Monday, 10 July 2017

PERAN PEMUDA DALAM REVITALISASI KEARIFAN LOKAL DI INDONESIA

PERAN PEMUDA DALAM REVITALISASI KEARIFAN LOKAL DI INDONESIA
Oleh : Fatma Zahra

Menurut UU No. 40 Tahun 2009, Pasal 1 ayat 1 Pemuda adalah warga  negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan, yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Kepemudaan adalah berbagai hal yang berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang berfungsi. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti luas.
Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama . Pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia dan lingkungan alamnya.
Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Pada dasarnya, tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu dan berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang  yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang.  Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang. Jadi kearifan lokal dapat dijadikan simpai perekat dan pemersatu antar generasi.
Indonesia merupakan Negara Kepulauan terluas di dunia yang terdiri atas lebih dari 17.504 pulau. Sejak zaman dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk. Hal ini tercermin dari semboyan “Bhinneka tunggal Ika” yang dipegangnya yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemajemukan yang ada terdiri atas keragaman suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa.
Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Masalahnya kearifan local tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jati dirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan asset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak punah. Akan tetapi melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable). Jadi bukan pelestarian yang hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan kita. Para pakar pelestarian harus turun dari menara gadingnya dan merangkul masyarakat menjadi pecinta pelestarian yang bergairah. Pelestarian jangan hanya tinggal dalam buku tebal para siswa, skripsi para sarjana dan disertasi para doktor, jangan hanya diperbincangkan dalam seminar para intelektual di hotel mewah, apalagi hanya menjadi hobi para orang kaya. Pelestarian harus hidup dan berkembang di masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas, terlebih kepada pemuda sebagai agen dalam revitalisasi kearifan lokal.


:::::Diambil dari berbagai sumber:::::::

No comments: