/grafik antara F (sumbu y) terhadap waktu (sumbu x)
h.      Kemampuan Redispersi (Lachman, 1994)
-          Persyaratan :
Kemampuan redispersi baik bila suspense dapat terdispersi dengan mudah pada umumnya memiliki nilai F yang tinggi karena rendahnya nilai F mengindikasikan terjadinya caking.
-          Cara penetapan ;
Penetapan redispersi dapat dilakukan setelah evaluasi volume sidementasinya selesai dilakukan. Tabung reaksi berisi suspensi yang telah dievaluasi volume sidementasinya diputar 180 derajat dibalikan ke posisi semula.
i.        Penentuan sudut istirahat (Ansel, HC, 1989)
-          Persyaratan ;
Kriteria sudut istirahat
É‘ < 25°, istimewa
25° < É‘ < 40°, sedang (diperbaiki dengan glidan)
É‘ > 40°, sangat jelek (diperbaiki dengan glidan)
-          Cara penetapan :
Sejumlah massa dimasukkan ke dalam corong alat uji laju alir. Massa yang jatuh akan membentuk bukit, sudut istirahat diperoleh dengan cara menghitung contangent antara tinggi bukit dari suspensi kering yang terbentuk dan garis tengah antar bukit.
É‘ = arc tg h/r
Dimana :
É‘ = sudut istirahat
h = tinggi bukit
r = jari-jari alas bukit
j.        Uji Waktu Rekonstitusi (FI ed IV, 1995)
-          Persyaratan ;
Semakin cepat waktu rekonstitusi maka sediaan tersebut semakin baik.
-          Penetapan ;
Sebanyak 10 gram suspensi kering ditimbang dan dimasukkan kedalam wadah sachet, lalu dimasukkan dalam 200 mL air. Setiap formulasi diberikan dua perlakuan yaitu rekonstitusi dengan air pada suhu 40°C dan 80°C pengamatan dilakukan terhadap kecepatan suspensi kering tersuspensi, semakin cepat waktu rekonstitusi maka sediaan tersebut semakin baik.
k.      Uji Viskositas (Martin A, Swarbrick J & Cammarata  A, 1993)
-          Persyaratan ;
Waktu pengukuran paling baik adalah minimun 30 detik.
-          Cara penetapan ;
Larutkan 10 gram suspensi kering dalam 200 mL air, kemudian masukkan ke dalam tabung pada viscometer, hitung waktu yang dibutuhkan bola untuk melewati tanda pada tabung.
l.        Penentuan Volume Terpindahkan ((FI ed IV,1995)
-          Persyaratan :
·         Volume tiap campuran : volume rata-rata suspensi yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang dari 10 % dan tidak satupun volume wadah yang kurang dari 95 % dari volume yang dinyatakan di etiket.
·         Jika A adalah volume rata - rata yang kurang dari 100 % yang tertera pada etket akan tetapi tidak ada satu wadahpun kurang dari 95 % dari volume yang tertera pada etiket atau B tidak lebih dari satu wadah volume kurang dari 95 % tetapi tidak kurang dari 90 % dari volume, lakukan pengujian terhadap 20wadah tambahan . volume rata-rata suspensi yang diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100 % dari volume yang tertera pada etiketdan tidak lebih dari satu 30 wadah volume kurang dari 95 %, tetapi tidak kurang dari 90 % seperti yang tertera pada etiket.
-          Cara penetapan :
a.       Pilih tidak kurang dari 30 wadah
b.      Kocok isi 10 wadah satu persatu, atau bila serbuk yangdikonstitusi maka konstitusi 10 wadah dengan pembawa seperti tertera pada etiket yang diukur secara seksama dan campur.
c.       Tuang isi perlaha-lahan dari tiap wadah kedalam gelas ukur kering terpisah dengan kapasitar gelas ukur tidak lebih dari 2,5 kali volume yang diukur dan telah di kalibrasi secara hati-hati untuk menghindari pembentukan gelembung udara pada waktu penuangan dan didiamkan selama tidak lebih dari 30 m3nit. Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume tiap campuran.

2.      Uji Kimia
a.       Uji pH (FI ed IV, 1995)
-          Persyaratan ;
pH antara 6-8
-          Cara penetapan :
Menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, periksa elektroda dan jembatan garam. Kalibrasi pH meter. Bilas elektroda dan sel beberapa kali dengan larutan uji dan isi sel dengan sedikit larutan uji . baca harga pH. Harga pH yang ditunjukkan merupakan pH sediaan.
b.      Identifikasi cefixim (EP, 2014)
-          Metode : kromatografi Cair kinerja tingg

3.      Uji Mikrobiologi
a.       Uji Batas Mikroba (FI ed IV, 1995)
-          Persyaratan :
Jika tidak ditemukan koloni dalam enceran awal 1 ; 10 nyatakan hasil pengujian sebagai kurang dari 10 mikroba per mL specimen.
-          Cara penetapan :
Kedalam setiap tabung dari 14 tabung berukuran sama tambahkan masing-masing 9 mL media FSDC steril. Pisahkan 12 tabung dan bagi dalam 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 3 tabung. 1 kelompok sebagai control dan 3 kelompok lain sebagai : 1 kelompok (“ 100”), kelompok 2 (“10”), kelompok 3 (“1”), dan 2 tabung lainnya masing-masing dinyatakan sebagai tabung A dan tabung B.  kedalam masin-masing tabung kelompok 1 (“100”) dan tabung A dimasukkan 1 mL larutan atau suspensi specimen dan campur. Dari tabung A di pipet 1 mL kedalam tabung B, dan campur. Tabung A dan tabung B masing-masing akan berisi 100 mg dan 10 mg specimen. Kedalam masing-masing kelompok 2 (“10”) tambahkan 1 mL dari tabung A, dan ke dalam masing-masing tabung kelompok 3 (“1”) tambahkan 1 mL dari tabung B. buang sisi isi dari tabung A dan tabung B. tutup baik-baik semua tabyng dan inkubasikan, setelah inkubasi amati adanya pertumbuhan di dalam tabung, ketiga tabung control akan tetap jernih, dan berdasarkan ada tidaknya pertumbuhandi kelompok 1, kelompok 2, kelompok 3.
b.      Uji Potensi untuk Antibiotik (Wattimena et al., 1991)
Penetapan aktivitas antibiotik secara invitro dapat dikelompokkan kedalam du acara yaitu:
1.      Cara difusi agar menggunakan cakram kertas, silinder atau cekungan sebagai reservoir antibiotik.
Difusi adalah perpindahan posisi molekul secara acak dari suatu tempat ke tempat lain. Menurut hokum Fick, larutan antibiotik yang bersdifusi dalam media agar akan terjadi gradien konsentrasi dimana dalam interval waktu tertentu akan menunjukkan suatu kecepatan difusi. Pada penetapan potensi cara difusi agar zat yang akan diperiksa berdifusi dari pecadang lalu masuk ke dalam media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji kemudian menghambat pertumbuhan bakteri. Bakteri uji baik berbentuk vegetatif/bentuk sporanya, pada inkubasi setelah fase log, akan membaik sampai kesuatu tingkat dimana terdapat cukup sel-sel yang akan mengadsorpsi antibiotic sehingga mencegah difusi selanjutnya dari antibiotik sehingga mencegah difusi selanjutnya dari antibiotik dan terbentuk batas daerah hambatan pertumbuhan .
Tiga Teknik dalam menetapkan potensi berdasarkan difusi agar cara lempeng:
a.       Teknik cawan piringan kertas
Metode cawan piringan kertas merupakan teknik yang paling umum dipakai untuk menetapkan kerentanan mikroorganisme terhadap antibiotik. Piringan-piringan kertas kecil yang mengandung zat aktif berbeda-beda dalam jumlah tertentu diletakkan pada permukaan cawan yang telah diinokulasi. Setelah inkubasi, dilakukan pengamatan terhadap adanya zona penghambatan (daerah bening) di sekeliling piringan yang menunjukkan bahwa organisme itu dihambat pertumbuhannya oleh zat tersebut yang merembes dari piringan kedalam agar. Dalam Teknik ini harus diketahui jumlah zat microbial yang terkandung dalam piringan kertas, begitu pula medium ujinya, jumlah inoculum, keadaan inkubasi, dan perincian lainnya.
b.      Teknik perforasi
Agar yang masih cair pada suhu 37°C dicampurkan dengan suspensi bakteri pada cawan petri steril, dibiarkan memadat. Setelah agar memdat, dibuat lubang-lubang dengan perforator dan kedalam lubang tersebut dimasukkan zat yang akan diuji aktivitas antibakterinya kemudian di inkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37°C. Aktivitas antibakteri dapat dilihat dari daerah hambatan yang terjadi disekelilingnya berupa daerah bening.
c.       Teknik silinder
Enam silinder tahan karat dijatuhkan diketinggian 12 mm kepermukaan inokulum pada cawan petri. Jarak antara titik tengah silinder dengan silinder lainnya kurang lebih 28-30 mm. silinder diisi dengan larutan pembanding dan sediaan uji sedemikian rupa sehingga letak silinder yang berisi larutan pembanding dan uji berselang-seling, cawan diinkubasikan pada suhu 30-35°C selama 16-18 jam. Silinder diangkat dan diameter daerah hambat diukur.
2.      Cara turbidimetri pada media cair
Metode turbidimetri berdasarkan atas hambatan pertumbuhan biakan mikroba dalam larutan serba sama antibiotik yang ditunjukkan oleh kekeruhan media pertumbuhan mikroorganisme dan diukur dengan alat yang sesui misalnya spektrofotometer.

H.    Etiket, Brosur dan Kotak
        1. Etiket


        2. Brosur



      3. Kotak




DAFTAR PUSTAKA

Aiache, J. M., dan Devissaguet, J. Ph., 1993, Farmasetika 2 Biofarmasi diterjemahkan oleh Dr. Widji Soeratri, Edisi kedua, Hal 405-433, Airlangga University Press, Surabaya
Allen, L.V. 2009. Hanbook of Pharmaceutical Excipients, Sixth Edition. London. Pharmaceutical press and American Pharmacist Asspsiation.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia.  Edisi IV. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi IV. UI Press. Jakarta.
Lachman, L., Liwbarman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi II. UI Press. Jakarta
Martindale. (2009). The Complete Drug References 36th Edition.Pharmaceutical London Chicago
Wattimena.1991. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada Univercity Press, Yogyakarta



Friday, 25 January 2019

STROKE ISKEMIK DAN STROKE HEMORAGIC



PENGERTIAN STROKE
Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke otak terganggu atau berkurang akibat penyumbatan (stroke iskemik)  atau pecahnya pembuluh darah (stroke hemoragic)

FAKTOR RESIKO STROKE
a.      Tidak bisa dimodifikasi: usia, jenis kelamin, ras , keturunan
b.     Bisa dimodifikasi : hipertensi daan penyakit jantung (jantung coroner, gagal jantung, hipertropi ventrikel kiri, fibrilasi atrial), iskemia, diabetes mellitus, dislipidemia, dan merokok.

PATOFISIOLOGI (dipirro 9th, 120)
a.      Stroke iskemik
-      Stroke iskemik disebabkan oleh pembentukan thrombus atau emboli yang menghambat arteri serebral.  Aterosklerosis serebral adalah factor penyebab dalam kebanyakan masalah stroke iskemik. Emboli dapat muncul dari arteri intra dan extra kranial. Dua puluh persen stroke emboli muncul dari jantung.
-     Pada arterosklerosis carotid, plak dapat rusak karena paparan kolagen , agregasi platelet, dan pembentukan terombus.bekuan dapat menyebabkan hambatan sekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal, pada akhirnya akan menghambat pembuluh serebral.
-     Dalam masalah embolisme kardiogen, aliran darah yang berhenti dalam atrium atau ventrikel mengarah ke pembentukan bekuan local yang pelepasan bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral.
-    Hasil akhir, baik pembentukan thrombus dan embolisme adalah hambatan arteri, penurunan aliran darah serebral, dan penyebab iskemia dan akhirnya infark distal mengarah hambatan.

b.      Stroke hemoragic
-   Sejumlah 13% stroke adalah stroke pendarahan dan termasuk pendarahan subarachnoid, pendarahan intra serebral dan subdural hematomas, hal ini terjadi akibat trauma atau pecahnya aneurisma intracranial atau malformasi arteri-vena.
-      Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neurotoksik dan produk uraiannya.

MANIFESTASI KLINIK
-      Kemampuan kognitif dan bahasa pasien menurun sehingga tidak bisa memberikan informasi yang bisa dipercaya.
-    Pasien mengalami kelemahan pada sisi tubuh, ketidakmampuan berbicara, kehilangan kemampuan melihat, vertigo, jatuh.
-      Sroke iskemia biasanya tidak menyakitkan , tetapi sakit kepala dapat terjadi dan lebih parah dari stroke iskemik.
-        Disfungsi system syaraf
-        Penurunan hemiparesis atau monopharesis
-        Kerusakan daerah penglihatan
-        Kehilangan kesadaran

TERAPI (dipirro 9th, 120)
a.      Tujuan terapi
Tujuan terapi stroke akut:
1.  Mengurangi luka system syaraf yang sedang berlangsung dan menurunkan kematian dan cacat jangka panjang.
2.      Mencegah komplikasi sekunder untuk imobilitas dan disfungsi system syaraf
3.      Mencegah kekambuhan stroke.

b.      Pendekatan umum
-          Memastikan dukungan pernafasan dan pemeriksaan stroke secara cepat dengan Ct-Scan.
-   Pasien stroke iskemia menunjukkan dalam beberapa  jam terjadinya gejala seharusnya dievaluasi untuk terapi perfusi.
-     Peningkatan tekanan darah seharusnya mengingatkan tidak  terobatinya periode akut (7 hari pertama) setelah strok iskemia  karena resiko penurunan aliraan darah ke otak dan gejala yang lebih buruk. Tekanan seharusnya  diturunkan jika meningkat hingga 220/120 atau terdapat pembedahan aortic, infark miokard akut, edema pulmonary, atau ensefalopati hipersensitif. Jika tekanan darah diobati dalam fase akut, senyawa parenteral kerja cepat (labetolol, nikardipine, nitropusid) lebih baik digunakan.
-   Pasien pendarahan stroke seharusnya diperiksa untuk mengetahui apakah mereka perlu dioperasi melalui endovaskuler atau pendekatan kraniotomi.
-    Setelah fase hiperakut lewat, perhatian ditujukan pada pencegahan penurunan bertahap , minimalisir komplikasi dan merancang strategi pencegahan sekunder yang tepat.

c.       Terapi non farmakologi
-   Pada pasien stroke iskemik akut, penanganan operasi terbatas. Operasi dekompresi dapat menyelamatkan hidup dalam kasus pembengkakan significant yang berhubungan dengan infark serebral. Pendekatan interdisipliner untuk penangan stroke yang mencakup rehabilitasi awal sangat efektif dalam pengurangan kejadian stroke dan terjadinya stroke berulang pada pasien tertentu.
-      Pendarahan subarachnoid oleh rusaknya aneurisme intracranial atau cacatarteriovenosus, operasi untuk memotong atau memindahkan pembuluh darah penting dilakukan untuk mengurangi kematian dan pendarahan.
-       Pada pasien hematomas intraserebral , insersi pada saluran pembuluh darah dengan pemantauan tekanan intracranial umum dilakukan.
-       Operasi dekompresi hematoma masih diperdebatkan sebagai penyelamat terakhir dalam kondisi terancamnya hidup.

d.      Terapi farmakologi
a.      Stroke iskemik
Rekomendasi untuk farmakoerapi stroke iskemik
-          Alteplase diawali dalam 3 jam munculnya gejala telah diperlihatkan mengurangi ccat hebat disebabkan stroke iskemik. CT  scan hrus dilakukan untuk mencegah pendarahan sebelum terapi dimulai. Pasien harus diketahui termasuk kriteria inklusi spesifik dan bukan kriteria eklusi  (lihat table). Dosis 0,9 mg/kg  (maksimal 90 mg) diberikan secara infus intravena sampai satu jam seteah bolus 10%dosis total diberikan sampai 1 menit. Terapi antikoagulan dan terapi platelet seharusnya dihindarkan selama 24 jam  dan pendarahan pasien harus dipantau lebih dekat lagi.
-          Alpirin 50-325 mg/hari dimulai antara 24-48 jam setelah alteplase dilengkapi juga ditunjukkan untuk mengurangi kematian dan cacat jangka panjang.

-          Panduan AACP (American college of chest phyisician) untuk penggunaan terapi antitrombolitik dalam pencegahan sekunder stroke iskemik menganjurkan terapi antiplatelet sebagai dasar untuk pencegahan sekunder dalam strok nonkardioemboli. Aspirin, klopidogrel dan pelepasan diperluas klopidogrel dengan aspirin semuanya dipertimbangkan sebagai senyawa antiplatelet utama.
-          Tiklopidin dicadangkan untuk pasien yang gagal atau tidak dapat menerima terapi lain karena efek sampingnya (neutropenia, anemia aplastic, purpura trombositopenia thrombosis, ruam, diare, hiperkolesteromia).
-          Kombinasi aspirin dan klopidogrel hanya dianjurkan pada pasien dengan stroke iskemik dan riwayat terbaru infark miokard atau kejadian coroner lain dan hanya dengan aspirin dengan dosis sangat rendah untuk meminimalisisr pendarahan.
-          Joint National commite  (JNC 7) menganjurkan ACEI dan diuretic untuk mengurangi tekanan darah pada pasien stroke setelah periode akut (7 hari pertama). Yang tidak bisa menerim ACEI, ARB bisa dipertimbngkan.
-          National cholesterol education prognam (NCEP) mempertimbangkan stroke iskemik dengan resiko koroner dan menganjurkan penggunaan statin untuk mencapai konsentrasi low-density lipoprotein (LDL) kurang dari 100 mg/dl.
-          Heparin dianjurkan untuk  untuk pencegahan trombosis vena pada pasien rawat inap dan penurunan mobilitas disebabkan stroke

b.      Stroke pendarahan
Pendarahan subarachnoid disebabkan aneurisme berhubungan dengan kejadian iskemia serebral tertunda dalam dua minggu setelah terjadinya pendarahan. Vasopasmus vaskulatur serebral diduga bertanggung jawab untuk iskemia tertunda dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah pendarahan. Calcium canal bloker nimodipin, direkomendasikan untuk mengurangi kejadian dan keparahan stroke ini.

EVALUASI TERAPETIK
-          Pantau pasien stroke akut secara intens untuk mengetahui perkembangan neurologis, komplikasi, dan efek pengobatan,
-          Alasan kemunduran klinis pada pasien stroke:
1.      Perluasan lesi diotak
2.      Pengembangan edema serebral dan peningkatan tekanan intracranial
3.      Hipertensi yang parah
4.      Infeksi
5.      Tromboemboli vena
6.      Kelainan elektrolit
7.      Stroke berulang.
Pendekatannya dirangkum dalam table dibawah:

Sumber:
Adnyana, I. K. Andrajati, R., Setiadi, A, P., Sigit J. I,. Sukanda, E. Y. 2008 ISO Farmakoterapi.  ISFI .:Jakarta
Dipiro.,JT., 2009, Pharmacotheraphy Handbook 7th Edition, Mc.Graw Hill, New York.