BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan obat yang
rasional didefinisikan sebagai suatu kondisi jika pasien menerima pengobatan
sesuai dengan kebutuhan klinisnya, baik dilihat dari regimen dosis yang sesuai,
lama pengobatan yang cukup dan biaya pengobatan yang lebih rendah. Peresepan obat
yang rasional sangat didambakan berbagai pihak, baik oleh dokter, apoteker,
maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat yang efektif dan efisien
(Mundariningsih et al., 2007). Jika
pasien menerima pengobatan yang tidak sesuai dengan definisi penggunaan obat
yang rasional tersebut maka telah terjadi ketidakrasionalan penggunaan obat.
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat menimbulkan dampak morbiditas dan
mortalitas yang serius terutama pada pasien anak dengan infeksi dan pasien
dengan penyakit kronis (WHO, 2002), dan pada skala besar secara signifikan
meningkatkan kejadian efek samping serta tingginya biaya pengobatan (Quick et al., 1997).
Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan
masalah serius dalam pelayanan kesehatan karena kemungkinan dampak negatif yang
terjadi. Di banyak negara, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, berbagai
studi dan temuan telah menunjukkan bahwa penggunaan obat jauh dari keadaan optimal
dan rasional. Banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam penggunaan obat pada
umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara
singkat, penggunaan obat (khususnya adalah peresepan obat atau prescribing),
dikatakan tidak rasional apabila kemungkinan memberikan manfaat sangat kecil
atau tidak ada sama sekali, sehingga tidak sebanding dengan kemungkinan efek
samping atau biayanya (Vance dan Millington, 1986).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
kriteria penggunaan obat dikatakan rasional?
2. Apa
ciri-ciri penggunaan obat dikatakan tidak rasional?
3. Bagaimana
dampak jika terjadi penggunaan obat tidak rasional?
4. Bagaimana
upaya meminimalkan penggunaan obat yang tidak rasional?
5. Apa
indikator penggunaan obat yang rasional?
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggunaan Obat Yang Rasional
Penggunaan
obat secara rasional (POR) atau rational use of medicine (RUM) merupakan suatu kampanye yang disebarkan
keseluruh dunia juga di Indonesia. WHO menjelaskan bahwa definisi penggunaan
obat yang rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan
kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode
waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan
masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan
biaya yang sesuai. POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan
yang efektif.
Penggunaan
obat yang dapat dianalisa adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga
kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien. Berikut ini kriteria suatu obat
dikatakan rasional menurut Peraturan Kementerian Kesehatan tahun 2011 adalah:
1.
Tepat diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis
yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses
pngobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada
diagnosis penyakit pasien. Contohnya pada pasien diare yang disebabkan
amoebiasis maka akan diberikan metronidazol. Jika dalam proses penegakan
diagnosisnya, penyebabnya bukan amoebiasis maka terapai tidak akan menggunakan
metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis
merupakan wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien,
apoteker mempunyai peras sebagai second opinion utnuk pasien yang telah
memiliki soft diagnosis.
2.
Tepat indikasi
Pasien
diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa dokter. Setiap obat
memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan
untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan
untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
3.
Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan
pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapt ditimbang dari
ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain ini,
obat juga harus terbukti manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan
jenis yang paling mudah didapatkan. Jenis obat yang digunakan pasien juga
seharusnya seminimal mungkin.
4.
Tepat dosis
Dosis obat digunakan harus sesuai range terapi obat
tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik
yang mempengaruhi kadar obat didalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga
harus disesuaikan dengan kondisi pasien dasi segi usia, bobot badan, maupun
kelainan tertentu.
5.
Tepat cara pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan
dan kondisi pasien. Hal ini juga berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat
pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet
paracetamol dapt diganti dengan sirup.
6.
Tepat interval waktu pemberian
Cara pemberian obat
hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh
pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali
sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3
x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harusdiminum dengan interval
setiap 8 jam.
7.
Tepat lama pemberian
Lama pemberian meliputi frekuensi
dan lama pembarian yang harus sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi
pemberian akan berkaitan dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek
terapi. Contohnya penggunaan antibiotik amoksisilin 500 mg dalam penggunaannya
diberikan tiga kali sehari selama tiga-5 hari akan membunuh bakteri patogen
yang ada. Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan
lama pemberian harus tepat.
