PERAN PEMUDA DALAM
REVITALISASI KEARIFAN LOKAL DI INDONESIA
Oleh : Fatma
Zahra
Menurut UU No. 40 Tahun 2009, Pasal
1 ayat 1 Pemuda
adalah warga negara Indonesia yang
memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan, yang berusia 16 (enam
belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Kepemudaan adalah berbagai hal yang
berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi
diri, dan cita-cita pemuda.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi
berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang
sebelumnya kurang berfungsi. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting
atau perlu sekali. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi
pada penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan
peningkatan ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk
melaksanakan revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan
yang dimaksud bukan sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang
memerlukan adanya partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat
tidak hanya masyarakat di lingkungan tersebut saja, tapi masyarakat dalam arti
luas.
Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara
berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan
hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama . Pada dasarnya kearifan lokal atau kearifan
tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki
oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan
yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan
masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur
lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia,
dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia dan lingkungan
alamnya.
Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi ke
generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Pada dasarnya,
tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Kearifan lokal meniscayakan
adanya muatan budaya masa lalu dan berfungsi untuk membangun kerinduan pada
kehidupan nenek moyang yang menjadi
tonggak kehidupan masa sekarang.
Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa lalu dan
masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang. Jadi kearifan lokal
dapat dijadikan simpai perekat dan pemersatu antar generasi.
Indonesia merupakan Negara Kepulauan terluas di dunia
yang terdiri atas lebih dari 17.504 pulau. Sejak zaman dahulu bangsa Indonesia
dikenal sebagai masyarakat yang majemuk. Hal ini tercermin dari semboyan “Bhinneka tunggal Ika” yang dipegangnya
yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemajemukan yang ada
terdiri atas keragaman suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa.
Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita
kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi di masa lalu. Masalahnya kearifan local tersebut seringkali
diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa
depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia,
terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang
kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jati dirinya dari tinggalan sejarah
dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia,
yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan asset yang tidak ternilai
tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak
perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya
lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada
kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak punah. Akan tetapi melestarikan berarti
memelihara untuk waktu yang sangat lama. Oleh
karena itu, maka perlu dikembangkan pelestarian
sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable). Jadi bukan pelestarian yang
hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang
kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika
tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari
kehidupan kita. Para pakar pelestarian harus turun dari menara gadingnya dan
merangkul masyarakat menjadi pecinta pelestarian yang bergairah. Pelestarian
jangan hanya tinggal dalam buku tebal
para siswa, skripsi para
sarjana dan disertasi para doktor, jangan hanya
diperbincangkan dalam seminar para intelektual di hotel mewah, apalagi hanya
menjadi hobi para orang kaya. Pelestarian harus hidup dan berkembang di
masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas, terlebih
kepada pemuda sebagai agen dalam
revitalisasi kearifan lokal.
:::::Diambil dari berbagai sumber:::::::
No comments:
Post a Comment