8. Waspada
terhadap efek samping
Pemberian obat
potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul
pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah
pemberian atropin bukanalergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi
pembuluhdarah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak
kurangdari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang
sedang tumbuh.
9. Pasien
patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan ketidaktaatan minum obat
umumnya terjadi pada keadaan berikut:
1. Jenis
dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
2. Frekuensi
pemberian obat per hari terlalu sering
3. Jenis
sediaan obat terlalu beragam
4. Pemberian
obat dalam jangka panjang tanpa informasi
5. Pasien
tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang
cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
6. Timbulnya
efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urine
menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih
dahulu.
10. Obat
yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin
Untuk efektif dan aman
serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan
obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan
efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan
klinis.
11.
Tepat informasi
Informasi yang tepat
dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan
terapi. Sebagai contoh: peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine
penderitaberwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan,
penderitakemungkinan besar akan menghentikan minum obatkarena menduga obat
tersebut menyebabkan kencingdisertai darah. Padahal untuk penderita
tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang.
12. Tepat
tindak lanjut (follow-up)
Pada
saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak
lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek
samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering memberikan gejala
takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa
saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafi laksis,
pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada
pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti
yangdiharapkan.
13. Tepat
penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan
obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien
sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan
secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya.
14.
Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan
kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta
seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya
hamil, laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat.
15.
Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk
keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan
sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal.
2.2 Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak
Rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Peresepan berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan
obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang bersangkutan.Contoh:
1. Pemberian
antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus)
2. Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar
daripada yang dianjurkan.
3. Jumlah
obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit
tersebut.
4. Pemberian
obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek yang tidak
diinginkan seperti:
a) Interaksi
b) Efek
Samping
c) Intoksikasi
2. Peresepan kurang (underprescribing)
Yaitu
jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal
dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan
untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini. Contoh :
a. Pemberian
antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
b. Tidak
memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
c. Tidak
memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.
3. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan
beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga
termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat. Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
a. Amoksisilin
b. Parasetamol
c. Gliseril
guaiakolat
d. Deksametason
e. CTM
f. Dan
Luminal.
4. Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup
pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya
merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek
samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat
yangdiberikan kepada pasien, dan sebagainya. Contoh :
a. Pemberian
antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin & ofl oksasin) untuk
anak.
b. Meresepkan
asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol yang lebih aman.
Contoh lain ketidak
rasionalan penggunaan obat dalam praktek sehari hari:
a. Pemberian
obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh:
Pemberian
roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal intervensi gizi jauh
lebih bermanfaat.
b. Penggunaan
obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh:
Pemberian
injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
c. Penggunaan
obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh:
Frekuensi
pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yangbenar adalah diberikan 1 kaplet
tiap 8 jam.
d. Penggunaan
obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat lain dengan
manfaat yang sama tetapi jauhlebih aman tersedia.
Contoh:
Pemberian
metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit tenggorok atau sakit
menelan padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman dan efficacious.
e. Penggunaan
obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu yang sama dan
harga lebih murah tersedia.
Contoh:
Kecenderungan
untuk meresepkan obat bermerek yang relatif mahal padahal obat generik dengan
manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih murah tersedia.
f. Penggunaan
obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
Contoh:
Terlalu
cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena umumnya belum teruji
manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru dapat merugikan pasien.
g. Penggunaan
obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi yang keliru
dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh:
Kebiasaan
pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasayang selanjutnya akan mendorong
penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika datang dengan keluhan yang
sama.
2.3 Dampak
Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Beberapa dampak
dari penggunaan obat yang tidak rasional
adalah sebagai berikut:
1.
Dampak pada mutu pengobatan dan
pelayanan
Salah satu dampak
penggunaan obat yang tidak rasional adalah peningkatan angka morbiditas dan
mortalitas penyakit. Sebagai contoh, penderita diare akut non spesifik umumnya
mendapatkan antibiotika dan injeksi, sementara pemberian oralit (yang lebih
dianjurkan) umumnya kurang banyak dilakukan. Padahal diketahui bahwa resiko
terjadinya dehidrasi pada anak yang diare dapat membahayakan keselamatan jiwa
anak yang bersangkutan.
2.
Dampak
terhadap biaya pengobatan
Penggunaan obat tanpa
indikasi yang jelas, atau pemberian obat untuk keadaan yang sama sekali tidak
memerlukan terapi obat, jelas merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien.
Disini termasuk pula peresepan obat yang mahal, padahal alternatif obat yang
lain dengan manfaat dan keamanan sama dengan harga lebih terjangkau telah
tersedia.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping dan efek
lain yang tidak diharapkan
Dampak lain dari ketidakrasionalan
penggunaan obat adalahbmeningkatkan resiko terjadinya efek samping serta efek
lainyang tidak diharapkan, baikuntuk pasien maupun masyarakat.Beberapa data
berikut mewakili dampak negatif yang terjadi akibat penggunaan obat yang tidak
rasional:
a. Resiko
terjadinya penularan penyakit (misalnya hepatitis & HIV) meningkat pada
penggunaan injeksi yang tidak legeartis, (misalnya 1 jarum suntik
digunakan untuk lebih dari satu pasien).
b. Kebiasaan
memberikan obat dalam bentuk injeksi akan meningkatkan resiko terjadinya syok
anafilaksis.
c. Resiko
terjadinya efek samping obat meningkat secara konsisten dengan makin banyaknya
jenis obat yang diberikan kepada pasien. Keadaan ini semakin nyata pada usia
lanjut. Pada kelompok umur ini kejadian efek samping dialami oleh 1 di antara 6
penderita usia lanjut yang dirawat di rumah sakit.
d. Terjadinya
resistensi kuman terhadap antibiotik merupakan salah satu akibat dari pemakaian
antibiotika yang berlebih (overprescribing), kurang (underprescribing),
maupun pemberian pada kondisi yang bukan merupakan indikasi (misalnya infeksi
yang disebabkan oleh virus).
4.
Dampak
terhadap mutu ketersediaan obat
Sebagian besar dokter
masih cenderung meresepkan antibiotikvauntuk keluhan batuk dan pilek. Akibatnya
kebutuhan antibiotikavmenjadi sangat tinggi, padahal diketahui bahwa sebagian
besar batuk pilek disebabkan oleh virus dan antibiotika tidak diperlukan. Dari
praktek pengobatan tersebut tidaklah mengherankan apabila yang umumnya
dikeluhkan oleh Puskesmas adalah tidak cukupnya ketersediaan antibiotik.
Akibatnya jika suatu saat ditemukan pasien yang benar-benar menderita infeksi
bakteri, antibiotik yang dibutuhkan sudah tidak tersedia lagi. Yang terjadi
selanjutnya adalah pasien terpaksa diberikan antibiotik lain yang bukan pilihan
utama obat pilihan (drug of choice) dari infeksi tersebut.
Disini terdapat 2 masalah utama:
a. Seolah-olah
mutu ketersediaan obat sangat jauh dari memadai. Padahal yang terjadi adalah antibiotik
telah dibagi rata ke semua pasien yang sebenarnya tidak memerlukan.
b. Dengan
mengganti jenis antibiotik akan berdampak pada tidak sembuhnya pasien (karena
antibiotik yang diberikan mungkin tidak memiliki spektrum antibakteri untuk
penyakit tersebut, misalnya pneumonia diberi metronidazol). Atau penyakit
menjadi lebih parah dan pasien kemudian meninggal. Ketidakrasionalan pemberian
obat oleh dokter juga sering memberi pengaruh buruk bagi pasien maupun
masyarakat. Pengaruh buruk ini dapat berupa ketergantungan terhadap intervensi
obat maupun persepsi yang keliru terhadap pengobatan.
5.
Dampak injeksi
Pemberian substitusi
terapi pada diare. Dengan memasyarakatnya penanganan diare di rumah tangga,
petugas kesehatan seolah dihinggapi keengganan (keraguan) untuk tetap
memberikan Oralit tanpa disertaiobat lain pada pasien dengan diare akut non
spesifik. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila sebagian besar penderita
diare akut non spesifik masih saja mendapat injeksi maupun antibiotik, yang
sebenarnya tidak diperlukan. Sementara Oralit yang menjadi terapi utama justru
sering tidak diberikan.
2.4 Upaya
Untuk Mengatasi Masalah Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional
Untuk
mengatasi masalah penggunaan obat yang tidak rasional diperlukan beberapa upaya
perbaikan dan intervensi, baik di tingkat provider yaitu peresep (prescriber)
dan penyerah obat (dispenser) dan pasien/masyarakat (consumer) hingga sistem
kebijakan obat nasional, anatara lain sebagai berikut:
1. Upaya
Pendidikan
ü Pendidikan selama masa kuliah (pre-service)
ü Sesudah menjalankan prkatek kepropesian (past-service)
ü Pendidikan past-service antara lain :
Ø Pendidikan berkelanjutan (contining-medical education)
Ø Informasi pengobatan (academic based detailing)
Ø Seminar-seminar, buletin dan lain-lain
ü Sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi :
Ø Materi cetak buletin, pedoman pengobatan
Ø Pendidikan tatap muka (face to face education) : kuliahpenyegaran, seminar.
Ø Media lain : televise, video dan lain-lain
2.
Upaya peningkatan pengelolaan (managerial strategies)
ü Pengendalian kecukupan obat
Melalui
sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap penggunaan dan
permintaan obat olehunit pelayanan kesehatan dapat terpantau, sehingga
kecukupan obat dapat dikendalikan dengan baik.
ü Perbaikan sistem suplai
Melalui penerapan
konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti bahwa di tingkat
pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang paling dibutuhkan oleh
sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat dengan harga yang
terjangkau.
ü Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat
Untuk
itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing pusat pelayanan
kesehatan, formulir formulir resep dengan jumlah R/ yang terbatas, dan
sebagainya.
ü Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan
Terapi (KFT) di Rumah-rumah Sakit
Komite
Farmasi dan Terapi mempunyai tugas dan fungsi untuk meningkatkan/menerapkan
Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.
ü Informasi Harga
Akan
memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta pasien/masyarakat.
ü Pengaturan pembiayaan.
Bentuk
pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan cost-sharing.
3. Intervensi regulasi (regulatory strategies)
Intervensi regulasi
umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang mengikat secara formal
serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap penyimpangan terhadap
pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini
sering dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan profesi. Padahal jika kita
simak, misalnya konsep obat esensial, maka kesan membatasi kebebasan tersebut
tidaklah benar. Di negara maju pun sistem pengendalian kebutuhan obat melalui
regulasi juga dilakukan. Hal ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa
biaya obat secara nasional merupakan komponen terbesar dari anggaran pelayanan
kesehatan. Strategi regulasi dilakukan dalam bentuk kewajiban registrasiobat
bagi obat jadi yang beredar, peraturan keharusan peresepan generik, pelabelan
generik, dan lain-lain.
ü Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
ü Formularium Obat
ü Upaya Informasi
Ø Bagi dokter, intervensi informasi
bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam memperoleh informasi informasi
ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek keprofesiannya. Mutu
informasi yang tersedia hendaknya tetap dipelihara dengan cara menyeleksi
secara ketat sumber informasi yang handal, tidak memihak/seimbang dan bebas
dari pengaruh promosi industri farmasi.
Ø Bagi apoteker, sebagai dispenser (penyerah
obat),intervensi informasi bertujuan untuk memberi kemudahan dalam memperoleh
informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan praktek
keprofesiannya. Dengan informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan cara
menyimpan dan minum obat secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu
diperhatikan.
Ø Bagi pasien/masyarakat, intervensi
informasi lebih ditujukan untuk mendidik agar memahami dengan benar setiap
upaya pengobatan yang diberikan, karena keberhasilan terapi sangat ditentukan
oleh ketaatan pasien untuk menjalankan setiap upaya pengobatan yang diberikan
oleh dokter. Dengan demikian, selama dokter dapat memberikan informasi yang
benar kepada pasien, maka tidak mungkin pasien berniat mendikte dokter, apalagi
memaksakan kehendak untuk mendapatkan jenis terapi tertentu. Informasi yang
disampaikan kepada pasien antara lain:
1. Informasi mengenai penyakit yang diderita.
2. Jenis dan peran obat yang diberikan dalam
proses penyembuhan.
3. Informasi mengenai cara, frekuensi dan lama
penggunaan obat.
4. Kemungkinan resiko efek samping obat.
5. Cara penanggulangan efek samping.
6. Apa yang harus
dilakukan jika dalam periode waktu tertentu obat belum memberikan hasil seperti yang
diharapkan.
7. Informasi mengenai
hal-hal yang harus dilakukan selain pengobatan yang diberikan, seperti misalnya
diet karbohidrat dan olahraga untuk penderitadiabetes, anjuran untuk banyak
minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya untuk
penderita common cold.
2.5 Indikator
Penggunaan Obat Yang Rasional
Indikator
penggunaan obat yang rasional bertujuan untuk melakukan pengukuran terhadap
capaian keberhasilan upaya dan intervensi dalam peningkatan penggunaan obat
yang rasional dalam pelayanan kesehatan, diantaranya sebagai berikut:
1. Indikator
inti
ü Indikator
peresepan
Ø Rerata
jumlah item dalam tiap resep.
Ø Persentase
peresepan dengan nama generik.
Ø Persentase
peresepan dengan antibiotik.
Ø Persentase
peresepan dengan suntikan.
Ø Persentase
peresepan yang sesuai dengan Daftar
Obat
Esensial.
ü Indikator
Pelayanan
Ø Rerata
waktu konsultasi.
Ø Rerata
waktu penyerahan obat.
Ø Persentase
obat yang sesungguhnya diserahkan.
Ø Persentase
obat yang dilabel secara adekuat.
ü Indikator
Fasilitas
Ø Pengetahuan
pasien mengenai dosis yang benar.
Ø Ketersediaan
Daftar Obat Esensial.
Ø Ketersediaan
key drugs
2. Indikator
tambahan
ü Persentase
pasien yang diterapi tanpa obat.
ü Rerata
biaya obat tiap peresepan.
ü Persentase
biaya untuk antibiotik.
ü Persentase
biaya untuk suntikan.
ü Peresepan
yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
ü Persentase
pasien yang puas dengan pelayanan yang
diberikan.
ü Persentase
fasilitas kesehatan yang mempunyai akses
kepada
informasi yang obyektif.
2.6
Pemantauan
dan Evaluasi Penggunaan Obat Yang Rasional
ü Tujuan
pemantauan penggunaan obat yang rasional
Adalah
untuk menilai apakah kenyataan praktek penggunaan obat yang dilakukan telah
sesuai dengan pedoman yang disepakati.
ü Manfaat
pemantuan penggunaan obat yang rasional
Yaitu
dapat mendeteksi adanya kemungkinan pemakaian obat yang berlebih, atau kurang
bahkan pemakaian obat yang boros serta dapat bermanfaat dalam perencanaan obat.
ü Hal-hal
yang perlu dipantau dalam penggunaan obat yang rasional
Ø Kecocokan
antara gejala (symstoms), diagnosis
dan pengobatan yang diberikan.
Ø Kesesuaian
pengobatan yang diberikan dengan pengoabatan yang ada
Ø Pemakaian
obat tanpa indikasi yang jelas
Ø Praktek
polifarmasi
Ø Ketepatan
indikasi
Ø Ketepatan
jenis, jumlah, cara dan lama pemberian
Ø Kesesuain
obat dengan kondii pasien
ü Monitoring
dan evaluasi
Ø Indikator
peresepan
Ada
4 parameter utama yang akan dinilai dalam monitoring dan evaluasi penggunaan
obat yang rasional adalah:
·
Penggunaan standar pengobatan
·
Proeses pengobatan (penerapan SOP)
·
Ketepatan diagnostik
·
Ketepatan pemilihan intervensi
pengobatan
Ø Pengumpulan
data peresepan
Ø Cara
pengisian
Ø Pengolahan/penyajian
data
Ø Pengiriman
laporan
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pemberian obat yang aman, bernutu dan
bermanfaat adalah tujuan utama dalam pengobatan pasien. Untuk menjamin obat
yang aman, bermutu dan bermanfaat maka penggunaan obat yang rasional merupakan
bagian yang terpenting yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan terutama
oleh tenaga farmasis.
DAFTAR
PUSTAKA
Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta:
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Quick, J.D.,
Rankin, J.R, Laing, R.O., O’Connor.R.W. (1997). Managing Drug Supply. second
edition. Boston: Kumarin Press.
Vance A.M.,
Millington W.R. (1986). Principle of Irrational Drug Therapy. International
Journal of Health Sciences 16 (3), 355-361.
World Health
Organization. (2002). Promoting Rational Use of Medicine: Core Components. Geneva:
WHO Policy Perspective on Essential Drug.